Masjid dan Filsafat
Dalam
sejarah peradaban Islam, berdirinya masjid dilatarbelakangi untuk menyebarkan
perjuangan dakwah Islam. Sejak Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah pada
622 M, Rasulullah dan para sahabat mendirikan masjid Quba sebagai tempat
musyawarah dan sarana ibadah-dakwah. Kesederhanaan masjid Quba tidak sekedar
menjadi tempat ibadah, tapi juga menjadi benteng pelindung untuk menyusun
strategi sosial-politik yang sedang bergejolak. Pergolakan itu sering kali
menyebabkan konflik, tindakan represif dan intoleransi, demi mempertahankan
panji kebenaran (Islam) sebagai agama monoteisme yang terakhir diwahyukan
Tuhan.
Kisah-kisah
dari Sirah Nabawi dalam menyebarkan dakwah
Islam begitu dramatis. Catatan dalam sejarah pergolakan kehidupan keluarga Nabi
mengajarkan keteguhan
iman dan ikhsan ketika menghadapi problematika sosial-keagamaan. Pada masa itu,
Rasulullah memiliki kesadaran yang kuat terhadap tempat ibadah (masjid) untuk
memperjuangkan nilai-nilai keislaman. Representasi masjid sebagai sarana dakwah
di masa lalu tidak sekedar bangunan megah, tapi juga menjadi ruang-ruang yang dapat
menyebarkan pendidikan dan pengetahuan Islam secara meluas dan universal.
Orientasi ruang pengetahuan dan pendidikan inilah yang diteliti oleh Sidi Gazalba dalam buku Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam (1994). Melalui pendekatan studi Alquran dan hadis, Sidi berhasil memberikan penjelasan secara gamblang bahwa masjid benar-benar menjadi pusat kebudayaan peradaban Islam. Gagasan ini menjadi penting pasca 1975 terjadinya “kongres masjid sedunia” di Mekkah (Hamka: 1994). Hasil kongres itu menyimpulkan bahwa untuk membangkitkan kemajuan Islam, umat Islam harus kembali memperbaiki fungsi masjid. Maka, dari penelitian Sidi tidak hanya sekedar menafsirkan Alquran dan hadis demi mengembalikan fungsi masjid, tapi juga melibatkan pendekatan ilmu-ilmu kontemporer seperti sosial, antropologi, politik, ekonomi, seni, dan filsafat.
Keterlibatan
berbagai disiplin bidang ilmu ini semakin menambah wawasan
dan pengetahuan Islam sebagai rujukan negara Eropa
(Barat). Perkembangan ini mulai terjadi pasca generasi para
sahabat. Pada masa khalifah Harun Ar-rasyid, perkembangan keilmuan di masa
dinasti Abbasiah mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan (sains). Hal
ini disebabkan umat Islam mulai menerjemahkan, mempelajari, dan menekuni
literatur-literatur filsafat Yunani. Gagasan ini diteruskan pada khalifah masa
Al-Ma’mun usai bermimpi bertemu Aristoteles. Al-Ma’mun memperoleh petuah dari
Aristoteles untuk menciptakan peradaban Islam berkemajuan dengan cara menerjemahkan buku
filsafat Yunani.
Mimpi yang dialami khalifah Al-Ma’mun menjadi gerakan
pembaharuan pemimpin Islam yang sadar terhadap buku-buku filsafat (literatur klasik). Kesadaran menerjemahkan buku-buku filsafat menjadi
penting untuk merumuskan metodologi dan teori ilmu yang dapat membawa
kemaslahatan sosial. Penerjemahan itu akhirnya memasuki ruang-ruang masjid,
perpustakaan, istana dinasti Abbasiah. Pembaharuan konsep kepemimpinan
Al-Ma’mun tidak hanya bergerak menerjemahkan buku filsafat Yunani, tetapi juga membangun masjid dan perpustakaan sebagai tempat dan sarana para ulama,
misionaris, tokoh-tokoh agama dalam mengembangkan keilmuan (sains).
