Kamis, 04 Maret 2021

 

Mendongengkan Kembali Bacaan Anak

Sejarah keaksaraan dengan misi politik pembangunan pernah mempengaruhi sistem pendidikan terutama pada bacaan anak. Pada masa Orde Baru, Soeharto rutin membuat sayembara menulis buku anak untuk diterbitkan. Kehadiran buku bacaan anak berstempel Inpres secara komunal membentuk identitas sosial dalam memperkenalkan misi pembangunan. Meskipun pada dasarnya  dalam literatur anak memuat misi politis, namun sebagian buku bacaan anak juga mengandung pelajaran keluarga, ekologi, etika-moral, kemanusiaan, kebudayaan, kesejarahan bangsa, dan kolonialisme. Peristiwa ini setidaknya menjadi ingatan bahwa metode pengajaran lisan dan keaksaraan pernah mempengaruhi perkembangan psikologis dan pemikiran anak-anak Indonesia. 

Melimpahnya literatur anak ini termuat dalam buku Pengisah dan Pengasih (2019) gubahan Bandung Mawardi. Mawardi memperjelas bahwa politik-ekonomi pembangunan Orde Baru turut mempengaruhi bacaan sekaligus pemikiran anak. Anak-anak seolah menjadi objek yang dipaksa untuk memahami politik, ekonomi, sosial, agama, dan budaya. Di masa Orde Baru, bacaan anak banyak memuat kisah orang-orang yang menempuh pendidikan tinggi yang—harus kembali membangun desa untuk mengentaskan kemiskinan. Cara dan doktrin pembangunan ini berkembang dari kelas sosial menengah ke perdesaan. Misi urbanisasi tidak sekedar sebagai alat Soeharto untuk mengentaskan kemiskinan, namun juga membentuk gaya hidup, identitas keagamaan, dan sosial-kebudayaan di Indonesia.  

Di antara ratusan buku bacaan anak yang dihasilkan Orde Baru, Mawardi hanya memilih 21 bacaan anak dengan tema ekologi, kemanusiaan, keluarga sebagai bahan pengisahan. Ia berambisi mengisahkan bacaan anak untuk melampiaskan kekesalan dan keresahan di zaman digital. Sebab perubahan zaman telah mengubah tradisi kelisanan masyarakat Indonesia. Hal ini sering kali terjadi pada orangtua. Mereka   mengalami krisis dedongengan sebagai bahan cerita untuk anak-anak di rumah.

Kesadaran Mawardi untuk mendongengkan kembali bacaan anak di tengah modernitas teknologi-digital supaya dapat mempengaruhi orangtua dalam mendidik anak. Sebab, para orangtua sudah tidak terbiasa memberikan pengajaran kelisanan atau dedongengan untuk merangsang imajinasi anak. Mereka lebih memilih cara instan secara sadar memberikan gawai sebagai teknologi yang dianggap mampu mewakili kebebasan ragawi anak. 

Kebebasan ekspresi anak di zaman digital pada akhirnya hanya akan melampiaskan kebiasaan menghibur diri seperti kecanduan media sosial dan game. Kebebasan tubuh atas dorongan teknologi menciptakan pengaruh pedagogis yang malah menjauhkan bacaan anak dalam kehidupan sehari-hari. Kontestasi global di tengah modernitas antara digital dan cetak mempengaruhi sistem pengajaran pendidikan. Perubahan ini bergerak begitu dinamis dan sering kali membuat para pengajar (guru dan orangtua) melupakan cerita rakyat, dongeng, mitos, dari bacaan anak sebagai bahan pengajaran  dan ingatan sejarah pendidikan masa silam.

Menjenguk Ingatan

Pada tahun 1980-an, menandai masa melimpahnya buku-buku bacaan anak terbitan Inpres. Pengisahan Mawardi pada bacaan anak juga memuat informasi penulis bacaan anak paling kondang di masa itu, salah satunya Mansur Samin. Bahkan, ia menyebut Mansur Samin adalah salah satu penulis yang paling produktif dan menjulukinya sebagai “Raja Buku Inpres.”

Kita bisa menyimak ungkapan Mawardi “Tahun-tahun berdatangan, Mansur Samin menekuni penulisan buku untuk bacaan anak-anak di seantero Indonesia. Ia menulis 50-an buku anak. Linus memuat sekian judul buku anak garapan Mansur Samin: berlomba dengan Senja, Parut, Lepas, Si Masir, Si Belang, Luhut, Pesan Sebatang Mangga, Warna, Tagor dari Batangtoru, Empat Saudara, Tidak Putus Asa, Urip yang Tabah, Telaga di Kaki Bukit, dan lain-lain. Jumlah buku memantaskan ia menjadi Raja Buku Inpres (hlm. 39).” 

Ketekunan Mansur Samin sebagai penulis bacaan anak tampaknya tidak sekedar mematuhi misi dan peraturan Soeharto. Ia salah satu penulis yang mempertimbangkan mutu bacaan anak. Kisah-kisah yang dihadirkan dalam cerita tidak melulu memuat misi pembangunan tetapi juga memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Gagasan ini seperti terangkum dalam kisah Si Masir (1960). Kisah seorang anak nakal yang bernama Masir dari keluarga miskin.

Dalam cerita, Masir adalah seorang anak nakal yang tidak mau sekolah. Tokoh Masir jauh dari contoh yang ingin diciptakan Orde Baru sebagai teladan untuk anak. Namun, melalui cerita Si Masir, Mansur Samin sebenarnya ingin memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah pada sektor pendidikan yang tidak merata. Pendidikan di kota selalu terlihat lebih bermutu dan terjamin dari segi fasilitas ketimbang di desa. Secara geografis, pendidikan di desa senantiasa jauh tertinggal seperti melambatnya pola-pikir anak, mutu kurikulum, akses bacaan, dan tenaga pengajar. Persoalan sosial ini yang sebenarnya ingin dikemukakan dalam cerita Si Masir sebagai kritik terhadap dikotomi pendidikan di kota dan desa.

Pengisahan dalam buku anak tidak hanya memunculkan kritik, tapi juga memuat pelajaran pokok yaitu menumbuhkan nilai kemanusiaan pada anak. Melalui buku anak berjudul Si Miskin Yang Dermawan (1970) gubahan Prabandanu,  anak-anak diajarkan untuk berbagi ke sesama. Cerita bermula di Kadipaten Wukirdadu, negeri yang digambarkan subur dan makmur. Kadipaten itu dipimpin oleh Adipati Gandarum, seorang raja yang kaya raya dan juga dermawan. Namun, untuk mengetahui jiwa sosial atas kemakmuran rakyatnya, ia menyamar sebagai pengemis.

Dalam cerita, Adipati Gandarum bertemu dengan Ki Bandulwesi, seorang nelayan miskin tapi sangat dermawan. Meski di tengah himpitan kemiskinan, Ki Bandulwesi setiap hari senantiasa berbagi makanan pada orang miskin yang kelaparan. Ia meyakini bahwa berbagi akan menciptakan kerukunan, kemanusiaan, dan keindahan. Adipati Gandarum terpukau melihat kedermawannya, meski miskin tapi tetap berbagi. Ia pun memutuskan untuk menguji kedermawanannya. Bertubi-tubi ujian Adipati Gandarum pada Ki Bandulwesi tidak berhasil. 

