Kamis, 26 Desember 2019


Puisi, Novel, dan Ruang Akhirat

Kesejarahan sastra Islam di Indonesia tidak lepas dari kebudayaan pesantren. Pada 1980-an, sastra Islam semakin tumbuh di pesantren dan menjelaskan kultur sosial-kebudayaan di Indonesia. Tokoh-tokoh sastra Islam di masa itu merangkai norma-norma sosial-keagamaan sebagai legitimasi dalam merumuskan pendidikan holistik. Rekontruksi dari bacaan sastra Islam memuat nilai nasionalisme, budaya, politik, agama, sosial-keluarga. Persoalan itu dapat kita temukan tatkala membaca tulisan-tulisan sastrawan Islam seperti; Djamil Suherman, Abdul Hadi W.M, A.A. Navis, Kuntowijiyo, dan Triyanto Triwikromo. Perkembangan sastra Islam tidak sekedar mengarah pada persoalan kritik sosial-budaya, tapi juga turut memberikan nilai estetik dalam menjelaskan religiositas ruang akhirat.

Untuk menunjukan religiositas ruang akhirat, Kuntowijoyo berhasil memadukan nilai-nilai kebudayaan di Timur Tengah dan Indonesia lewat puisi-puisi. Kuntowijiyo sadar, bahwa pertemuan kebudayaan syair akan menciptakan estetika sastra Islam semakin memiliki kompleksitas makna secara universal. Sajak-sajak puisi Kuntowijoyo diambil dari kitab Al-Barzanji menjadi bukti bahwa sastra Islam turut mengenang dan mengajarkan norma dari kisah kehidupan Rasulullah. “Ya, Allah. Taburkanlah wangian/ di kubur Nabi yang mulia/ dengan semerbak salawat/ dan salam sejahtera/ Sesudah membuka pintu-pintu/ aku keluar menuju ladang/ dan di antara pohon kutemukan/ senyum, danau, dan ayat Tuhan.” Puisi-puisi Kuntowijoyo mengingatkan nilai-nilai spiritualitas tauhid, akhlak, makrifat dan menanamkan tradisi ziarah untuk umat Islam agar senantiasa mengingat kematian.

Paradigma puisi Kuntowijoyo terasa menjadi metafisik yang melupakan materialisme. Makna-makna yang terkandung dari puisi berisi cinta, kebahagian, dan keselamatan. Namun, kecenderungan puisi yang mengansumsikan makna metafisik turut bergerak pada persoalan ruang teologis absolut (surga-neraka) secara implisit. Seperti “Ya Allah, Taburkanlah wangian/ di kubur Purnama yang mulia/ dengan semerbak salawat/ dan salam sejahtera/ Aku jatuh cinta/ karena matematik/ mengajar manusia/ lebih mulia dari malaikat/ demikian kutulis musik & puisi/ dan menanti mutmainah di sudut rumah/ sambil menatap kuncup rahmat mekar di halaman.” Dari penafsiran sajak kitab Al-Barzanji, Kuntowijoyo menganalogikan ruang teologis-metafisik dengan “rumah dan halaman.” Kehadiran “rumah dan halaman” dalam puisi menunjukkan esensi keselamatan dan memperoleh kebahagian di akhirat (surga).  

Persoalan konsep religiositas ruang (surga-neraka) tampaknya sering menjadi latar dalam karya-karya sastra Islam di Indonesia. Djamil Suherman menulis prosa berjudul Perjalanan ke Akhirat (1985) sebagai bagian dari dakwah-keagamaan. Kisah itu bermula dari persoalan sosial-keluarga. Salim seorang tokoh yang memiliki sifat alim dan tanggung jawab terhadap keluarga. Namun, pasca bekerja, Salim mengalami kecelakaan dan menyebabkan ia meninggal dunia. Ratapan dan kesedian dialami oleh istrinya bernama Salamah dan ibunya. Kesedihan keluarga tampaknya menghambat arwah Salim menuju alam kubur. Kurangnya keikhlasan keluarga Salim berdampak pada arwah Salim mengalami hambatan di dunia metafisik (ruang akhirat). Padahal selama Salim hidup, ia banyak mengerjakan kebaikan. Ia merasa sedih saat Salamah dan ibunya masih menangisi arwah yang sudah memperoleh jalan yang terang. 

Di alam Barzah, Salim melihat orang-orang memperoleh siksaan dari para malaikat. Salim semakin penasaran, dan menanyakan pada malaikat apa penyebab orang-orang mengalami nasib yang memprihatinkan di akhirat. Kebanyakan orang-orang yang memperoleh siksaan disebabkan mereka lalai memanfaatkan waktu dan harta demi kemaslahatan umat. Selama hidup di dunia, mereka melupakan perintah dan anjuran agama. Kesenangan terhadap duniawi (materiil) mampu membutakan pesan tersirat bahwa alam akhirat jauh lebih absolut dan universal. Ketidakmampuan menahan ujian keimanan di dunia berdampak pada kedudukan baik-buruknya timbangan amal jariah pasca hari perhitungan.

Kisah serupa juga pernah A.A Navis utarakan dalam cerita pendek Robohnya Surau Kami (2005). A.A Navis berhasil memberikan kritik kontruktif terhadap pola keagamaan yang ortodoks di Indonesia. Kritik itu juga pernah menjadikan tulisan A.A Navis kontroversi. Perseteruan dan kontroversi sastra Islam di Indonesia antar kubu Islam tradisional vis-à-vis Islam modernis mencerminkan pergulatan sosial-keagamaan perlu mendiskusikan perbedaan pemahaman dasar (teologi) Islam. Hal ini agar dapat meminimalisir terjadinya perdebatan dan timbulnya intoleransi. Mafhum,  kisah haji Saleh merupakan kritik terhadap konsep keagamaan Islam tradisionalis. Haji Saleh merupakan seorang Muslim yang taat beribadah, alim, dan bijaksana. Selama hidup di dunia, haji Saleh hanya berdoa, beribadah, dan memohon pada Tuhan untuk ditempatkan di surga pasca kematian. Namun, setelah haji Saleh meninggal, Tuhan menempatkan ia di neraka. 

Haji Saleh bersama orang-orang yang taat mencoba negosiasi dengan cara berdemonstrasi pada Tuhan. Mereka ingin memahami alasan dan kesalahan mengapa mereka bisa ditempatkan di neraka jahanam. A.A Navis mencoba mengajak kita berpikir secara rasional, bahwa cerita haji Saleh merupakan kisah seseorang yang memiliki sikap egoistik dalam beribadah tanpa memahami dan mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan (antroposentris). Ia lebih mementingkan diri sendiri  namun menelantarkan keturunannya dan masyarakat sekitar. Alasan hukuman dari Tuhan tampak logis, dan rasional bahwa pemahaman Islam semestinya lebih banyak mengajarkan nilai-nilai humanisme bukan individualisme. 

Sebagai sastrawan Islam, Djamil Suherman dan A.A Navis mengajak kita untuk mengimajinasikan ruang lewat karya sastra demi memberikan pemahaman religiositas ruang akhirat. Djamil dan A.A Navis tampak memadukan kultur-sosial pada wilayah normatif-historis sebagai bahan kritik doktrin keagamaan yang berkembang. Tentu, dari narasi persoalan sosial yang diangkat Djamil dan A.A Navis, memiliki perbedaan geografis yang dapat memberikan corak ragam kebudayaan sastra Islam berbeda. Meski begitu, narasi terhadap religiositas ruang akhirat mampu kita pahami. Bahwa sastra Islam tidak sekedar mengajarkan kebudayaan, pendidikan, tapi juga meningkatkan spiritualitas keimanan. 

Ancaman Visual    

Pada 1960-an, perkembangan komik agama yang menyinggung surga-neraka mulai merebak sebagai bacaan pendidikan anak di Indonesia. Komik surga-neraka pertama kali muncul berjudul Taman Firdaus gubahan K.T. Ahmar. Kemunculan komik surga-neraka rupanya mengundang reaksi pemerintah bahwa komik dianggap merusak cita-cita revolusi. Namun, pada masa itu komik surga-neraka laris dan berhasil tercetak ribuan eksemplar atas propaganda dari para pemilik modal. Komik surga-neraka menjadi komoditas bisnis yang berdampak pada ranah psikologis para pembaca terutama anak-anak. Persoalan ini yang membuat pada tahun 1980-an, komik surga-neraka menjadi polemik sastrawan Islam di Indonesia. 

Arswendo Atmowiloto menilai bahwa komik surga-neraka memiliki berdampak negatif tatkala terbaca oleh anak-anak yang mayoritas masih mengenyam pendidikan dasar. Komik surga-neraka hanya menampilkan adegan-adegan kekerasan, visualitas (gambar) yang hanya separuh badan, kesadisan, pementasan darah, yang acapkali ditampilkan atas dalih siksaan Tuhan. Komik surga-neraka mengalami absurditas akibat ditampilkan secara virtual. Komik agama yang ditampilkan secara visual sebenarnya akan menyinggung dunia metafisika. Tentu, komik ini tidak memberi manfaat apapun kecuali hanya kepentingan komoditas ekonomis (Kompas, 14 Agustus 1979). Capaian keberhasilan inilah yang diraih oleh para pengusaha akibat membawa agama ke ranah konsumerisme. 

Selain Arswendo Atmowiloto, Abdul Hadi W.M turut melakukan kritik serius terhadap komik surga-neraka. Abdul Hadi W.M menilai komik tersebut hanya sebatas literatur visual yang memiliki tafsir awam. Literatur komik tidak bisa menjadi bahan otoritatif untuk memahamkan nilai-nilai spiritual religiositas ruang akhirat. Komik surga-neraka dapat membuat imajinasi ruang akhirat kita malah semakin dangkal akibat visualisme. Bila ingin memahami religiositas ruang akhirat sebenarnya dapat kita cermati dari memahami cakrawala penghayatan Islam dalam sastra kontemporer. 

Melalui bacaan sastra-sastra Islam modern karya Djamil Suherman dan A.A Navis, religiositas ruang akhirat hanya bisa dianalogikan mengunakan bahasa puitik. Bahasa dan sastra tentu akan senantiasa menyelami asumsi dan esensi kita dalam memahami dunia metafisik. Karya-karya Djamil Suherman, A.A Navis, Kuntowijoyo, dan lainya memberikan imajinasi dan rekontruksi ruang akhirat. Bahwa berpikir secara rasional dan modernisme akan dapat meningkatkan spiritualitas iman individual dan dapat memahami hakikat kehidupan sebelum menempuh perjalanan ke akhirat.    


Pernah dimuat di Alif.id

              

Selasa, 24 Desember 2019

Mengenang Ibu dengan Puisi




Berbagai puisi tentang ibu hadir dari para penyair kondang di Indonesia. Kehadiran puisi-puisi itu memberi ingatan kita tentang kisah religiositas, sosiologis, kebudayaan dan keluarga. Ingatan tentang ibu pernah tertulis lewat kata-kata sebagai ingatan. Ibu begitu bermakna terhadap kehidupan dalam membentuk pemikiran para penyair. Kisah-kisah tentang ibu dapat dirasakan dari puisi-puisi Arif Maulana, Soni Farid Maulana, dan Wiji Thukul. Para penyair ingin mengenang ibu lewat puisi. Berbagai puisi memberi pemahaman tentang kultur sosial, ingatan masa lalu, keluarga dan keimanan. 

Arif Maulana pernah menulis buku berjudul Puisi-Puisi Imani (2001). Puisi-puisi menjadi bentuk dakwah untuk menumbuhkan religiositas anak-anak Indonesia. Puisi-puisi itu diselingi gambar-gambar islami terasa menambah misi dakwah literasi. Gambar-gambar sengaja dimasukan ke dalam buku supaya dapat memberi rangsangan untuk meningkatkan pemahaman keimanan, ketauhidan, akhlak dan etika anak terhadap orangtua. Selain gambar, Arif Maulana juga menulis puisi berjudul ibunda. “Ibunda tercinta/ Memberi kasih dan cinta sepanjang masa/ Kepada anak-anaknya/ yang perempuan dan yang lelaki/ Sejak tangis pertama bayi yang dilahirkan/ sampai kelak kita dikuburkan/ Karena itu surga di telapak kakinya/ Begitu diibaratkan/ Bila kita menjadi anak yang tidak patut/ baginya/ Tak berbakti dan durhaka/ Maka tak akan beroleh surga nantinya.”  
  
Puisi Arif Maulana mengingatkan kita tentang kisah riwayat sahabat Rasulullah yang pernah menyakiti hati orangtuanya. Sahabat itu bernama Al Qamah, seorang ulama yang alim dan saleh. Kealiman dan kesalehan Al Qamah tidak akan berarti ketika ia melukai hati ibunya sendiri. Dari kisah puisi itu, Al Qamah mengalami sakit dan sekarat  secara tidak wajar. Pada masa itu, Rasulullah terasa begitu dilema ketika hendak menyelesaikan masalah kisah anak durhaka. Ibundanya pun lantas bercerita kepada Rasulullah tentang perilaku Al Qamah. Usai ibunda bercerita, ia menangis dan memaafkan segala perbuatan yang telah melukai hatinya. Ampunan dari ibunda membukakan jalan damai dan bahagia untuk Al Qamah. Ia selamat dan terhindar dari siksa api neraka karena memperoleh doa dan ampunan dari ibunya.

Puisi Arif Maulana terasa memberikan kisah religiositas keluarga demi meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Kisah-kisah itu bermisi dakwah kepada anak-anak sekaligus orang dewasa agar senantiasa menjaga lisan, etika, dan perasaan pada orangtua. Puisi-puisi mengajak kita agar senantiasa merenung, menggerakan  perasaan  tatkala membaca puisi berjudul ibunda. Puisi-puisi tentang ibu pada dasarnya memiliki arti komunal tentang religiositas dan nilai-nilai kebudayaan sosial. Ingatan tentang religiositas, kebudayaan, dan keluarga, selalu hadir dalam setiap karya penyair. Ibu menjadi sumber ide dan gagasan menempuh kehidupan spiritual di jalan sastra.

Puisi Kritik

Selain Arif Maulana, beberapa penyair juga selalu menyisipkan puisi tentang ibu dalam antologi puisi-puisinya. Salah satunya Soni Farid Maulana, penyair angkatan 80-an ini berhasil menciptakan puisi-puisi secara estetis dan puitik. Kita bisa menyimak puisi Soni tentang “ibu”: “Belantara nilai mengepungku/ Melepas ribuan anak panah ke jantungku/ Di belukar liar aku rubuh dan terluka. O. ibu/ Kepasrahanmu damai dan suci memelukku/ Membalut jiwaku dengan lembaran kasih abadi/ Kau cakrawala yang membuka jalanku ke sungguh/ Dunia. Di situ terhayati lagu yang kau senandungkan/ Membuat bintang menari, berkobar-kobar, dan aku/ Mengerti bahwa kau adalah sang kalbu: melindungku/ Dari percik api dengki kehidupan. Lalu hangat/ Airmatamu yang mawar itu/ Terasa mekar tepat pada ubun-ubunku.”   

Puisi Soni tentang ibu memang lebih estetis secara gaya dan bahasa. Soni menempatkan ibu sebagai kekuatan, kebijaksanaan dalam sebuah keluarga. Dari puisi itu, Soni menjelaskan bahwa peran ibu mengajarkan banyak hal mulai dari pendidikan dan pengetahuan. Ingatan dan kecintaannya terhadap ibu tak ingin hilang ditelan masa. Ia menuliskan pada “puisi ibu” sebagai pembelajaran, penghormatan, ingatan serta doa untuk warisan umat satra di masa depan.  

Namun selain sebagai ingatan dan pembelajaran kehidupan dari puisi, aktivis Wiji Thukul lebih menempatkan puisi-puisi sebagai kritik sosial. Di tengah rezim otoriter, Wiji pernah menulis puisi tentang ibu di masa pergolakan  susahnya mencari sandang-pangan. Dalam buku Mencari Tanah Lapang (1991) ia menulis: “Jika kau menagih baktiku/ itu sudah kupersembahkan ibu/ waktu hidup yang tak kubiarkan beku/ itulah tanda baktiku kepadamu/ gula dan teh memang belum kuberikan/ tetapi nilai hidup adakah di dalam nasi semata/ apakah anak adalah tabungan/ bisa sesuka hati dipecah kapan saja/ apakah kelahiran cuma urusan untung dan laba/ tumpukan budi yang harus dibayar segera/ jalan mana harus ditempuh anak/ jika bukan yang biasa dan sudah dipilih/ orang yang berjalan itu sendiri?”

Puisi Wiji terasa berbeda menjelaskan perihal ibu dalam keluarga. Perbedaan itu disebabkan latar sosial yang mewarnai pergolakan kehidupan Wiji. Cara Wiji berbakti kepada orangtua cukup dengan bekerja, hidup sederhana tapi penuh kenangan dan bermakna. Menjadi manusia yang bermanfaat untuk kepentingan sosial menjadi cara Wiji berbakti kepada keluarga. Sebagai aktivis, puisi-puisi Wiji telah menggerakkan kesadaran sosial dalam mencari keadilan dan kesejahteraan kaum pinggiran di kota dan desa.

Sekian puisi hadir demi mengenang ibu sebagai lantunan doa dan harapan dari para penyair. Puisi-puisi itu mengingatkan kita betapa besarnya peran ibu dalam membina, mengajarkan, bekerja demi keluarga. Peran ibu bukan hanya sekedar menyiapkan kebutuhan secara biologis semata tetapi juga memberikan kasih yang tulus, mengajarkan nilai religiositas dan nilai sosial dalam keluarga. Dari puisi-puisi para penyair semestinya dapat meningkatkan rasa cinta kita terhadap orangtua. Puisi-puisi itu pada dasarnya mengajarkan kita untuk senantiasa memuliakan, menghargai, menghormati, dan mendoakan orangtua (ibu) ketika masih ada di dunia maupun telah tiada.

 Pernah dimuat di Alif.id

Senin, 25 November 2019


Perempuan Itu Penulis


Kehadiran buku berjudul Santapan Selera (2016) lahir dari pemikiran perempuan. Perempuan itu bernama Qibtiyatul Maisaroh. Tulisan-tulisan di buku Santapan Selera merupakan bentuk dokumentasi sinau esai yang pernah terjadi di Solo. Tulisan-tulisan itu juga pernah tampil di beberapa media cetak seperti: Solopos, Republika, Radar Banyuwangi, dan Lampung Pos. Sejak kuliah di IAIN Surakarta, Qibti aktif diskusi di masjid Al-Bukhori (masjid kampus), pengajian (nulis) selasa siang, dan Bilik Literasi. Keaktifan tadarus buku setiap kamis, membaca koran, dan menulis, menghasilkan catatan-catatan penting tentang buku, ekologi, persoalan bahasa, film India, dan toleransi agama.

Tema-tema inilah yang berhasil Qibti tuliskan di buku-buku sebagai kerja keaksaraan. Di buku Santapan Selera (2016) misalnya, Qibti mengajak kita untuk memikirkan ekologi: sungai, hewan, tumbuhan, dan, hutan. Sejak sistem kapitalisme berkuasa di Indonesia, orang-orang sering melupakan kerusakan alam akibat krisis kesadaran sosial terhadap lingkungan. Kaum oligarki dan masyarakat kelas menengah sering menimbulkan persoalan lingkungan seperti pembukaan lahan hutan, melimpahnya limbah pabrik dan limbah domestik yang terbuang sembarangan. Persoalan itu mengakibatkan pencemaran lingkungan dengan menumpuknya sampah dan limbah di sungai.
Selain menjelaskan kerusakan alam, tulisan Qibti juga turut mengajak pembaca untuk memikirkan fenomena-fenomena sosial yang berkembang. Selain menulis esai mempermasalahkan isu lingkungan, Qibti juga konsen dalam memberikan penjelasan tentang kaitan buku dan hewan. Esai berjudul Buku adalah Kebun Binatang ingin memahamkan kepada para pembaca bahwa keluarga Indonesia kini mulai tidak mengenal binatang dengan cara berbuku. Masyarakat seakan kehilangan kepercayaan bahwa buku juga dapat merepresentasi imajinasi binatang pada anak sebagai bahan pembelajaran. Namun, orang-orang lebih memilih untuk mengunjungi langsung di kebun binatang sembari liburan ketimbang mempelajari hewan lewat buku-buku anak terlebih dahulu.
Qibti tekun mengumpulkan beberapa buku bacaan anak di masa Orde Baru untuk menerangkan bahwa buku anak juga kebun binatang. Buku Kuda dan Kerbau gubahan Marcus A.S (1977), Upah Kejahatan gubahan Anton Adwijoyo (1976), dan Kami Keluarga Burung (1984) gubahan Abdul Ghofur menjadi bukti dan referensi. Bahwa buku anak di masa Orde Baru tidak sekedar menampilkan gambar tapi juga menjelaskan beragam kegunaan-kegunaan hewan dalam hal pertanian dan pendidikan. Tugas membajak sawah dengan kerbau di masa lalu menjadi hal yang lumrah dilakukan petani untuk menggarap sawahnya.
Di masa Orde Baru buku anak juga banyak menampilkan tokoh hewan untuk mengajarkan pendidikan moral. Hewan-hewan sering memiliki karakter ketokohan yang berbeda-beda untuk menjelaskan perilaku dan pesan moral. Sikap dan perilaku hewan dalam dialog memiliki karakter antagonis maupun protagonis sebagai penggambaran alur cerita yang ingin dibangun. Cerita-cerita ini, Qibti hadirkan sebagai bahan pengetahuan untuk mengajarkan pada keluarga Indonesia pentingnya mempelajari buku anak supaya tidak hanya sekedar mempelajari binatang dengan liburan ke kebun binatang!
Menyoalkan Bahasa
Tulisan Qibti tidak hanya berkaitan tentang lingkungan, anak, dan hewan. Ia juga pernah mempermasalahkan fenomena bahasa Indonesia yang digunakan generasi millenials namun tidak sesuai dengan tata bahasa baku bahasa Indonesia. Di buku Penimba Bahasa (2018) merupakan buku kumpulan tulisan Qibtiyatul Maisaroh dkk dari hasil lomba bulan bahasa 2018 di Universitas Sebelas Maret Solo. Qibti menulis Rumah Kata Indonesia: Ruang Publik Baru dan Forum Kamus Indonesia Raya.
“Bahasa Indonesia mengalami inflasi di internet, kata sebagian orang. Tiap kali ada aplikasi baru, atau laman media sosial baru, kamera digital baru, dan seterusnya dan seterusnya selalu saja ada dan berkerumun istilah-istilah baru. Tak ada pakar bahasa yang bisa cepat memberikan solusi adaptif terhadap kata-kata baru ini. Malah, warga dunia maya dengan cepat mengambil atau menciptakan sendiri istilah mereka. Penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah kebahasaan dianggap tidak relevan, terlalu lama, dan lagian ngapain juga harus membuat otoritas bahasa di media sosial.”
Perubahan berbahasa ini pernah terjadi pada 1980-an. Qibti membagi tipologi perkembangan bahasa dengan memaknainya bahasa kultur dan non kultur. Ia mengutip tulisan Untung Yuwono yang sedang melakukan penelitian tentang bahasa slang. “Bahasa slang berasal dari kata yang diubah dari bentuk aslinya. Perubahan ini biasanya digunakan untuk memberikan penekanan pada kata yang diucapkan. Tapi dalam arti masih menggunakan arti bentuk kata aslinya. Misalnya, kata ‘banget’ diubah menjadi bingit, beud, atau binggo (hlm. 120).”Pada 1980-an bahasa slang identik dengan bahasa prokem (bahasa preman), namun sejak 1990-an bahasa ini identik dengan bahasa kalangan anak muda dan sebagian identik dengan bahasa binan (bahasa kalangan banci).
 Qibti mencermati bahasa-bahasa yang lahir dari media sosial. Ia seakan marah pada orang-orang (warganet) yang tidak mempertimbangkan berbahasa Indonesia secara lumrah dari kamus bahasa Indonesia. Perubahan penggunaan kata-kata di media sosial menjadi tulisan yang cukup serius demi memberikan kritik sosial secara akademis. Tulisan ini merupakan upaya Qibti turut memikirkan bahasa Indonesia agar tidak mengalami absurditas meski dunia mengalami perkembangan teknologi digital. Selain itu, tulisan ini barangkali bisa menjadi ajakan sekaligus rujukan para pakar linguistik, dosen, mahasiswa, masyarakat Indonesia untuk memikirkan nasib bahasa Indonesia. Supaya bahasa Indonesia tidak mengalami berbagai dikotomi makna di media sosial secara komunal.
Toleransi Agama
Sejak kuliah di program studi agama dan lintas budaya (CRCS) Universitas Gajah Mada 2018, Qibti mulai mempelajari studi agama. Mempelajari studi lintas agama juga membuat Qibti pernah ikut sebagai tim penulis buku Semaian Iman Sebaran Pengabdian: 1oo Tahun Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus di Indonesia (2018) yang dieditori Bandung Mawardi. Buku itu memuat seabad kisah-kisah heroik suster-suster yang menyebarkan cinta kasih di Indonesia. Buku ini mengajak dialog iman antara penulis dan pembaca untuk senantiasa mengajarkan toleransi beragama di Indonesia. Mafhum, buku ini digarap oleh penulis-penulis Muslim. Inilah yang menjadi hal yang penting dalam dokumentasi sejarah di buku tersebut.
Kita dapat menyimak Sindhunata dalam kata pengantarnya “Bilik literasi Solo terbuka untuk siapa saja. Sampai sekarang, hampir semua anggota mereka adalah teman-teman muda Muslim. Dan justru di sinilah letak keunikan penggarapan buku 100 tahun CB di Indonesia ini. Suster-suster CB menyerahkan proses pengerjaan buku mereka kepada teman-teman Muslim ini. Tentu alasannya pertama-tama adalah bahwa mereka itu penulis yang kiranya dianggap bisa membantu penulisan buku. Namun, biar bagaimana pun, di pihak suster-suster CB, langkah ini adalah sebuah keberanian dengan rela dan tanpa banyak perhitungan mau menerima, bahwa latar belakang para penulis yang Muslim itu tentu akan mempengaruhi sejarah mereka (hlm.6).”
Sindhunata mengatakan dalam buku ini merupakan karya penulisan sejarah yang unik. Hal ini disebabkan penulisan sejarah tentang suster di Indonesia melibatkan penulis Muslim untuk menunjukan eksistensi dialog antar agama. Tentu hasil kepenulisan ini tidak menjadi masalah, bahkan Bandung Mawardi dkk menuliskannya cukup objektif dan bersandarkan pada data-data sejarah yang ada.  Data-data itu menjelaskan sejarah pengabdian suster terhadap kesehatan, pendidikan, dan kemanusiaan memang pernah mereka lakukan sebagai kerja pengabdian.
Di antara berbagai tema itu, Qibti memilih menulis tema-tema tentang kesehatan. Dalam esai berjudul Kesehatan Perempuan, Qibti memberikan catatan “kepedulian suster pada kesehatan perempuan adalah bagian dari misi keimanan. Mereka harus melanjutkan iman Katolik keluarga Indonesia yang sejahtera dan sesuai dengan ideologi pemerintah. Meskipun mereka harus berdamai dengan sekian peristiwa yang tidak memiliki tautan biografis dengannya. Misi ini memang tampak menyulitkan. Para suster mesti meyakinkan perempuan di pelbagai desa untuk mendengar petuah keluarga, kehamilan, kesehatan reproduksi dari mereka. Kesehatan perempuan krusial penting untuk diabaikan diperhatikan.”
Qibti mengisahkan sejarah kesehatan masa lalu sebagai bentuk penghormatan, menghargai atas kerja-kerja suster-suster CB yang sudah dilakukan selama 100 tahun di Indonesia. Tugas mulia itu perlu didokumentasikan sebagai bentuk kerja keaksaraan untuk warisan di masa mendatang. Pada 20 September 2019 lalu, Qibti pamit bertemu Tuhan. Keteladanan dalam hal kepenulisan yang Qibti hasilkan akan menjadi rangkaian doa dan amal perjalanan hidupnya. Ia berhasil mengumpulkan kata-kata dan meninggalkan cerita-cerita tentang buku, toleransi, bahasa,ekologi, film India, untuk kita semua. Selamat jalan, kak Qib!    


Pernah dimuat di Iqra.id


   


Minggu, 17 November 2019


Dakwah 


Beberapa hari lalu, dakwah ustaz Abdul Somad (UAS) memicu polemik dan konflik di media sosial. Siraman dakwah UAS menimbulkan perseteruan dan perselisihan umat beragama di Indonesia. Polemik dakwah UAS menyinggung perihal lambang keagamaan umat Nasrasi secara konfrontasi dan subjektif. Secara esensi, eksistensi, dan konotasi, penjelasan dakwah UAS terhadap Salib memang cenderung memberikan argumentasi negatif. UAS seolah tidak mempertimbangkan teknik dakwah kontekstual dalam melihat teologi-sosial masyarakat Indonesia.

Dari persoalan itu, kita semestinya menyadari perlu kembali mempelajari epistemologi dan dekontruksi dakwah islami. Dari kesejarahan dakwah yang pernah diajarkan oleh Rasulullah, kita tidak pernah mendengar cerita-cerita tentang kekerasan, cacian, hujatan, dan bahkan mengkafirkan agama lain. Rasulullah cenderung mengajarkan dakwah dengan nilai-nilai adab: kesabaran, ramah, santun, dan toleran. Persoalan eksistensi dakwah ini tampaknya mulai mengalami pergeseran paradigma secara universal di era postmodernisme.

Di era postmodernisme, kita terlalu dimudahkan untuk mempelajari agama hanya berbekal mendengarkan ceramah di media sosial. Keberlimpahan dakwah dari arus pan-islamisme membuat orang-orang (warganet) semakin memicu dan menimbulkan sikap rasis, otoriter, dan oportunistik. Kita seolah melupakan cara beretika dalam beragama dan bersosial dari pelajaran literatur-literatur normatif. Pada 1965-an, Roosdi Ahmad Sjuhada menulis buku berjudul Diagnosa Chutbah (1965). Tulisan-tulisan itu mengingatkan pada pergerakan tokoh-tokoh Islam berserta karya-karya tentang bagaimana seharusnya memahami esensi dakwah Islam.

Roosdi menyebutkan keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam berdakwah, seperti: Ibnu Nubatah (946-984 M), yang mengumpulkan catatan-catatan khutbah untuk dijadikan kitab, Abdul Mahmud Zamachsyari (1075-1144 M) menulis kitab berjudul Athwaquz Zahab Fil Mawa’iz wal chutab, Na’man Al-Alusi menulis kitab berjudul Ghalijatul Mawa’iz, dan Sjeich Sju’aib Huraifisj yang menulis kitab Ar-Raudhul Fa’iq fil Mawa’iz war Raqa’iq. Pasca kebangkitan Islam di Timur Tengah, kitab-kitab itu menjadi pedoman untuk memberikan penjelasan aturan-aturan dakwah keaksaraan yang difungsikan sebagaimana mestinya.  

Kitab-kitab tersebut dahulu digunakan sebagai rujukan sumber perkembangan dakwah di Timur Tengah. Dari tinjauan literatur Timur dan Barat, Roosdi memberikan beberapa catatan-catatan penting tentang nilai-nilai dalam berceramah (dakwah).  Bahwa esensi dan konotasi dakwah perlu meliputi aspek-aspek seperti: dapat membentuk kepribadian yang kuat, memiliki perasaan cinta kasih, bijaksana dalam bertutur, berjiwa bebas (ijtihad), memiliki keseimbangan yang dinamis dan progresif, dan memiliki rasa tanggung jawab.  

Dari penafsiran literatur normatif tentang esensi dakwah, Roosdi berhasil menjelaskan teknik dan metode-metode yang perlu disampaikan dalam berdakwah. Konotasi dakwah semestinya memiliki estetika-komunikatif untuk menumbuhkan religiusitas-sosial. Nilai-nilai dakwah seharusnya juga mengajarkan perasaan cinta kasih pada umat beragama (toleran). Keberhasilan dakwah tidak sekedar sebagai pergulatan dialog teologi-iman secara kelisanan, tetapi juga menjadi legitimasi persatuan negara-bangsa (keberagamaan).

Namun, perkembangan dakwah yang beraneka ragam ini juga pernah dikritisi Abdurahman Wahid (Gus Dus). Kritik itu terjadi tatkala substansi dakwah dijadikan komoditas dan legitimasi politik identitas. Gus Dus menulis esai berjudul Dakwah Harus Diteliti ? dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (2017). Gus Dus seolah mempertanyakan perkembangan dakwah populer yang tidak memiliki korelasi dalam aturan keagamaan. Seperti model dakwah eksklusif di masjid-masjid yang sering kali menyuarakan isu khilafah, sara, politik identitas, dan hujatan. Esensi dakwah seolah tidak memilik relevansi dan substansi untuk meningkatkan progresifitas beragama secara individu maupun kolektif.

Pergeseran dinamika dakwah disebabkan dari dampak pan-islamisme dan membludaknya ragam ekspresi (populisme Islam) di Indonesia mulai menunjukkan identitas kesalehan. Melemahnya efektifnya esensi dakwah akibat umat Islam terlalu banyak mengonsumsi ceramah-ceramah, menampakkan simbol-simbol keagamaan, bergaya hidup budaya pop islami yang berkiblat dari media sosial. Kita dapat memahami perkembangan dakwah kontemporer itu dari penelitian yang disusun oleh Greg Fealy & Sally White dalam buku berjudul Ustadz Seleb: Bisnis Moral & Fatwa Online (2012).

Greg Fealy meneliti tentang perubahan fungsi agama (Islam) yang dijadikan ladang bisnis dan komoditas dagang secara berlebihan. Merebaknya konsumsi Islam telah menandai berbagai pelayanan ekonomi Islam, atribut produk-produk Islam, dan simbolisasi keagamaan (pakaian) yang diperdagangkan secara massal. Komodifikasi Islam mencerminkan peningkatan religiusitas masyarakat urban di perkotaan semakin lebih konsumtif dan afirmatif.

Perubahan sosial ini ditandai dengan meledaknya keberhasilan dakwah dari berbagai ustaz-ustaz populer seperti Abdullah Gymnastiar, Jefri Al-Buchori, Yusuf Mansur, dan Arifin Ilham. Metode dan teknik dakwah yang digunakan senantiasa bersifat ajakan untuk mengonsumsi Islam dengan memadukan ekonomi Islam dan gaya hidup islami. Para ustaz membuat dakwah-dakwah sebagai candu gerakan bisnis produksi ceramah-ceramah, bisnis layanan SMS (teknologi), dan bisnis gerakan sedekah yang menjadi ciri khas ketenaran dalam teknik berdakwah.

Populernya arus dakwah konservatif memperoleh dukungan dari arus teknologi digital yang semakin mengabsurditaskan nilai-nilai keagamaan. Hal itu semakin menyulitkan kita untuk mencermati relevansi dakwah yang mampu memberikan nilai-estetika dalam meningkatkan kesadaran keagamaan (dialog iman). Dari dinamika kesejarahan dakwah di masa lalu, kita masih memperoleh cerita-cerita dakwah secara kelisanan maupun keaksaraan (buku-buku) dari para ulama-sufistik. Perubahan sosial yang terjadi membuat kita perlu mewaspadai perkembangan dakwah-dakwah masa kini di (media sosial). Seperti halnya tatkala kita menyepakati pesan-pesan dari Gus Dus, bahwa dakwah harus diteliti supaya dapat kita pahami.