Masjid, Ideologi,
dan Asmara
Judul
: Kambing dan Hujan
Penulis
: Mahfud Ikhwan
Penerbit :
Bentang Pustaka
Halaman : 373 Halaman
Halaman : 373 Halaman
Cetakan II : Februari 2018
Masjid dinarasikan oleh Mahfud Ikhwan dalam novel Kambing dan Hujan sebagai latar konflik agama, sosial, keluarga
dan asmara. Pada 1960-an di desa Centong, masjid menjadi ruang persaingan dan
perselisihan cara pandang dalam menafsirkan perintah agama. Perselisihan
tersebut telah melahirkan konflik berkepanjangan antara ormas pembaharuan”
Muhammadiyah” yang diusung kaum muda dan “Nahdhatul Ulama” sebagai keyakinan
kaum tua. Perbedaan seputar fiqih di antara kedua ormas tersebut begitu
mempengaruhi dalam menjalani rutinitas ibadah. Perbedaan itulah yang menimbulkan
kaum pembaharuan geram dan memilih membuat masjid sendiri untuk berdakwah dan
beribadah.
Masjid di Centong menjadi ruang ideologis. Masjid selatan
dan masjid utara memiliki jamaah sendiri-sendiri dalam menjunjung keyakinan
beragama. Dakwah kaum muda sebagai gerakan pembaharuan menginginkan untuk
menghilangkan tradisi dan budaya yang masih dijalani masyarakat Centong.
Tradisi lokal itu dianggap kaum pembaharuan menyimpang dari ajaran Islam. Kaum pembaharuan menyuarakan aktivitas dakwahnya
secara nekat meski menimbulkan konflik agama. Kaum muda dan kaum tua sama-sama tetap
gigih berkonflik demi menyuarakan ajaran dan kepercayaan yang paling benar
hingga bertahun-tahun lamanya.
Iskandar dan Fauzan dahulunya adalah teman dekat saat
menimba ilmu di Sekolah Rakyat. Mereka sering menggembala kambing, merokok,
tertawa bersama dengan sering berkhayal menatap masa depan di Gumuk Genjik.
Usai lulus dari SR nasib berpihak kepada Fauzan. Ia mampu meneruskan sekolahnya
di Pesantren Jombang. Meski Iskandar tak
mampu melanjutkan sekolah, ia tetap belajar agama dengan cara membeli
kitab-kitab dari hasil upah menggembala kambing. Iskandar adalah pemuda yang
memiliki kesadaran akan pentingnya ilmu agama. Ia tak mau kalah dengan Fauzan
tatkala nantinya diajak diskusi perihal agama. Namun menjelang Iskandar-Fauzan
beranjak dewasa, suasana desa Centong menjadi berubah. Iskandar memilih masuk ormas
pembaharuan “Muhammadiyah” dan memutuskan berguru kepada Cak Ali sebagai pimpinan
gerakan pembaharuan.
Mendengar berita kondisi Centong diserang gerakan
pembaharuan, Fauzan pulang dari pesantren untuk memimpin masjid selatan atas
perintah Kamituo. Kepulangan Fauzan memberi harapan terhadap kaum tua untuk
melanjutkan aktivitas dakwah organisasinya. Kini Iskandar dan Fauzan memiliki
jalan masing-masing dalam mengartikan dan menafsirkan perihal cara pandang beragama.
Mereka menjadi pemimpin agama yang berbeda namun kurang menjunjung nilai
toleransi dalam berdakwah.
Gelagat permusuhan mulai tampak dari cara pandang dalam
menafsirkan persoalan agama yang melanda desa Centong. Keberagamaan melulu menjadi perdebatan sesama muslim yang terlalu
fanatik terhadap keyakinan ormas agama. Beribadah sudah tidak lagi menjadi urusan
hamba dengan Tuhan, melainkan harus memiliki kesamaan cara pandang yang mesti dibenar-benarkan
oleh sebagian ormas penganut takfirisme. Pembenaran cara beragama yang diyakini
tanpa toleransi malah sering kali menimbulkan adu fisik, pemikiran, hingga
kekerasan. Kesadaran akan pentingnya toleransi sering dihiraukan hingga
menyebabkan konflik internal antar umat muslim itu sendiri.
Di Centong konflik tak hanya menyangkut keyakinan, namun
juga asmara dan keluarga. Cinta segitiga yang dialami Iskandar-Fauzan dan
Hidayatun membuat lara para tokoh dalam roman. Keberuntungan pun masih belum
berpihak terhadap Iskandar. Orang yang dicintainya bernama Yatun adalah orang
tradisionalis yang jelas akan berpihak kepada Fauzan. Ia mencoba mengikhlaskan
Yatun lantaran tak menerima restu orang tua. Kisah kegagalan asmara itu membuat
Iskandar merenungkannya. Ia lantas mengartikan asmara merupakan cobaan Tuhan
yang mampir untuk mengganggu meraih cita-citanya. Usai kejadian penolakan, Ia
kembali meneruskan tekadnya untuk mempelajari ilmu agama dengan melupakan perasaan
asmara serta kekecewaan.
Mahfud Ikhwan begitu elok dalam menarasikan persoalan konflik
agama dan asmara. Selain itu, Mahfud juga menampilkan asmara juga sebagai pemecah
dalam roman untuk mengerti agama, budaya, keluarga dan asmara yang dialami
Centong. Kisah asmara timbul kembali lewat Miftahul dan Fauzia. Mereka adalah putra-putri Iskandar dan Fauzan. Mif putra
pak Iskandar kuliah di Jogja mengambil jurusan sejarah sedangkan Zia kuliah di
Surabaya mengambil jurusan Bahasa Arab. Mif dan Zia berjumpa saat naik bis hendak ke Surabaya. Perjumpaan itu memberikan kesan berarti
terhadap Mif usai mengetahui Zia juga berasal dari Centong.
Kisah asmara Mif dan Zia mengalami penolakan oleh Iskandar-Fauzan
selaku orang tua. Penolakan itu dikarenakan perbedaan Latar belakang keluarga serta
luka lama yang masih menggores hati kisah para orang tua. Kebinggungan yang dialami
Mif dan Zia rupanya harus membuka cerita lama para orang tua. Dua sahabat
Iskandar-Fauzan dahulu pernah berkirim surat demi bertukar kabar dan cerita di
Centong. Fauzan mengisahkan cerita kepada Zia lewat surat-surat mereka pada
tahun 1960-an yang masih tersimpan. Begitu pula dengan Iskandar menceritakan penolakan
serta gunjingan oleh Kamituo selaku orang tua Yatun. Alasan para orang tua tak
membuat kisah asmara Mif dan Fauzia padam, mereka tetap memperjuangkan demi
meluruskan sejarah masa silam.
Mif adalah pemuda tangguh dalam mempertahankan
perasaannya. Ia tak mau gagal seperti orang tuannya dalam hal asmara. Demi bersatu
bersama Zia, ia memberanikan diri membuka silaturahmi diantara dua keluarga
yang masih berseteru. Mif dan Zia tentu
tak memiliki pemikiran yang sama orang tuannya dalam menafsirkan perihal agama.
Mereka adalah generasi muda yang akan
membawa Centong pada jalan perdamaian dan menjunjung nilai toleransi.
Kegigihan Mif dan Fauzia meski dilanda derita dari masa
lalu orang tuannya tak membuat goyah kisah asmara. Usaha asmara Mif dan Zia
menyadarkan pandangan Iskandar-Fauzan untuk lekas berdamai dan berhenti
berseteru dalam urusan agama. Kisah asmara Mif dan Zia membuat mereka akhirnya
berpelukan dan menangis bersama serta memutuskan untuk berbesan. Kisah asmara
Mif dan Zia telah membawa perubahan di desa Cendong terutama masjid selatan dan
masjid utara. Keberagamaan di desa Centong mengubur masa lalu yang penuh
konflik dengan membuka keberagamaan dengan penuh kisah cinta.
Pernah dimuat di Alif.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar