Selasa, 24 Desember 2019

Mengenang Ibu dengan Puisi




Berbagai puisi tentang ibu hadir dari para penyair kondang di Indonesia. Kehadiran puisi-puisi itu memberi ingatan kita tentang kisah religiositas, sosiologis, kebudayaan dan keluarga. Ingatan tentang ibu pernah tertulis lewat kata-kata sebagai ingatan. Ibu begitu bermakna terhadap kehidupan dalam membentuk pemikiran para penyair. Kisah-kisah tentang ibu dapat dirasakan dari puisi-puisi Arif Maulana, Soni Farid Maulana, dan Wiji Thukul. Para penyair ingin mengenang ibu lewat puisi. Berbagai puisi memberi pemahaman tentang kultur sosial, ingatan masa lalu, keluarga dan keimanan. 

Arif Maulana pernah menulis buku berjudul Puisi-Puisi Imani (2001). Puisi-puisi menjadi bentuk dakwah untuk menumbuhkan religiositas anak-anak Indonesia. Puisi-puisi itu diselingi gambar-gambar islami terasa menambah misi dakwah literasi. Gambar-gambar sengaja dimasukan ke dalam buku supaya dapat memberi rangsangan untuk meningkatkan pemahaman keimanan, ketauhidan, akhlak dan etika anak terhadap orangtua. Selain gambar, Arif Maulana juga menulis puisi berjudul ibunda. “Ibunda tercinta/ Memberi kasih dan cinta sepanjang masa/ Kepada anak-anaknya/ yang perempuan dan yang lelaki/ Sejak tangis pertama bayi yang dilahirkan/ sampai kelak kita dikuburkan/ Karena itu surga di telapak kakinya/ Begitu diibaratkan/ Bila kita menjadi anak yang tidak patut/ baginya/ Tak berbakti dan durhaka/ Maka tak akan beroleh surga nantinya.”  
  
Puisi Arif Maulana mengingatkan kita tentang kisah riwayat sahabat Rasulullah yang pernah menyakiti hati orangtuanya. Sahabat itu bernama Al Qamah, seorang ulama yang alim dan saleh. Kealiman dan kesalehan Al Qamah tidak akan berarti ketika ia melukai hati ibunya sendiri. Dari kisah puisi itu, Al Qamah mengalami sakit dan sekarat  secara tidak wajar. Pada masa itu, Rasulullah terasa begitu dilema ketika hendak menyelesaikan masalah kisah anak durhaka. Ibundanya pun lantas bercerita kepada Rasulullah tentang perilaku Al Qamah. Usai ibunda bercerita, ia menangis dan memaafkan segala perbuatan yang telah melukai hatinya. Ampunan dari ibunda membukakan jalan damai dan bahagia untuk Al Qamah. Ia selamat dan terhindar dari siksa api neraka karena memperoleh doa dan ampunan dari ibunya.

Puisi Arif Maulana terasa memberikan kisah religiositas keluarga demi meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Kisah-kisah itu bermisi dakwah kepada anak-anak sekaligus orang dewasa agar senantiasa menjaga lisan, etika, dan perasaan pada orangtua. Puisi-puisi mengajak kita agar senantiasa merenung, menggerakan  perasaan  tatkala membaca puisi berjudul ibunda. Puisi-puisi tentang ibu pada dasarnya memiliki arti komunal tentang religiositas dan nilai-nilai kebudayaan sosial. Ingatan tentang religiositas, kebudayaan, dan keluarga, selalu hadir dalam setiap karya penyair. Ibu menjadi sumber ide dan gagasan menempuh kehidupan spiritual di jalan sastra.

Puisi Kritik

Selain Arif Maulana, beberapa penyair juga selalu menyisipkan puisi tentang ibu dalam antologi puisi-puisinya. Salah satunya Soni Farid Maulana, penyair angkatan 80-an ini berhasil menciptakan puisi-puisi secara estetis dan puitik. Kita bisa menyimak puisi Soni tentang “ibu”: “Belantara nilai mengepungku/ Melepas ribuan anak panah ke jantungku/ Di belukar liar aku rubuh dan terluka. O. ibu/ Kepasrahanmu damai dan suci memelukku/ Membalut jiwaku dengan lembaran kasih abadi/ Kau cakrawala yang membuka jalanku ke sungguh/ Dunia. Di situ terhayati lagu yang kau senandungkan/ Membuat bintang menari, berkobar-kobar, dan aku/ Mengerti bahwa kau adalah sang kalbu: melindungku/ Dari percik api dengki kehidupan. Lalu hangat/ Airmatamu yang mawar itu/ Terasa mekar tepat pada ubun-ubunku.”   

Puisi Soni tentang ibu memang lebih estetis secara gaya dan bahasa. Soni menempatkan ibu sebagai kekuatan, kebijaksanaan dalam sebuah keluarga. Dari puisi itu, Soni menjelaskan bahwa peran ibu mengajarkan banyak hal mulai dari pendidikan dan pengetahuan. Ingatan dan kecintaannya terhadap ibu tak ingin hilang ditelan masa. Ia menuliskan pada “puisi ibu” sebagai pembelajaran, penghormatan, ingatan serta doa untuk warisan umat satra di masa depan.  

Namun selain sebagai ingatan dan pembelajaran kehidupan dari puisi, aktivis Wiji Thukul lebih menempatkan puisi-puisi sebagai kritik sosial. Di tengah rezim otoriter, Wiji pernah menulis puisi tentang ibu di masa pergolakan  susahnya mencari sandang-pangan. Dalam buku Mencari Tanah Lapang (1991) ia menulis: “Jika kau menagih baktiku/ itu sudah kupersembahkan ibu/ waktu hidup yang tak kubiarkan beku/ itulah tanda baktiku kepadamu/ gula dan teh memang belum kuberikan/ tetapi nilai hidup adakah di dalam nasi semata/ apakah anak adalah tabungan/ bisa sesuka hati dipecah kapan saja/ apakah kelahiran cuma urusan untung dan laba/ tumpukan budi yang harus dibayar segera/ jalan mana harus ditempuh anak/ jika bukan yang biasa dan sudah dipilih/ orang yang berjalan itu sendiri?”

Puisi Wiji terasa berbeda menjelaskan perihal ibu dalam keluarga. Perbedaan itu disebabkan latar sosial yang mewarnai pergolakan kehidupan Wiji. Cara Wiji berbakti kepada orangtua cukup dengan bekerja, hidup sederhana tapi penuh kenangan dan bermakna. Menjadi manusia yang bermanfaat untuk kepentingan sosial menjadi cara Wiji berbakti kepada keluarga. Sebagai aktivis, puisi-puisi Wiji telah menggerakkan kesadaran sosial dalam mencari keadilan dan kesejahteraan kaum pinggiran di kota dan desa.

Sekian puisi hadir demi mengenang ibu sebagai lantunan doa dan harapan dari para penyair. Puisi-puisi itu mengingatkan kita betapa besarnya peran ibu dalam membina, mengajarkan, bekerja demi keluarga. Peran ibu bukan hanya sekedar menyiapkan kebutuhan secara biologis semata tetapi juga memberikan kasih yang tulus, mengajarkan nilai religiositas dan nilai sosial dalam keluarga. Dari puisi-puisi para penyair semestinya dapat meningkatkan rasa cinta kita terhadap orangtua. Puisi-puisi itu pada dasarnya mengajarkan kita untuk senantiasa memuliakan, menghargai, menghormati, dan mendoakan orangtua (ibu) ketika masih ada di dunia maupun telah tiada.

 Pernah dimuat di Alif.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar