Dakwah
Beberapa hari lalu,
dakwah ustaz Abdul Somad (UAS) memicu polemik dan konflik di media sosial.
Siraman dakwah UAS menimbulkan perseteruan dan perselisihan umat beragama di
Indonesia. Polemik dakwah UAS menyinggung perihal lambang keagamaan umat Nasrasi
secara konfrontasi dan subjektif. Secara esensi, eksistensi, dan konotasi,
penjelasan dakwah UAS terhadap Salib memang cenderung memberikan argumentasi negatif.
UAS seolah tidak mempertimbangkan teknik dakwah kontekstual dalam melihat
teologi-sosial masyarakat Indonesia.
Dari persoalan itu, kita
semestinya menyadari perlu kembali mempelajari epistemologi dan dekontruksi
dakwah islami. Dari kesejarahan dakwah yang pernah diajarkan oleh Rasulullah,
kita tidak pernah mendengar cerita-cerita tentang kekerasan, cacian, hujatan,
dan bahkan mengkafirkan agama lain. Rasulullah cenderung mengajarkan dakwah
dengan nilai-nilai adab: kesabaran, ramah, santun, dan toleran. Persoalan
eksistensi dakwah ini tampaknya mulai mengalami pergeseran paradigma secara universal
di era postmodernisme.
Di era postmodernisme, kita terlalu dimudahkan
untuk mempelajari agama hanya berbekal mendengarkan ceramah di media sosial.
Keberlimpahan dakwah dari arus pan-islamisme membuat orang-orang (warganet)
semakin memicu dan menimbulkan sikap rasis, otoriter, dan oportunistik. Kita
seolah melupakan cara beretika dalam beragama dan bersosial dari pelajaran literatur-literatur
normatif. Pada 1965-an, Roosdi Ahmad Sjuhada menulis buku berjudul Diagnosa Chutbah (1965). Tulisan-tulisan
itu mengingatkan pada pergerakan tokoh-tokoh Islam berserta karya-karya tentang
bagaimana seharusnya memahami esensi dakwah Islam.
Roosdi menyebutkan keberhasilan
tokoh-tokoh Islam dalam berdakwah, seperti: Ibnu Nubatah (946-984 M), yang mengumpulkan
catatan-catatan khutbah untuk dijadikan kitab, Abdul Mahmud Zamachsyari (1075-1144
M) menulis kitab berjudul Athwaquz Zahab
Fil Mawa’iz wal chutab, Na’man Al-Alusi menulis kitab berjudul Ghalijatul Mawa’iz, dan Sjeich Sju’aib
Huraifisj yang menulis kitab Ar-Raudhul
Fa’iq fil Mawa’iz war Raqa’iq. Pasca kebangkitan Islam di Timur Tengah, kitab-kitab
itu menjadi pedoman untuk memberikan penjelasan aturan-aturan dakwah keaksaraan
yang difungsikan sebagaimana mestinya.
Kitab-kitab tersebut dahulu
digunakan sebagai rujukan sumber perkembangan dakwah di Timur Tengah. Dari
tinjauan literatur Timur dan Barat, Roosdi memberikan beberapa catatan-catatan
penting tentang nilai-nilai dalam berceramah (dakwah). Bahwa esensi dan konotasi dakwah perlu
meliputi aspek-aspek seperti: dapat membentuk kepribadian yang kuat, memiliki
perasaan cinta kasih, bijaksana dalam bertutur, berjiwa bebas (ijtihad),
memiliki keseimbangan yang dinamis dan progresif, dan memiliki rasa tanggung
jawab.
Dari penafsiran literatur
normatif tentang esensi dakwah, Roosdi berhasil menjelaskan teknik dan metode-metode
yang perlu disampaikan dalam berdakwah. Konotasi dakwah semestinya memiliki
estetika-komunikatif untuk menumbuhkan religiusitas-sosial. Nilai-nilai dakwah seharusnya
juga mengajarkan perasaan cinta kasih pada umat beragama (toleran).
Keberhasilan dakwah tidak sekedar sebagai pergulatan dialog teologi-iman secara
kelisanan, tetapi juga menjadi legitimasi persatuan negara-bangsa
(keberagamaan).
Namun, perkembangan
dakwah yang beraneka ragam ini juga pernah dikritisi Abdurahman Wahid (Gus Dus).
Kritik itu terjadi tatkala substansi dakwah dijadikan komoditas dan legitimasi
politik identitas. Gus Dus menulis esai berjudul Dakwah Harus Diteliti ? dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (2017). Gus Dus seolah mempertanyakan perkembangan
dakwah populer yang tidak memiliki korelasi dalam aturan keagamaan. Seperti
model dakwah eksklusif di masjid-masjid yang sering kali menyuarakan isu
khilafah, sara, politik identitas, dan hujatan. Esensi dakwah seolah tidak
memilik relevansi dan substansi untuk meningkatkan progresifitas beragama
secara individu maupun kolektif.
Pergeseran dinamika dakwah
disebabkan dari dampak pan-islamisme dan membludaknya ragam ekspresi (populisme
Islam) di Indonesia mulai menunjukkan identitas kesalehan. Melemahnya efektifnya
esensi dakwah akibat umat Islam terlalu banyak mengonsumsi ceramah-ceramah, menampakkan
simbol-simbol keagamaan, bergaya hidup budaya pop islami yang berkiblat dari
media sosial. Kita dapat memahami perkembangan dakwah kontemporer itu dari
penelitian yang disusun oleh Greg Fealy & Sally White dalam buku berjudul Ustadz Seleb: Bisnis Moral & Fatwa
Online (2012).
Greg Fealy meneliti
tentang perubahan fungsi agama (Islam) yang dijadikan ladang bisnis dan komoditas
dagang secara berlebihan. Merebaknya konsumsi Islam telah menandai berbagai
pelayanan ekonomi Islam, atribut produk-produk Islam, dan simbolisasi keagamaan
(pakaian) yang diperdagangkan secara massal. Komodifikasi Islam mencerminkan
peningkatan religiusitas masyarakat urban di perkotaan semakin lebih konsumtif
dan afirmatif.
Perubahan sosial ini
ditandai dengan meledaknya keberhasilan dakwah dari berbagai ustaz-ustaz
populer seperti Abdullah Gymnastiar, Jefri Al-Buchori, Yusuf Mansur, dan Arifin
Ilham. Metode dan teknik dakwah yang digunakan senantiasa bersifat ajakan untuk
mengonsumsi Islam dengan memadukan ekonomi Islam dan gaya hidup islami. Para
ustaz membuat dakwah-dakwah sebagai candu gerakan bisnis produksi ceramah-ceramah,
bisnis layanan SMS (teknologi), dan bisnis gerakan sedekah yang menjadi ciri
khas ketenaran dalam teknik berdakwah.
Populernya arus dakwah konservatif
memperoleh dukungan dari arus teknologi digital yang semakin mengabsurditaskan
nilai-nilai keagamaan. Hal itu semakin menyulitkan kita untuk mencermati
relevansi dakwah yang mampu memberikan nilai-estetika dalam meningkatkan
kesadaran keagamaan (dialog iman). Dari dinamika kesejarahan dakwah di masa
lalu, kita masih memperoleh cerita-cerita dakwah secara kelisanan maupun
keaksaraan (buku-buku) dari para ulama-sufistik. Perubahan sosial yang terjadi membuat
kita perlu mewaspadai perkembangan dakwah-dakwah masa kini di (media sosial).
Seperti halnya tatkala kita menyepakati pesan-pesan dari Gus Dus, bahwa dakwah harus
diteliti supaya dapat kita pahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar