Senin, 12 Agustus 2019

Kritikus Sastra Mempermasalahkan Ruang   



    

Judul Buku      : Bahasa Ruang Ruang Puitik: Dan Teks Kedua Lainnya
Penulis             : M. Fauzi Sukri
Penerbit           : BASABASI
Tebal Buku      : 256 halaman
Cetakan I          : Agustus 2018
ISBN                  : 978-602-5783-24-1

Pergulatan membaca berbagai buku terutama berbahasa latin sangat mempengaruhi pemikiran M. Fauzi Sukri dalam menilai dan melayangkan kritik terhadap sastra Indonesia. Penilaian dan kritik  sastra muthakir itu terdapat pada buku berjudul Bahasa Ruang Ruang Puitik: Dan Teks Kedua Lainnya (2018). Buku ini memuat sekumpulan esai panjang yang mempersoalkan peristiwa sejarah, ruang, sastra, dan religiositas teks sastra di Indonesia. 

Sebagai kritikus sastra, Fauzi Sukri sangat mencermati ruang yang digunakan para penyair dan sastrawan dalam menjelaskan karya sastra yang berkaitan dengan agama. Pembahasan terhadap ruang tak hanya mempersoalkan luas, membentang secara vertikal dan horizontal tapi juga religiositas ruang yang digunakan para penyair di Indonesia. Religiositas ruang itu dapat kita cermati diesai yang berjudul Religiositas Puisi Masjid Neoplatonisme yang Menghilangkan Eksoterisme Arsitektural Masjid
 
Beberapa penyair yang menulis puisi tentang masjid mampu ditafsirkan secara analitis oleh Fauzi Sukri untuk menunjukan religiositas ruang. Seperti puisi-puisi Chairil Anwar, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Taufiq Ismail, dan Emha Ainun Nadjib. Puisi-puisi para penyair tersebut menyimpan estetika religiositas masjid yang tidak hanya bersifat arsitektural material. Kehadiran puisi-puisi masjid seolah tidak menunjukan arsitektural material masjid, melainkan religiositas ruang yang menghilangkan eksoterisme arsitektural. 

Kita bisa mencermati tafsiran Fauzi Sukri ketika menyebutkan puisi Emha Ainun Najib adalah puisi yang paling menghilangkan eksoterisme arsitektural masjid.  Puisi itu memang sungguh mengingkari material arsitektural: Aku masjid/ Tak berpintu/ Dindingku ruang/ Lantaiku waktu. “Masjid bukan lagi bangunan, tempat, material empat dimensi, atau apa pun yang bisa didefinisikan melalui kaidah fikih (eksoterisme) atau kaidah arsitektural yang sekuler. Masjid itu sendiri adalah ruang wahdatul wujud antara manusia dan Tuhannya, manusia dan dirinya, manusia dan manusia yang lain (hlm. 33).”

Dari penafsiran itu kita dapat mengetahui, bahwa puisi Emha ingin menunjukan religiositas ruang tanpa adanya kemewahan bangunan dan ruang yang ada di masjid. Mafhum, kesadaran akan kesederhanaan itu yang kini tak mampu kita temukan ketika orang-orang, politisi, dan para ustad gemar membangun masjid dengan nuansa kemegahan. Persepsi umum itulah yang tampaknya Fauzi Sukri ingin sampaikan, bahwa ketika eksoterisme itu tetap menjadi pilihan, kemungkinan kedekatan terhadap Tuhan malah semakin tak dirasa oleh para hamba-Nya. 

Selain menunjukan penolakan terhadap eksoterisme arsitektural ruang, gagasan persoalan umum di atas juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi muthakir yang menyebabkan tumbuhnya religiositas dalam hati setiap insan manusia menjadi kian berbeda. Pasalnya dampak dari perkembangan teknologi tersebut banyak menghilangkan tradisi-tradisi dalam agama samawi terutama pada historis percetakan kitab suci. Sejak penemuan mesin cetak, tradisi menyalin kitab suci dengan metode penulisan semakin ditinggalkan oleh para kaligrafer. Persoalan ini yang menjadi kajian menarik ketika Fauzi Sukri mengisahkan dalam esai Umat Kitab: Perjalanan Lima Abad Sebuah Kitab Anak. 

Dari pembacaannya pada novel People of the Book, karya Geraldine Brooker (2015) dan novel Seniman Kaligrafi Terakhir karya Yasmine Ghata (2008), Fauzi Sukri mengulas peristiwa sejarah yang panjang tentang penyalinan kitab suci dan percetakan sekitar abad ke-15. Penyalinan dengan menggunakan mesin teknologi itu yang menyebabkan kegelisahan dalam dirinya tatkala mesin cetak telah mengambil alih pekerjaan penyalinan kaligrafer pada kitab suci. 

Kita bisa menyimak kegelisahan Fauzi Sukri “Novel ini menampilkan kisah para pemabuk-penulisan ilahiah yang terakhir dalam sejarah penulisan sakral dalam Islam, sebelum pada 1928 Kemal Ataturk mengganti huruf (bahasa) Arab dengan bahasa Turki berhuruf Latin dan menyingkirkan para pemabuk penulisan kitab suci dari sistem pendidikan formal di Turki untuk selamanya. Sejak itu dan semakin berkuasanya mesin percetakan otomatis, tangan-tangan manusia yang dialiri getar suara Allah mulai terhapus. Para kaligrafer ilahiah lama menangis terisak-isak sampai ke alam kubur mereka (hlm. 43).” 

Disadari atau tidak, adanya percetakan modern tersebut juga sangat berkaitan dengan religiositas ruang dari pencapaian hasil tercetakan muthakir. Hasil dari penyalinan kitab suci yang menggunakan metode kepenulisan dan percetakan sangat mempengaruhi kesakralan kitab suci menjadi lebih berbeda. Metode kepenulisan masa lalu lebih memiliki nilai sakralitas ketika didasarkan pada tindakan kesabaran, ketekunan, dan kehati-hatian dalam memahami bahasa kitab suci. Maka secara tidak sadar, Fauzi Sukri juga ingin menjelaskan religiositas ruang itu dapat ditimbulkan dari cara memahami historisitas umat manusia setelah mempelajari ilmu kehidupan di dunia. 

Penampakan religiositas ruang ini semakin diperjelas dalam esai yang lain berjudul Bahasa Ruang Ruang puitik. Fauzi Sukri memberikan kritik serius terhadap buku puisi Avianti Armand berjudul Buku tentang Ruang (2016). Fauzi Sukri menggunakan tipologi untuk memetakan puisi tersebut untuk menafsirkanya secara rasional agar mengetahui religiositas ruang yang ada dalam buku puisi Avianti Armand. Tipologi yang digunakan sangat berkaitan dengan  berbagai ruang seperti: ruang teologis, ruang sosiologis, dan ruang ekologis. 

Ruang teologis inilah yang ditafsirkan Fauzi Sukri setelah membaca sepenggal puisi: Berjalanlah, tuan. Di depan sana ada sebuah lorong/ yang melingkar ke atas dengan cahaya di ujungnya./ Ke sana semua orang menghilang. Juga ada sebuah celah/ terjal dan gelap ke mana kita terjun. Ke bawah.// Ke bawah. Dari puisi Avianti Armand tersebut kita sangat memahami religiositas ruang berkaitan dengan paradigma agama ibrahimi dalam menjelaskan surga dan neraka. Lorong itu yang tampaknya di persiapkan Tuhan sebagai jalan menuju religiositas ruang yang absolut. Maka gagasan tentang ruang dari pembacaan sastra inilah yang ingin dikemukakan Fauzi Sukri. Tentu kritik ini supaya kita mampu memahami ruang-ruang spiritual (teologi) yang tersembunyi.    

Pernah dimuat di Iqra.id Pada 01 Agustus 2018



           

Lagu, Logo, dan Muktamar Muhammadiyah



Pada 31 Juli 2019 lalu, panitia kongres Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang akan diselenggarakan di Solo meresmikan logo Muktamar di gedung Siti Walidah Universitas Muhammadiyah Surakarta.  Acara tersebut dihadiri oleh jajaran Rektor UMS, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Aisyiyah, Menteri Pendidikan, Wakil Gubernur Jawa Tengah, dan juga berbagai Pengurus Daerah Muhammadiyah. Dalam sambutan, Haidar Natsir selaku Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengingatkan kepada para anggota untuk senantiasa memperkokoh misi dakwah Muhammadiyah dari sejarah masa lalu. 

Misi Muhammadiyah antara lain mengembangkan spirit dakwah Islam berkemajuan dan mengevaluasi kinerja yang sudah dilaksanakan. Evaluasi kinerja ini perlu ditradisikan dengan  duduk bersama dan berkumpul dalam kongres Muktamar untuk membahas persoalan umat dan bangsa. Dari sejarah hasil kongres Muktamar, akan menjadi bahan pembelajaran untuk menghadapi tantangan-tantangan global. Peristiwa ini diingatkan kembali oleh Haidar Natsir lewat sejarah lagu kenangan kongres Muktamar ke-18 di Solo. Lagu menganalogikan semangat, kekuatan, dan persatuan umat Islam sejak masa kolonialisme.

Pada 1929, lagu diciptakan untuk perhelatan Muktamar Muhammadiyah ke-18 di kota Solo. Lagu itu berjudul Nyanyian Muktamar ke-18 di Solo gubahan HM Yunus Anis. Haidar Natsir turut menyanyikan bait-bait lagu tatkala memberi sambutan. “Kongres kita amat besar/ selalu kita gembira/ besar arti dan besar halnya/ besar pula yang ditera/ Maka syukur kami yang tak terkira-kira/ kepada Allah yang memelihara/ Muhammadiyah ditolong dan disuburkan dengan segera/ sehingga syiarnya kentara/ Muhammadiyah sedikit bicara/ banyak bekerja/ terima kasih kepada semua tuan dan siti-siti/ yang mengunjungi kongres besar dengan ringan ikhlas hati/ Kongres Muhammadiyah yang sangat berarti/ mempersatukan dengan hati/ kaum Islam se-Hindia supaya sekata sehati/ maka wajib diperingati/ kongres di Solo/sedikit bicara/ banyak bekerja.” 

Di masa kolonial, pergerakan dakwah Muhammadiyah sudah berhasil menyatukan umat secara kolektif. Ingatan lagu menandakan, bahwa peran Muhammadiyah dari sejarah masa lalu telah memberikan gagasan revolusioner dalam bidang pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi, dan politik. Gagasan itu mempertajam dengan bentuk-bentuk dakwah yang relevan terhadap tantangan umat Islam di Indonesia. Sejak kelahiran Muhammadiyah pada 1912 di Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan sudah berpikir untuk menghadapi problematika umat Islam yang sinkretik, taklid, dan anti-kemodernan. Sebagai organisasi Muslim yang berorientasi skripturalis, Muhammadiyah menawarkan paham-paham keagamaan yang dapat membebaskan kaum Muslimin dari belenggu kejumudan dan kemusyikan. 

Transformasi struktural dalam diri Muhammadiyah menekankan pentingnya memahami konsep keagamaan dengan cara-cara rasional untuk meningkatkan kualitas hidup umat (teologi amal). Konsep rasionalitas tersebut berhasil memadukan corak teologi yang dapat diejawantahkan dalam bentuk gerakan dakwah sebagai titik sentral dan kardinal dalam bidang pendidikan Islam. Realisasi pengembangan gerakan dakwah pendidikan Islam ini mulai terjadi pada 1920-an. KH Ahmad Dahlan sudah memikirkan media massa (pers Islam) untuk mewujudkan pengembangan sistem dakwah dan kurikulum pendidikan Islam di Indonesia. Ia berhasil membentuk majalah Islam (pers) pertama kali di Hindia-Belanda yang bernama “Suara Muhammadiyah (SM)” sebagai wadah mengembangkan dakwah internal maupun eksternal.

Kita bisa membaca kembali majalah Suara Muhammadiyah edisi No.4/65 Februari 1985 untuk memahami kesejarahan berdirinya majalah Suara Muhammadiyah. Pada 1920 ketika mendirikan SM, KH Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi ketua pertama Muhammadiyah, tetapi juga sebagai pimpinan redaksi dan wartawan. Gagasan KH Ahmad Dahlan menerbitkan majalah Islam (SM) ini dipengaruhi ide-ide Muhammad Abduh, seorang tokoh pembaharuan Islam di Mesir. Intensitasnya membaca majalah Al-Manar dan beberapa majalah terbitan Melayu, membuat KH Ahmad Dahlan mulai berpikir untuk memberikan pembelajaran kepada umat di Indonesia secara keaksaraan. 

Maka sejak 1920, gerakan dakwah SM mulai berkembang sebagai media massa (pers Islam) yang bekerja untuk memberitakan sejarah perjuangan Muhammadiyah dalam bidang sosial, pendidikan Islam, dan lain-lain. Berkat SM, gerakan dakwah Muhammadiyah semakin leluasa dalam menyebarkan panji-panji Islam berkemajuan di seluruh pulau Hindia-Belanda (Indonesia). Gagasan dakwah Muhammadiyah mulai diterima oleh umat Islam sebagai gerakan pembaharuan yang bergerak dalam mewujudkan paham Islam yang kontekstual. 

Kita bisa memahami gagasan skripturalis dan perkembangan dakwah Muhammadiyah dalam buku Muhammadiyah Kini dan Esok (1990) yang di editori Din Syamsuddin. Esai yang ditulis Achmad Jainuri berjudul Muhammadiyah Sebagai Gerakan Pembaharuan Islam memberikan penjelasan, bahwa sejak kebangkitan Islam, para ulama di seluruh dunia menawarkan konsep-konsep pemikiran Islam yang relevan untuk dikembangkan di berbagai negara mayoritas Muslim. Seperti berdirinya Muhammadiyah lantaran disebabkan adanya faktor internal dan eksternal yang melatarbelakangi terbentuknya konsep gerakan pembebasan. 

Pertama, faktor internal ini akibat kondisi kehidupan keagamaan yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Umat Islam masih meyakini dan memadukan konsep teologi Islam (sinkretik) sebagai pedoman dalam beribadah. Persoalan ini yang membuat peran dan dakwah Muhammadiyah perlu meluruskan kembali tentang pemahaman teologi Islam sesuai ajaran Rasulullah. 

Kedua, selain faktor internal, ada pula faktor eksternal yang menjadi alasan dakwah Muhammadiyah. Sejak masa kolonial, politik Islam Belanda telah mengacaukan sistem hukum Islam yang sudah berkembang dari literatur-literatur klasik di Nusantara. Hal ini yang membuat umat Islam di masa kolonial semakin tidak memahami hakikat Islam. Mafhum,  pada masa itu pemerintah kolonial menerapkan sistem hukum yang mengikat dan membelenggu umat Islam. Dari berbagai persoalan sosial tersebut, Muhammadiyah telah berjuang dan bekerja dalam mengembangkan ilmu pendidikan Islam. Maka sejak kebangkitan Islam di Timur Tenggah, tokoh-tokoh pergerakan Islam mulai menyebarkan nilai-nilai dakwah secara massal dan rasional. 

Simbolisme Kemajuan

Logo yang sudah diresmikan oleh panitia kongres Muktamar ke-48 tampaknya memiliki makna yang kuat terhadap nilai-nilai sosial dan kebudayaan di Solo. Pasalnya, logo yang diresmikan tersebut memilih simbol gunung sebagai bagian dari perhelatan akbar. Gunung memiliki arti pohon kehidupan yang melambangkan isi semesta alam. Seperti kisah-kisah dalam pewayangan, gunungan memiliki peran penting sebagai pembuka dan penutup disetiap babak (jejeran). Dari simbolisasi ini kita bisa memahami bahwa kongres Muhammadiyah ke-48 di Solo ingin memadukan dakwah dengan kearifan budaya-budaya lokal. Kebudayaan lokal itu juga dapat dijadikan sebagai gagasan dalam pergerakan dakwah Islam yang dinamis dan progresif.

Kota Solo memang kota pergerakan yang memiliki banyak kebudayaan. Kebudayaan itu masih melekat dan menjadi tradisi di keraton Kasunanan, Mangkunegara, dan masyarakat setempat. Memadukan kebudayaan dalam berdakwah menjadi misi penting asal tidak menyimpang dari perintah agama. Hal ini yang barang kali menjadi tujuan pemilihan kota Solo sebagai tempat perhelatan Muktamar ke-48. Kesejarahan Solo sebagai kota pergerakan Muhammadiyah juga dapat kita ketahui dari rekam sejak kongres Muktamar ke-41 di Solo pada 1985. Dari hasil evaluasi Muktamar tersebut, perkembangan pendidikan Islam Muhammadiyah semakin tumbuh subur. Dari hasil laporan kongres itu, secara kuantitatif perkembangan sekolah Muhammadiyah telah mencapai 14.384, mulai dari SD sampai SMTA dan berbagai universitas Muhammadiyah di Indonesia. 

Dari hasil kemajuan pendidikan Islam ini, kita pantas mengenang dan mengingat kembali lagu garapan HM Yunus Anis. Keberhasilan dinamika dakwah Muhammadiyah yang memadukan budaya Islami menjadi ijtihad pembaharuan dalam berdakwah. Sedikit tulisan tentang sejarah kongres Muktamar Muhammadiyah di Solo ini hanya ingin mengingatkan kembali lirik lagu Muktamar ke-18, bahwa Muhammadiyah memang sedikit bicara banyak bekerja. 

Pernah dimuat di alif.id pada 13 Agustus 2019.