Ki Bandulwesi tetap mengamalkan keyakinannya untuk berbagi ke sesama manusia. Cerita mengajarkan pada anak pentingnya menumbuhkan jiwa kemanusiaan. Kesadaran untuk beramal tidak lantas harus diukur dengan strata sosial kaya atau miskinnya seseorang. Sebab, pentingnya berbagi ke sesama manusia pada dasarnya bermula dari kesadaran dan keikhlasan untuk menumbuhkan jiwa kepedulian dan kemaslahatan sosial.

dimuat di Islamsantun.org, 22 Februari 2021

 

     

Jumat, 11 September 2020

 Mendialogkan Sains dan Agama



Polemik yang terjadi di media sosial tentang sains, agama, dan filsafat memicu para pakar untuk mendiskusikan keberhasilan sains di dunia modern. Dari sejumlah pakar keilmuan yang terlibat polemik, mereka terkesan menggunakan pendekatan dari masing-masing latar belakang bidang keilmuan. Berbagai tanggapan tentang sains dari sudut pandang keilmuan yang berbeda memunculkan tafsir-tafsir otoritarianisme dari bidang keilmuan yang di dalaminya. Tafsir yang dihasilkan para pakar atas pendekatan-subjektif justru menyimpulkan bahwa disiplin keilmuan antara sains, agama, dan filsafat saling bertentangan untuk memunculkan kebenaran aksiomatik.

Kesimpulan serupa sama seperti apa yang disampaikan oleh para pakar saintis Richard Dawkins, Lawrence Krauss, Stephen Hawking, Carl Sagan, Richard Feynman, Steven Weinberg, E.O. Wilson, Steven Pinker, Peter Atkins, Victor Stenger, dan lain-lain. Mereka mengemukakan di dalam karya-karyanya sains jauh lebih baik ketimbang agama yang dianggap sebagai penyebab terjadinya kekerasan. Keberhasilan para saintis tersebut sayangnya hanya dilandasi satu pendekatan keilmuan semata (saintifik) tanpa mengkaji lebih jauh ilmu-ilmu yang sebenarnya mendukung keberhasilan sains dalam sejarah umat manusia. Tanggapan kritis inilah yang kemudian disampaikan Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla dalam buku berjudul Sains Religius Agama Saintifik (2020).     

Haidar dan Ulil berhasil mendialogkan sains dan agama dari literatur sejarah peradaban umat Islam dan literatur sains populer yang berkembang. Berbagai agrumentasi saintis selalu dibangun menggunakan metodologi induksi-empiris. Metode tersebut berfungsi untuk mengumpulkan data lapangan guna memperoleh kesimpulan rigid dan bersifat kausalistik. Namun, keberhasilan sains sebenarnya juga belum sepenuhnya terbebas dari problem-problem metodologi. Meskipun pada umumnya sains berhasil menciptakan berbagai teknologi modern yang bersifat materialistik, tapi jika mempelajari sains tidak memiliki keseimbangan metode dari sumber kebenaran yang lain (agama dan filsafat), para saintis bakal kehilangan kedamaian jiwa, kesejahteraan psikologis, dan nilai-nilai spiritualitas.    

Barangkali persoalan ini yang dialami oleh saintis seperti Richard Dawkins  dalam karyanya The God Delusion. Keberhasilannya sebagai pakar sains justru membuat fatwa dan propaganda bahwa umat manusia tidak perlu lagi beragama supaya memperoleh kebebasan. Kesimpulan ini cukup menggemparkan bagi kalangan umat beragama, terutama bagi pengkaji teologis seperti Haidar dan Ulil. Haidar membantah gagasan Dawkins bahwa sebenarnya agama bukanlah sumber kekerasan, melainkan hadirnya agama justru menyebarkan rasa kasih sayang kepada sesama umat manusia.

Haidar mencermati apa yang menjadi keresahan para saintis serta memberikan jawaban secara kritis. Genealogi kekerasan yang terjadi dalam sejarah umat beragama (Islam) sebenarnya hanya dipicu oleh otoritas pemahaman tafsir-agama, bukan kebenaran aksiomatik-agama. Hal ini kemudian berkembang, hingga mempengaruhi gejolak-politik di setiap suku, sekte, dan kelompok umat muslim. Kemuduran ini juga disebabkan negara muslim selalu menjunjung sistem politik otoriter dan gemar berkonflik demi kekuasaan. Realitas sosial ini membuktikan sejarah umat Islam pasca Dinasti Abbasiyah memang mengalami kemunduran terhadap ilmu-ilmu sains.  

Namun, para saintis populer tidak boleh melupakan sejarah peran dan pengaruh ilmuwan Islam yang berhasil membentuk peradaban Barat. Dalam sejarah umat manusia, ilmuwan Islam sangat berperan penting bagi perkembangan keilmuan sains di Barat. John Freely dalam bukunya berjudul Cahaya Dari Timur: Peran Ilmuwan dan Sains Islam dalam Membentuk Dunia Barat (2011), mengungkapkan keberhasilan ilmuwan Islam mengembangkan sains yang terjadi di Baghdad, Andalusia, Istanbul, dan lain-lain. Melalui warisan manuskrip-manuskrip yang ditulis oleh para ulama yang kini menjadi arsip kebudayaan Islam, telah mempengaruhi masa depan sains di Barat. Freely memaparkan para ulama seperti Al-Jazari, Al-Hassan, Al-Idrisi, Taqi al-Din, Al-Razi, Al-Kindi, Al-Biruni, sangat berjasa lantaran menekuni berbagai bidang keilmuan (sains) dari literatur-terjemahan dan mengembangkannya untuk memahami teori, metodologi, dan cara kerja ilmu sains.

Manuskrip warisan Islam inilah yang kemudian dipelajari dan terjemahkan oleh para akademisi Barat dalam membangun sains di zaman modern. Seperti karya Al-Jazali berjudul Book on the Knowledge of Ingenious Mechanacal Devices, karya Taqi al-Din berjudul The Brightest Stars For the Contruction of Mechanical Cloks, merupakan buku pegangan untuk menciptakan teknologi mesin dan teknologi mengetahui waktu. Sumber-sumber primer tersebut memicu para ilmuwan Barat seperti Donal R. Hill juga menulis karyanya berjudul Islam is Technology, An Illustrated History. Ia turut mengungkapkan banyak sejarawan mengakui kemajuan yang dicapai oleh ilmuwan-ilmuwan muslim di bidang matematika, astronomi, dan ilmu-ilmu sains eksakta, tapi mereka kebanyakan tak menggubris teknologi Islam. Barangkali telaah litelatur yang serampangan ini yang dialami Richard Dawkins akibat kurangnya mengkaji beragam pendekatan disiplin keilmuan tanpa mendialogkannya.

Haidar dan Ulil mendialogkan agama dan sains untuk meluruskan asumsi-asumsi yang justru menimbulkan kegelisahan bagi umat manusia. Haidar lantas memperjelas “alam kehidupan manusia bukan alang kepalang jauh lebih luas ketimbang hanya alam empiris dan kebutuhan pragmatis. Maka dari itu, kita butuh filsafat, agama, seni dan sastra. Tidak ada yang lebih mulia, satu di atas lainnya. Semua bisa membawa kita kepada kebenaran yang luhur (hlm.28)”. Pendapat ini mempertegas betapa pentingnya mempelajari ilmu dari berbagai disiplin keilmuan. Semakin banyak belajar dan berpikir, tentu kita semakin dapat bersikap moderat. Paradigma tersebut yang dibangun dalam buku ini, bahwa sains, filsafat, dan agama merupakan jalan kebenaran menuju kebahagiaan untuk umat manusia.

Judul Buk    : Sains Religius Agama Saintifik

Penulis       : Haidar Bagir, Ulil Abshar Abdalla

Penerbit        : PT Mizan Pustaka

Tebal Buku   : 169 halaman

Cetakan         : Agustus, 2020                                                                                                                        

ISBN              : 978-602-441-178-7

http://mizanpublishing.com/resensi-sains-agama

Riwayat Penulis:

M. Taufik Kustiawan,

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. WA 081328636804