Kritikus
Sastra Mempermasalahkan Ruang
Judul Buku : Bahasa Ruang Ruang Puitik: Dan Teks
Kedua Lainnya
Penulis : M. Fauzi Sukri
Penerbit : BASABASI
Tebal Buku : 256 halaman
Cetakan I : Agustus 2018
ISBN : 978-602-5783-24-1
Pergulatan membaca berbagai
buku terutama berbahasa latin sangat mempengaruhi pemikiran M. Fauzi Sukri dalam
menilai dan melayangkan kritik terhadap sastra Indonesia. Penilaian dan kritik sastra muthakir itu terdapat pada buku berjudul
Bahasa Ruang Ruang Puitik: Dan Teks Kedua
Lainnya (2018). Buku ini memuat sekumpulan esai panjang yang mempersoalkan peristiwa
sejarah, ruang, sastra, dan religiositas teks sastra di Indonesia.
Beberapa penyair yang menulis puisi tentang masjid mampu ditafsirkan secara analitis oleh Fauzi
Sukri untuk menunjukan religiositas ruang.
Seperti puisi-puisi Chairil Anwar, D.
Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Taufiq Ismail, dan Emha Ainun Nadjib. Puisi-puisi para penyair tersebut menyimpan estetika religiositas masjid yang tidak hanya bersifat
arsitektural material. Kehadiran
puisi-puisi masjid seolah tidak menunjukan arsitektural material masjid, melainkan religiositas ruang
yang menghilangkan eksoterisme arsitektural.
Kita bisa mencermati
tafsiran Fauzi Sukri ketika menyebutkan puisi Emha Ainun Najib adalah puisi
yang paling menghilangkan eksoterisme arsitektural masjid. Puisi itu memang sungguh mengingkari material
arsitektural: Aku masjid/ Tak berpintu/
Dindingku ruang/ Lantaiku waktu. “Masjid bukan lagi bangunan, tempat,
material empat dimensi, atau apa pun yang bisa didefinisikan melalui kaidah
fikih (eksoterisme) atau kaidah
arsitektural yang sekuler. Masjid itu sendiri adalah ruang wahdatul wujud antara manusia dan Tuhannya, manusia dan dirinya,
manusia dan manusia yang lain (hlm. 33).”
Dari penafsiran itu kita
dapat mengetahui, bahwa puisi Emha ingin menunjukan religiositas ruang tanpa
adanya kemewahan bangunan dan ruang yang ada di masjid. Mafhum, kesadaran akan
kesederhanaan itu yang kini tak mampu kita temukan ketika orang-orang,
politisi, dan para ustad gemar
membangun masjid dengan nuansa kemegahan. Persepsi
umum itulah yang tampaknya Fauzi Sukri ingin sampaikan, bahwa ketika
eksoterisme itu tetap menjadi pilihan, kemungkinan kedekatan terhadap Tuhan malah
semakin tak dirasa oleh para hamba-Nya.
Selain menunjukan
penolakan terhadap eksoterisme arsitektural ruang, gagasan persoalan umum di
atas juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi muthakir yang menyebabkan
tumbuhnya religiositas dalam hati setiap insan manusia menjadi kian berbeda. Pasalnya
dampak dari perkembangan teknologi tersebut banyak menghilangkan
tradisi-tradisi dalam agama samawi terutama pada historis percetakan kitab
suci. Sejak penemuan mesin
cetak, tradisi menyalin kitab suci dengan metode penulisan semakin ditinggalkan
oleh para kaligrafer. Persoalan ini yang menjadi kajian menarik ketika Fauzi
Sukri mengisahkan dalam esai Umat Kitab:
Perjalanan Lima Abad Sebuah Kitab Anak.
Dari pembacaannya pada
novel People of the Book, karya
Geraldine Brooker (2015) dan novel Seniman
Kaligrafi Terakhir karya Yasmine Ghata (2008), Fauzi Sukri mengulas
peristiwa sejarah yang panjang
tentang penyalinan kitab suci dan percetakan sekitar abad ke-15. Penyalinan dengan
menggunakan mesin teknologi itu yang menyebabkan kegelisahan dalam dirinya
tatkala mesin cetak telah mengambil alih pekerjaan penyalinan kaligrafer pada
kitab suci.
Kita bisa menyimak kegelisahan
Fauzi Sukri “Novel ini menampilkan kisah para pemabuk-penulisan ilahiah yang
terakhir dalam sejarah penulisan sakral dalam Islam, sebelum pada 1928 Kemal
Ataturk mengganti huruf (bahasa) Arab dengan bahasa Turki berhuruf Latin dan
menyingkirkan para pemabuk penulisan kitab suci dari sistem pendidikan formal
di Turki untuk selamanya. Sejak itu dan semakin berkuasanya mesin percetakan
otomatis, tangan-tangan manusia yang dialiri getar suara Allah mulai terhapus.
Para kaligrafer ilahiah lama menangis terisak-isak sampai ke alam kubur mereka
(hlm. 43).”
Disadari atau tidak,
adanya percetakan modern tersebut juga sangat berkaitan dengan religiositas
ruang dari pencapaian hasil tercetakan muthakir. Hasil dari penyalinan kitab
suci yang menggunakan metode kepenulisan dan percetakan sangat mempengaruhi
kesakralan kitab suci menjadi lebih berbeda. Metode kepenulisan masa lalu lebih memiliki nilai sakralitas
ketika didasarkan pada tindakan kesabaran, ketekunan, dan
kehati-hatian dalam memahami bahasa kitab suci. Maka secara tidak sadar, Fauzi
Sukri juga ingin menjelaskan religiositas ruang itu dapat ditimbulkan dari cara
memahami historisitas umat manusia setelah
mempelajari ilmu kehidupan di dunia.
Penampakan religiositas
ruang ini semakin diperjelas dalam esai yang lain berjudul Bahasa Ruang Ruang puitik. Fauzi Sukri memberikan kritik serius terhadap
buku puisi Avianti Armand berjudul Buku
tentang Ruang (2016). Fauzi Sukri menggunakan tipologi untuk memetakan
puisi tersebut untuk menafsirkanya secara rasional agar mengetahui religiositas
ruang yang ada dalam buku puisi Avianti Armand. Tipologi yang digunakan sangat
berkaitan dengan berbagai ruang seperti:
ruang teologis, ruang sosiologis, dan ruang ekologis.
Ruang teologis inilah
yang ditafsirkan Fauzi Sukri setelah membaca sepenggal puisi: Berjalanlah, tuan. Di depan sana ada sebuah
lorong/ yang melingkar ke atas dengan cahaya di ujungnya./ Ke sana semua orang
menghilang. Juga ada sebuah celah/ terjal dan gelap ke mana kita terjun. Ke
bawah.// Ke bawah. Dari puisi Avianti Armand tersebut kita sangat memahami
religiositas ruang berkaitan dengan paradigma agama ibrahimi dalam menjelaskan
surga dan neraka. Lorong itu yang tampaknya di persiapkan Tuhan sebagai jalan
menuju religiositas ruang yang absolut. Maka gagasan tentang ruang dari
pembacaan sastra inilah yang
ingin dikemukakan Fauzi Sukri. Tentu kritik ini
supaya kita mampu memahami
ruang-ruang spiritual
(teologi)
yang tersembunyi.
Pernah dimuat di Iqra.id Pada 01 Agustus 2018
Pernah dimuat di Iqra.id Pada 01 Agustus 2018