Masjid dan filsafat saling bertemu menciptakan
keharmonisan dan estetika keilmuan Islam. Filsafat yang tumbuh di masjid telah
memberikan pengaruh pemikiran para ulama untuk senantiasa mengedepankan gagasan
ijtihad ketimbang taklid universal. Persoalan ini pernah disampaikan oleh Sidi Gazalba tatkala menjelaskan
fungsi masjid sebagai sumber kebudayaan Islam yang harus dilestarikan. Sebagai
pengkaji filsafat Islam, Sidi tidak sekedar memaknai masjid sebagai tempat
sujud tapi juga tempat untuk berfilsafat.
Penafsiran Sidi tidak semata-mata berasumsi dari
subjektifitas, melainkan menggunakan pendekatan studi Islam dengan literatur
kitab suci (Alquran-hadis). Sidi memberikan kritik serius terhadap orang-orang
(politikus, konglomerat) yang sregep
membangun masjid atas dasar satu hadis riwayat Muslim. Hadis yang mengatakan
“membangun masjid akan dibuatkan rumah di surga” tidak dimaknai secara
kontekstual dan mengalami absurditas
makna dan estetika. Pembangunan masjid seperti
ini malah menjadikan masjid berkontestasi menampilkan politik identitas,
kemegahan materiil, konflik ormas, dan minimnya kegiatan yang mengajarkan orang
berfilsafat (rasional).
Dari peristiwa berpikir (filsafat), seharusnya umat Islam
akan memperoleh hal-hal yang dapat memberikan ketenangan jiwa, etika, dan
nilai-nilai spiritualitas. Peristiwa ini yang dikritik Sidi secara serius
sebagai pengamat kebudayaan, filsafat Islam, dan ilmu sosial. Bahwa
fungsi masjid mengalami pergeseran nilai-nilai spiritualitas dan kerohanian.
Hal ini dapat dicermati dari perilaku-perilaku para dai, ulama, mubalig yang
acapkali memberikan isu-isu sensitif (sara) tatkala menyampaikan khotbah atau
pengajian. Ulama
ortodoks semakin arogan dalam berkisah tentang agama akibat tidak memahami nilai spiritualitas dan estetika kerohanian dengan berfilsafat.
Dari persoalan sosial ini, kita semestinya wajib
mencontoh kebudayaan Islam yang masih berkembang di masjid Jendral Sudirman (MJS) Yogyakarta.
Di masjid MJS, filsafat tumbuh untuk menyebarkan nilai-nilai
spiritualitas. Pengajian filsafat Islam yang diampu oleh Fahruddin Faiz berhasil melestarikan kebudayaan Islam yang melekat di ruang-ruang masjid. Masjid
dan filsafat mempertemukan banyak orang untuk mempelajari tokoh-tokoh pemikir
Islam seperti Ismail
Raji al-Faruqi, Seyyed Hoesein Nasr, Muhammad Iqbal, Hazrat Inayat Khan
dan lainnya.
Fahruddin Faiz
dalam buku Sebelum Filsafat
(2019) menjelaskan untuk
mempelajari filsafat perlu belajar menggunakan sistem pengajaran kelisanan dan keaksaraan demi menumbuhkan niat dalam memahami hakikat kehidupan. Bahasa dan intonasi
penuturan Fahruddin Faiz ketika menyampaikan filsafat begitu ringan dan mudah
dipahami oleh anak-anak muda (mahasiswa) sebagai jamaah tetap.
Kebudayaan ngaji filsafat ini semakin tumbuh sejak 2013 sampai
sekarang. Kebudayaan berpikir filsafat di masjid telah melahirkan buku-buku,
buletin jumat, dan nilai-nilai
spiritual. Peristiwa inilah yang masih menyelamatkan kemajuan dan kebudayaan Islam
yang tumbuh di masjid. Mempelajari filsafat di masjid adalah cara untuk
memahami nilai-nilai sosial dan hakikat kehidupan.
Pernah dimuat di web Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar