Kamis, 26 Desember 2019


Puisi, Novel, dan Ruang Akhirat

Kesejarahan sastra Islam di Indonesia tidak lepas dari kebudayaan pesantren. Pada 1980-an, sastra Islam semakin tumbuh di pesantren dan menjelaskan kultur sosial-kebudayaan di Indonesia. Tokoh-tokoh sastra Islam di masa itu merangkai norma-norma sosial-keagamaan sebagai legitimasi dalam merumuskan pendidikan holistik. Rekontruksi dari bacaan sastra Islam memuat nilai nasionalisme, budaya, politik, agama, sosial-keluarga. Persoalan itu dapat kita temukan tatkala membaca tulisan-tulisan sastrawan Islam seperti; Djamil Suherman, Abdul Hadi W.M, A.A. Navis, Kuntowijiyo, dan Triyanto Triwikromo. Perkembangan sastra Islam tidak sekedar mengarah pada persoalan kritik sosial-budaya, tapi juga turut memberikan nilai estetik dalam menjelaskan religiositas ruang akhirat.

Untuk menunjukan religiositas ruang akhirat, Kuntowijoyo berhasil memadukan nilai-nilai kebudayaan di Timur Tengah dan Indonesia lewat puisi-puisi. Kuntowijiyo sadar, bahwa pertemuan kebudayaan syair akan menciptakan estetika sastra Islam semakin memiliki kompleksitas makna secara universal. Sajak-sajak puisi Kuntowijoyo diambil dari kitab Al-Barzanji menjadi bukti bahwa sastra Islam turut mengenang dan mengajarkan norma dari kisah kehidupan Rasulullah. “Ya, Allah. Taburkanlah wangian/ di kubur Nabi yang mulia/ dengan semerbak salawat/ dan salam sejahtera/ Sesudah membuka pintu-pintu/ aku keluar menuju ladang/ dan di antara pohon kutemukan/ senyum, danau, dan ayat Tuhan.” Puisi-puisi Kuntowijoyo mengingatkan nilai-nilai spiritualitas tauhid, akhlak, makrifat dan menanamkan tradisi ziarah untuk umat Islam agar senantiasa mengingat kematian.

Paradigma puisi Kuntowijoyo terasa menjadi metafisik yang melupakan materialisme. Makna-makna yang terkandung dari puisi berisi cinta, kebahagian, dan keselamatan. Namun, kecenderungan puisi yang mengansumsikan makna metafisik turut bergerak pada persoalan ruang teologis absolut (surga-neraka) secara implisit. Seperti “Ya Allah, Taburkanlah wangian/ di kubur Purnama yang mulia/ dengan semerbak salawat/ dan salam sejahtera/ Aku jatuh cinta/ karena matematik/ mengajar manusia/ lebih mulia dari malaikat/ demikian kutulis musik & puisi/ dan menanti mutmainah di sudut rumah/ sambil menatap kuncup rahmat mekar di halaman.” Dari penafsiran sajak kitab Al-Barzanji, Kuntowijoyo menganalogikan ruang teologis-metafisik dengan “rumah dan halaman.” Kehadiran “rumah dan halaman” dalam puisi menunjukkan esensi keselamatan dan memperoleh kebahagian di akhirat (surga).  

Persoalan konsep religiositas ruang (surga-neraka) tampaknya sering menjadi latar dalam karya-karya sastra Islam di Indonesia. Djamil Suherman menulis prosa berjudul Perjalanan ke Akhirat (1985) sebagai bagian dari dakwah-keagamaan. Kisah itu bermula dari persoalan sosial-keluarga. Salim seorang tokoh yang memiliki sifat alim dan tanggung jawab terhadap keluarga. Namun, pasca bekerja, Salim mengalami kecelakaan dan menyebabkan ia meninggal dunia. Ratapan dan kesedian dialami oleh istrinya bernama Salamah dan ibunya. Kesedihan keluarga tampaknya menghambat arwah Salim menuju alam kubur. Kurangnya keikhlasan keluarga Salim berdampak pada arwah Salim mengalami hambatan di dunia metafisik (ruang akhirat). Padahal selama Salim hidup, ia banyak mengerjakan kebaikan. Ia merasa sedih saat Salamah dan ibunya masih menangisi arwah yang sudah memperoleh jalan yang terang. 

Di alam Barzah, Salim melihat orang-orang memperoleh siksaan dari para malaikat. Salim semakin penasaran, dan menanyakan pada malaikat apa penyebab orang-orang mengalami nasib yang memprihatinkan di akhirat. Kebanyakan orang-orang yang memperoleh siksaan disebabkan mereka lalai memanfaatkan waktu dan harta demi kemaslahatan umat. Selama hidup di dunia, mereka melupakan perintah dan anjuran agama. Kesenangan terhadap duniawi (materiil) mampu membutakan pesan tersirat bahwa alam akhirat jauh lebih absolut dan universal. Ketidakmampuan menahan ujian keimanan di dunia berdampak pada kedudukan baik-buruknya timbangan amal jariah pasca hari perhitungan.

Kisah serupa juga pernah A.A Navis utarakan dalam cerita pendek Robohnya Surau Kami (2005). A.A Navis berhasil memberikan kritik kontruktif terhadap pola keagamaan yang ortodoks di Indonesia. Kritik itu juga pernah menjadikan tulisan A.A Navis kontroversi. Perseteruan dan kontroversi sastra Islam di Indonesia antar kubu Islam tradisional vis-à-vis Islam modernis mencerminkan pergulatan sosial-keagamaan perlu mendiskusikan perbedaan pemahaman dasar (teologi) Islam. Hal ini agar dapat meminimalisir terjadinya perdebatan dan timbulnya intoleransi. Mafhum,  kisah haji Saleh merupakan kritik terhadap konsep keagamaan Islam tradisionalis. Haji Saleh merupakan seorang Muslim yang taat beribadah, alim, dan bijaksana. Selama hidup di dunia, haji Saleh hanya berdoa, beribadah, dan memohon pada Tuhan untuk ditempatkan di surga pasca kematian. Namun, setelah haji Saleh meninggal, Tuhan menempatkan ia di neraka. 

Haji Saleh bersama orang-orang yang taat mencoba negosiasi dengan cara berdemonstrasi pada Tuhan. Mereka ingin memahami alasan dan kesalahan mengapa mereka bisa ditempatkan di neraka jahanam. A.A Navis mencoba mengajak kita berpikir secara rasional, bahwa cerita haji Saleh merupakan kisah seseorang yang memiliki sikap egoistik dalam beribadah tanpa memahami dan mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan (antroposentris). Ia lebih mementingkan diri sendiri  namun menelantarkan keturunannya dan masyarakat sekitar. Alasan hukuman dari Tuhan tampak logis, dan rasional bahwa pemahaman Islam semestinya lebih banyak mengajarkan nilai-nilai humanisme bukan individualisme. 

Sebagai sastrawan Islam, Djamil Suherman dan A.A Navis mengajak kita untuk mengimajinasikan ruang lewat karya sastra demi memberikan pemahaman religiositas ruang akhirat. Djamil dan A.A Navis tampak memadukan kultur-sosial pada wilayah normatif-historis sebagai bahan kritik doktrin keagamaan yang berkembang. Tentu, dari narasi persoalan sosial yang diangkat Djamil dan A.A Navis, memiliki perbedaan geografis yang dapat memberikan corak ragam kebudayaan sastra Islam berbeda. Meski begitu, narasi terhadap religiositas ruang akhirat mampu kita pahami. Bahwa sastra Islam tidak sekedar mengajarkan kebudayaan, pendidikan, tapi juga meningkatkan spiritualitas keimanan. 

Ancaman Visual    

Pada 1960-an, perkembangan komik agama yang menyinggung surga-neraka mulai merebak sebagai bacaan pendidikan anak di Indonesia. Komik surga-neraka pertama kali muncul berjudul Taman Firdaus gubahan K.T. Ahmar. Kemunculan komik surga-neraka rupanya mengundang reaksi pemerintah bahwa komik dianggap merusak cita-cita revolusi. Namun, pada masa itu komik surga-neraka laris dan berhasil tercetak ribuan eksemplar atas propaganda dari para pemilik modal. Komik surga-neraka menjadi komoditas bisnis yang berdampak pada ranah psikologis para pembaca terutama anak-anak. Persoalan ini yang membuat pada tahun 1980-an, komik surga-neraka menjadi polemik sastrawan Islam di Indonesia. 

Arswendo Atmowiloto menilai bahwa komik surga-neraka memiliki berdampak negatif tatkala terbaca oleh anak-anak yang mayoritas masih mengenyam pendidikan dasar. Komik surga-neraka hanya menampilkan adegan-adegan kekerasan, visualitas (gambar) yang hanya separuh badan, kesadisan, pementasan darah, yang acapkali ditampilkan atas dalih siksaan Tuhan. Komik surga-neraka mengalami absurditas akibat ditampilkan secara virtual. Komik agama yang ditampilkan secara visual sebenarnya akan menyinggung dunia metafisika. Tentu, komik ini tidak memberi manfaat apapun kecuali hanya kepentingan komoditas ekonomis (Kompas, 14 Agustus 1979). Capaian keberhasilan inilah yang diraih oleh para pengusaha akibat membawa agama ke ranah konsumerisme. 

Selain Arswendo Atmowiloto, Abdul Hadi W.M turut melakukan kritik serius terhadap komik surga-neraka. Abdul Hadi W.M menilai komik tersebut hanya sebatas literatur visual yang memiliki tafsir awam. Literatur komik tidak bisa menjadi bahan otoritatif untuk memahamkan nilai-nilai spiritual religiositas ruang akhirat. Komik surga-neraka dapat membuat imajinasi ruang akhirat kita malah semakin dangkal akibat visualisme. Bila ingin memahami religiositas ruang akhirat sebenarnya dapat kita cermati dari memahami cakrawala penghayatan Islam dalam sastra kontemporer. 

Melalui bacaan sastra-sastra Islam modern karya Djamil Suherman dan A.A Navis, religiositas ruang akhirat hanya bisa dianalogikan mengunakan bahasa puitik. Bahasa dan sastra tentu akan senantiasa menyelami asumsi dan esensi kita dalam memahami dunia metafisik. Karya-karya Djamil Suherman, A.A Navis, Kuntowijoyo, dan lainya memberikan imajinasi dan rekontruksi ruang akhirat. Bahwa berpikir secara rasional dan modernisme akan dapat meningkatkan spiritualitas iman individual dan dapat memahami hakikat kehidupan sebelum menempuh perjalanan ke akhirat.    


Pernah dimuat di Alif.id

              

Selasa, 24 Desember 2019

Mengenang Ibu dengan Puisi




Berbagai puisi tentang ibu hadir dari para penyair kondang di Indonesia. Kehadiran puisi-puisi itu memberi ingatan kita tentang kisah religiositas, sosiologis, kebudayaan dan keluarga. Ingatan tentang ibu pernah tertulis lewat kata-kata sebagai ingatan. Ibu begitu bermakna terhadap kehidupan dalam membentuk pemikiran para penyair. Kisah-kisah tentang ibu dapat dirasakan dari puisi-puisi Arif Maulana, Soni Farid Maulana, dan Wiji Thukul. Para penyair ingin mengenang ibu lewat puisi. Berbagai puisi memberi pemahaman tentang kultur sosial, ingatan masa lalu, keluarga dan keimanan. 

Arif Maulana pernah menulis buku berjudul Puisi-Puisi Imani (2001). Puisi-puisi menjadi bentuk dakwah untuk menumbuhkan religiositas anak-anak Indonesia. Puisi-puisi itu diselingi gambar-gambar islami terasa menambah misi dakwah literasi. Gambar-gambar sengaja dimasukan ke dalam buku supaya dapat memberi rangsangan untuk meningkatkan pemahaman keimanan, ketauhidan, akhlak dan etika anak terhadap orangtua. Selain gambar, Arif Maulana juga menulis puisi berjudul ibunda. “Ibunda tercinta/ Memberi kasih dan cinta sepanjang masa/ Kepada anak-anaknya/ yang perempuan dan yang lelaki/ Sejak tangis pertama bayi yang dilahirkan/ sampai kelak kita dikuburkan/ Karena itu surga di telapak kakinya/ Begitu diibaratkan/ Bila kita menjadi anak yang tidak patut/ baginya/ Tak berbakti dan durhaka/ Maka tak akan beroleh surga nantinya.”  
  
Puisi Arif Maulana mengingatkan kita tentang kisah riwayat sahabat Rasulullah yang pernah menyakiti hati orangtuanya. Sahabat itu bernama Al Qamah, seorang ulama yang alim dan saleh. Kealiman dan kesalehan Al Qamah tidak akan berarti ketika ia melukai hati ibunya sendiri. Dari kisah puisi itu, Al Qamah mengalami sakit dan sekarat  secara tidak wajar. Pada masa itu, Rasulullah terasa begitu dilema ketika hendak menyelesaikan masalah kisah anak durhaka. Ibundanya pun lantas bercerita kepada Rasulullah tentang perilaku Al Qamah. Usai ibunda bercerita, ia menangis dan memaafkan segala perbuatan yang telah melukai hatinya. Ampunan dari ibunda membukakan jalan damai dan bahagia untuk Al Qamah. Ia selamat dan terhindar dari siksa api neraka karena memperoleh doa dan ampunan dari ibunya.

Puisi Arif Maulana terasa memberikan kisah religiositas keluarga demi meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Kisah-kisah itu bermisi dakwah kepada anak-anak sekaligus orang dewasa agar senantiasa menjaga lisan, etika, dan perasaan pada orangtua. Puisi-puisi mengajak kita agar senantiasa merenung, menggerakan  perasaan  tatkala membaca puisi berjudul ibunda. Puisi-puisi tentang ibu pada dasarnya memiliki arti komunal tentang religiositas dan nilai-nilai kebudayaan sosial. Ingatan tentang religiositas, kebudayaan, dan keluarga, selalu hadir dalam setiap karya penyair. Ibu menjadi sumber ide dan gagasan menempuh kehidupan spiritual di jalan sastra.

Puisi Kritik

Selain Arif Maulana, beberapa penyair juga selalu menyisipkan puisi tentang ibu dalam antologi puisi-puisinya. Salah satunya Soni Farid Maulana, penyair angkatan 80-an ini berhasil menciptakan puisi-puisi secara estetis dan puitik. Kita bisa menyimak puisi Soni tentang “ibu”: “Belantara nilai mengepungku/ Melepas ribuan anak panah ke jantungku/ Di belukar liar aku rubuh dan terluka. O. ibu/ Kepasrahanmu damai dan suci memelukku/ Membalut jiwaku dengan lembaran kasih abadi/ Kau cakrawala yang membuka jalanku ke sungguh/ Dunia. Di situ terhayati lagu yang kau senandungkan/ Membuat bintang menari, berkobar-kobar, dan aku/ Mengerti bahwa kau adalah sang kalbu: melindungku/ Dari percik api dengki kehidupan. Lalu hangat/ Airmatamu yang mawar itu/ Terasa mekar tepat pada ubun-ubunku.”   

Puisi Soni tentang ibu memang lebih estetis secara gaya dan bahasa. Soni menempatkan ibu sebagai kekuatan, kebijaksanaan dalam sebuah keluarga. Dari puisi itu, Soni menjelaskan bahwa peran ibu mengajarkan banyak hal mulai dari pendidikan dan pengetahuan. Ingatan dan kecintaannya terhadap ibu tak ingin hilang ditelan masa. Ia menuliskan pada “puisi ibu” sebagai pembelajaran, penghormatan, ingatan serta doa untuk warisan umat satra di masa depan.  

Namun selain sebagai ingatan dan pembelajaran kehidupan dari puisi, aktivis Wiji Thukul lebih menempatkan puisi-puisi sebagai kritik sosial. Di tengah rezim otoriter, Wiji pernah menulis puisi tentang ibu di masa pergolakan  susahnya mencari sandang-pangan. Dalam buku Mencari Tanah Lapang (1991) ia menulis: “Jika kau menagih baktiku/ itu sudah kupersembahkan ibu/ waktu hidup yang tak kubiarkan beku/ itulah tanda baktiku kepadamu/ gula dan teh memang belum kuberikan/ tetapi nilai hidup adakah di dalam nasi semata/ apakah anak adalah tabungan/ bisa sesuka hati dipecah kapan saja/ apakah kelahiran cuma urusan untung dan laba/ tumpukan budi yang harus dibayar segera/ jalan mana harus ditempuh anak/ jika bukan yang biasa dan sudah dipilih/ orang yang berjalan itu sendiri?”

Puisi Wiji terasa berbeda menjelaskan perihal ibu dalam keluarga. Perbedaan itu disebabkan latar sosial yang mewarnai pergolakan kehidupan Wiji. Cara Wiji berbakti kepada orangtua cukup dengan bekerja, hidup sederhana tapi penuh kenangan dan bermakna. Menjadi manusia yang bermanfaat untuk kepentingan sosial menjadi cara Wiji berbakti kepada keluarga. Sebagai aktivis, puisi-puisi Wiji telah menggerakkan kesadaran sosial dalam mencari keadilan dan kesejahteraan kaum pinggiran di kota dan desa.

Sekian puisi hadir demi mengenang ibu sebagai lantunan doa dan harapan dari para penyair. Puisi-puisi itu mengingatkan kita betapa besarnya peran ibu dalam membina, mengajarkan, bekerja demi keluarga. Peran ibu bukan hanya sekedar menyiapkan kebutuhan secara biologis semata tetapi juga memberikan kasih yang tulus, mengajarkan nilai religiositas dan nilai sosial dalam keluarga. Dari puisi-puisi para penyair semestinya dapat meningkatkan rasa cinta kita terhadap orangtua. Puisi-puisi itu pada dasarnya mengajarkan kita untuk senantiasa memuliakan, menghargai, menghormati, dan mendoakan orangtua (ibu) ketika masih ada di dunia maupun telah tiada.

 Pernah dimuat di Alif.id