Minggu, 17 November 2019


Dakwah 


Beberapa hari lalu, dakwah ustaz Abdul Somad (UAS) memicu polemik dan konflik di media sosial. Siraman dakwah UAS menimbulkan perseteruan dan perselisihan umat beragama di Indonesia. Polemik dakwah UAS menyinggung perihal lambang keagamaan umat Nasrasi secara konfrontasi dan subjektif. Secara esensi, eksistensi, dan konotasi, penjelasan dakwah UAS terhadap Salib memang cenderung memberikan argumentasi negatif. UAS seolah tidak mempertimbangkan teknik dakwah kontekstual dalam melihat teologi-sosial masyarakat Indonesia.

Dari persoalan itu, kita semestinya menyadari perlu kembali mempelajari epistemologi dan dekontruksi dakwah islami. Dari kesejarahan dakwah yang pernah diajarkan oleh Rasulullah, kita tidak pernah mendengar cerita-cerita tentang kekerasan, cacian, hujatan, dan bahkan mengkafirkan agama lain. Rasulullah cenderung mengajarkan dakwah dengan nilai-nilai adab: kesabaran, ramah, santun, dan toleran. Persoalan eksistensi dakwah ini tampaknya mulai mengalami pergeseran paradigma secara universal di era postmodernisme.

Di era postmodernisme, kita terlalu dimudahkan untuk mempelajari agama hanya berbekal mendengarkan ceramah di media sosial. Keberlimpahan dakwah dari arus pan-islamisme membuat orang-orang (warganet) semakin memicu dan menimbulkan sikap rasis, otoriter, dan oportunistik. Kita seolah melupakan cara beretika dalam beragama dan bersosial dari pelajaran literatur-literatur normatif. Pada 1965-an, Roosdi Ahmad Sjuhada menulis buku berjudul Diagnosa Chutbah (1965). Tulisan-tulisan itu mengingatkan pada pergerakan tokoh-tokoh Islam berserta karya-karya tentang bagaimana seharusnya memahami esensi dakwah Islam.

Roosdi menyebutkan keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam berdakwah, seperti: Ibnu Nubatah (946-984 M), yang mengumpulkan catatan-catatan khutbah untuk dijadikan kitab, Abdul Mahmud Zamachsyari (1075-1144 M) menulis kitab berjudul Athwaquz Zahab Fil Mawa’iz wal chutab, Na’man Al-Alusi menulis kitab berjudul Ghalijatul Mawa’iz, dan Sjeich Sju’aib Huraifisj yang menulis kitab Ar-Raudhul Fa’iq fil Mawa’iz war Raqa’iq. Pasca kebangkitan Islam di Timur Tengah, kitab-kitab itu menjadi pedoman untuk memberikan penjelasan aturan-aturan dakwah keaksaraan yang difungsikan sebagaimana mestinya.  

Kitab-kitab tersebut dahulu digunakan sebagai rujukan sumber perkembangan dakwah di Timur Tengah. Dari tinjauan literatur Timur dan Barat, Roosdi memberikan beberapa catatan-catatan penting tentang nilai-nilai dalam berceramah (dakwah).  Bahwa esensi dan konotasi dakwah perlu meliputi aspek-aspek seperti: dapat membentuk kepribadian yang kuat, memiliki perasaan cinta kasih, bijaksana dalam bertutur, berjiwa bebas (ijtihad), memiliki keseimbangan yang dinamis dan progresif, dan memiliki rasa tanggung jawab.  

Dari penafsiran literatur normatif tentang esensi dakwah, Roosdi berhasil menjelaskan teknik dan metode-metode yang perlu disampaikan dalam berdakwah. Konotasi dakwah semestinya memiliki estetika-komunikatif untuk menumbuhkan religiusitas-sosial. Nilai-nilai dakwah seharusnya juga mengajarkan perasaan cinta kasih pada umat beragama (toleran). Keberhasilan dakwah tidak sekedar sebagai pergulatan dialog teologi-iman secara kelisanan, tetapi juga menjadi legitimasi persatuan negara-bangsa (keberagamaan).

Namun, perkembangan dakwah yang beraneka ragam ini juga pernah dikritisi Abdurahman Wahid (Gus Dus). Kritik itu terjadi tatkala substansi dakwah dijadikan komoditas dan legitimasi politik identitas. Gus Dus menulis esai berjudul Dakwah Harus Diteliti ? dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (2017). Gus Dus seolah mempertanyakan perkembangan dakwah populer yang tidak memiliki korelasi dalam aturan keagamaan. Seperti model dakwah eksklusif di masjid-masjid yang sering kali menyuarakan isu khilafah, sara, politik identitas, dan hujatan. Esensi dakwah seolah tidak memilik relevansi dan substansi untuk meningkatkan progresifitas beragama secara individu maupun kolektif.

Pergeseran dinamika dakwah disebabkan dari dampak pan-islamisme dan membludaknya ragam ekspresi (populisme Islam) di Indonesia mulai menunjukkan identitas kesalehan. Melemahnya efektifnya esensi dakwah akibat umat Islam terlalu banyak mengonsumsi ceramah-ceramah, menampakkan simbol-simbol keagamaan, bergaya hidup budaya pop islami yang berkiblat dari media sosial. Kita dapat memahami perkembangan dakwah kontemporer itu dari penelitian yang disusun oleh Greg Fealy & Sally White dalam buku berjudul Ustadz Seleb: Bisnis Moral & Fatwa Online (2012).

Greg Fealy meneliti tentang perubahan fungsi agama (Islam) yang dijadikan ladang bisnis dan komoditas dagang secara berlebihan. Merebaknya konsumsi Islam telah menandai berbagai pelayanan ekonomi Islam, atribut produk-produk Islam, dan simbolisasi keagamaan (pakaian) yang diperdagangkan secara massal. Komodifikasi Islam mencerminkan peningkatan religiusitas masyarakat urban di perkotaan semakin lebih konsumtif dan afirmatif.

Perubahan sosial ini ditandai dengan meledaknya keberhasilan dakwah dari berbagai ustaz-ustaz populer seperti Abdullah Gymnastiar, Jefri Al-Buchori, Yusuf Mansur, dan Arifin Ilham. Metode dan teknik dakwah yang digunakan senantiasa bersifat ajakan untuk mengonsumsi Islam dengan memadukan ekonomi Islam dan gaya hidup islami. Para ustaz membuat dakwah-dakwah sebagai candu gerakan bisnis produksi ceramah-ceramah, bisnis layanan SMS (teknologi), dan bisnis gerakan sedekah yang menjadi ciri khas ketenaran dalam teknik berdakwah.

Populernya arus dakwah konservatif memperoleh dukungan dari arus teknologi digital yang semakin mengabsurditaskan nilai-nilai keagamaan. Hal itu semakin menyulitkan kita untuk mencermati relevansi dakwah yang mampu memberikan nilai-estetika dalam meningkatkan kesadaran keagamaan (dialog iman). Dari dinamika kesejarahan dakwah di masa lalu, kita masih memperoleh cerita-cerita dakwah secara kelisanan maupun keaksaraan (buku-buku) dari para ulama-sufistik. Perubahan sosial yang terjadi membuat kita perlu mewaspadai perkembangan dakwah-dakwah masa kini di (media sosial). Seperti halnya tatkala kita menyepakati pesan-pesan dari Gus Dus, bahwa dakwah harus diteliti supaya dapat kita pahami.              




        
           


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar