Mengenang
Ibu dengan Puisi
Berbagai
puisi tentang ibu hadir dari para penyair kondang di Indonesia. Kehadiran puisi-puisi
itu memberi ingatan kita tentang kisah religiositas, sosiologis, kebudayaan dan
keluarga. Ingatan tentang ibu pernah tertulis lewat kata-kata sebagai ingatan. Ibu begitu bermakna
terhadap kehidupan dalam membentuk pemikiran para penyair. Kisah-kisah tentang
ibu dapat dirasakan dari puisi-puisi Arif Maulana, Soni Farid Maulana, dan Wiji
Thukul. Para penyair ingin mengenang ibu lewat puisi. Berbagai puisi memberi
pemahaman tentang kultur sosial, ingatan masa lalu, keluarga dan keimanan.
Arif
Maulana pernah menulis buku berjudul Puisi-Puisi
Imani (2001). Puisi-puisi menjadi bentuk dakwah untuk menumbuhkan
religiositas anak-anak Indonesia. Puisi-puisi itu diselingi gambar-gambar
islami terasa menambah misi dakwah literasi. Gambar-gambar sengaja dimasukan ke
dalam buku supaya dapat memberi rangsangan untuk meningkatkan pemahaman keimanan,
ketauhidan, akhlak dan etika anak terhadap orangtua. Selain gambar, Arif
Maulana juga menulis puisi berjudul ibunda. “Ibunda
tercinta/ Memberi kasih dan cinta sepanjang masa/ Kepada anak-anaknya/ yang
perempuan dan yang lelaki/ Sejak tangis pertama bayi yang dilahirkan/ sampai
kelak kita dikuburkan/ Karena itu surga di telapak kakinya/ Begitu diibaratkan/
Bila kita menjadi anak yang tidak patut/ baginya/ Tak berbakti dan durhaka/
Maka tak akan beroleh surga nantinya.”
Puisi Arif
Maulana mengingatkan kita tentang kisah riwayat sahabat Rasulullah yang pernah
menyakiti hati orangtuanya. Sahabat itu bernama Al Qamah, seorang ulama yang
alim dan saleh. Kealiman dan kesalehan Al Qamah tidak akan berarti ketika ia
melukai hati ibunya sendiri. Dari kisah puisi itu, Al Qamah mengalami sakit dan
sekarat secara tidak wajar. Pada masa
itu, Rasulullah terasa begitu dilema ketika hendak menyelesaikan masalah kisah
anak durhaka. Ibundanya pun lantas bercerita kepada Rasulullah tentang perilaku
Al Qamah. Usai ibunda bercerita, ia menangis dan memaafkan segala perbuatan
yang telah melukai hatinya. Ampunan dari ibunda membukakan jalan damai dan
bahagia untuk Al Qamah. Ia selamat dan terhindar dari siksa api neraka karena
memperoleh doa dan ampunan dari ibunya.
Puisi
Arif Maulana terasa memberikan kisah religiositas keluarga demi meningkatkan
keimanan dan ketakwaan. Kisah-kisah itu bermisi dakwah kepada anak-anak sekaligus
orang dewasa agar senantiasa menjaga lisan, etika, dan perasaan pada orangtua.
Puisi-puisi mengajak kita agar senantiasa merenung, menggerakan perasaan tatkala membaca puisi berjudul ibunda. Puisi-puisi
tentang ibu pada dasarnya memiliki arti komunal tentang religiositas
dan nilai-nilai kebudayaan sosial. Ingatan tentang religiositas, kebudayaan,
dan keluarga, selalu hadir dalam setiap
karya penyair. Ibu
menjadi sumber ide dan gagasan menempuh kehidupan spiritual di jalan sastra.
Puisi Kritik
Selain Arif Maulana, beberapa penyair juga
selalu menyisipkan puisi tentang ibu dalam antologi puisi-puisinya. Salah
satunya Soni Farid Maulana, penyair angkatan 80-an ini berhasil menciptakan
puisi-puisi secara estetis dan puitik. Kita bisa menyimak puisi Soni tentang “ibu”:
“Belantara nilai mengepungku/ Melepas
ribuan anak panah ke jantungku/ Di belukar liar aku rubuh dan terluka. O. ibu/
Kepasrahanmu damai dan suci memelukku/ Membalut jiwaku dengan lembaran kasih
abadi/ Kau cakrawala yang membuka jalanku ke sungguh/ Dunia. Di situ terhayati
lagu yang kau senandungkan/ Membuat bintang menari, berkobar-kobar, dan aku/
Mengerti bahwa kau adalah sang kalbu: melindungku/ Dari percik api dengki
kehidupan. Lalu hangat/ Airmatamu yang mawar itu/ Terasa mekar tepat pada
ubun-ubunku.”
Puisi
Soni tentang ibu memang lebih estetis secara gaya dan bahasa. Soni menempatkan
ibu sebagai kekuatan, kebijaksanaan dalam sebuah keluarga. Dari puisi itu, Soni menjelaskan bahwa
peran ibu mengajarkan banyak hal
mulai dari pendidikan dan pengetahuan. Ingatan dan kecintaannya terhadap ibu
tak ingin hilang ditelan masa. Ia menuliskan pada “puisi ibu” sebagai pembelajaran,
penghormatan, ingatan serta doa untuk warisan umat satra di masa depan.
Namun
selain sebagai ingatan dan pembelajaran kehidupan dari puisi, aktivis Wiji
Thukul lebih menempatkan puisi-puisi sebagai kritik sosial. Di tengah rezim
otoriter, Wiji pernah menulis puisi tentang ibu di masa pergolakan susahnya mencari sandang-pangan. Dalam buku Mencari Tanah Lapang (1991) ia menulis: “Jika kau menagih baktiku/ itu sudah
kupersembahkan ibu/ waktu hidup yang tak kubiarkan beku/ itulah tanda baktiku
kepadamu/ gula dan teh memang belum kuberikan/ tetapi nilai hidup adakah di
dalam nasi semata/ apakah anak adalah tabungan/ bisa sesuka hati dipecah kapan
saja/ apakah kelahiran cuma urusan untung dan laba/ tumpukan budi yang harus
dibayar segera/ jalan mana harus ditempuh anak/ jika bukan yang biasa dan sudah
dipilih/ orang yang berjalan itu sendiri?”
Puisi
Wiji terasa berbeda menjelaskan perihal ibu dalam keluarga. Perbedaan itu
disebabkan latar sosial yang mewarnai pergolakan kehidupan Wiji. Cara Wiji berbakti kepada
orangtua cukup dengan bekerja, hidup sederhana tapi penuh kenangan dan bermakna.
Menjadi manusia yang
bermanfaat untuk kepentingan sosial
menjadi cara Wiji berbakti kepada keluarga. Sebagai aktivis, puisi-puisi Wiji telah menggerakkan kesadaran sosial dalam mencari keadilan dan kesejahteraan kaum
pinggiran di kota dan desa.
Sekian
puisi hadir demi mengenang ibu sebagai lantunan doa dan harapan dari para
penyair. Puisi-puisi itu mengingatkan kita betapa besarnya peran ibu dalam membina,
mengajarkan, bekerja demi keluarga. Peran ibu bukan hanya sekedar menyiapkan
kebutuhan secara biologis semata tetapi juga memberikan kasih yang tulus,
mengajarkan nilai religiositas dan nilai sosial dalam keluarga. Dari
puisi-puisi para penyair semestinya dapat meningkatkan rasa cinta kita terhadap
orangtua. Puisi-puisi itu pada dasarnya mengajarkan kita untuk senantiasa
memuliakan, menghargai, menghormati, dan mendoakan orangtua (ibu) ketika masih
ada di dunia maupun telah tiada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar