Puisi, Novel, dan
Ruang Akhirat
Kesejarahan sastra Islam di Indonesia tidak lepas dari
kebudayaan pesantren. Pada 1980-an, sastra Islam semakin tumbuh di pesantren
dan menjelaskan kultur sosial-kebudayaan di Indonesia. Tokoh-tokoh sastra Islam
di masa itu merangkai norma-norma sosial-keagamaan sebagai legitimasi dalam
merumuskan pendidikan holistik. Rekontruksi dari bacaan sastra Islam memuat
nilai nasionalisme, budaya, politik, agama, sosial-keluarga. Persoalan itu
dapat kita temukan tatkala membaca tulisan-tulisan sastrawan Islam seperti;
Djamil Suherman, Abdul Hadi W.M, A.A. Navis, Kuntowijiyo, dan Triyanto
Triwikromo. Perkembangan sastra Islam tidak sekedar mengarah pada persoalan kritik
sosial-budaya, tapi juga turut memberikan nilai estetik dalam menjelaskan religiositas
ruang akhirat.
Untuk menunjukan religiositas ruang akhirat, Kuntowijoyo
berhasil memadukan nilai-nilai kebudayaan di Timur Tengah dan Indonesia lewat
puisi-puisi. Kuntowijiyo sadar, bahwa pertemuan kebudayaan syair akan
menciptakan estetika sastra Islam semakin memiliki kompleksitas makna secara
universal. Sajak-sajak puisi Kuntowijoyo diambil dari kitab Al-Barzanji menjadi
bukti bahwa sastra Islam turut mengenang dan mengajarkan norma dari kisah
kehidupan Rasulullah. “Ya, Allah. Taburkanlah
wangian/ di kubur Nabi yang mulia/ dengan semerbak salawat/ dan salam
sejahtera/ Sesudah membuka pintu-pintu/ aku keluar menuju ladang/ dan di antara
pohon kutemukan/ senyum, danau, dan ayat Tuhan.” Puisi-puisi Kuntowijoyo mengingatkan
nilai-nilai spiritualitas tauhid, akhlak, makrifat dan menanamkan tradisi
ziarah untuk umat Islam agar senantiasa mengingat kematian.
Paradigma puisi Kuntowijoyo terasa menjadi metafisik yang
melupakan materialisme. Makna-makna yang terkandung dari puisi berisi cinta,
kebahagian, dan keselamatan. Namun, kecenderungan puisi yang mengansumsikan
makna metafisik turut bergerak pada persoalan ruang teologis absolut
(surga-neraka) secara implisit. Seperti “Ya
Allah, Taburkanlah wangian/ di kubur Purnama yang mulia/ dengan semerbak
salawat/ dan salam sejahtera/ Aku jatuh cinta/ karena matematik/ mengajar
manusia/ lebih mulia dari malaikat/ demikian kutulis musik & puisi/ dan
menanti mutmainah di sudut rumah/ sambil menatap kuncup rahmat mekar di
halaman.” Dari penafsiran sajak kitab Al-Barzanji, Kuntowijoyo menganalogikan
ruang teologis-metafisik dengan “rumah dan halaman.” Kehadiran “rumah dan
halaman” dalam puisi menunjukkan esensi keselamatan dan memperoleh kebahagian
di akhirat (surga).
Persoalan konsep religiositas ruang (surga-neraka) tampaknya
sering menjadi latar dalam karya-karya sastra Islam di Indonesia. Djamil
Suherman menulis prosa berjudul Perjalanan
ke Akhirat (1985) sebagai bagian dari dakwah-keagamaan. Kisah itu bermula
dari persoalan sosial-keluarga. Salim seorang tokoh yang memiliki sifat alim
dan tanggung jawab terhadap keluarga. Namun, pasca bekerja, Salim mengalami
kecelakaan dan menyebabkan ia meninggal dunia. Ratapan dan kesedian dialami
oleh istrinya bernama Salamah dan ibunya. Kesedihan keluarga tampaknya
menghambat arwah Salim menuju alam kubur. Kurangnya keikhlasan keluarga Salim
berdampak pada arwah Salim mengalami hambatan di dunia metafisik (ruang akhirat).
Padahal selama Salim hidup, ia banyak mengerjakan kebaikan. Ia merasa sedih
saat Salamah dan ibunya masih menangisi arwah yang sudah memperoleh jalan yang
terang.
Di alam Barzah, Salim melihat orang-orang memperoleh siksaan
dari para malaikat. Salim semakin penasaran, dan menanyakan pada malaikat apa
penyebab orang-orang mengalami nasib yang memprihatinkan di akhirat. Kebanyakan
orang-orang yang memperoleh siksaan disebabkan mereka lalai memanfaatkan waktu
dan harta demi kemaslahatan umat. Selama hidup di dunia, mereka melupakan
perintah dan anjuran agama. Kesenangan terhadap duniawi (materiil) mampu
membutakan pesan tersirat bahwa alam akhirat jauh lebih absolut dan universal. Ketidakmampuan
menahan ujian keimanan di dunia berdampak pada kedudukan baik-buruknya timbangan
amal jariah pasca hari perhitungan.
Kisah serupa juga pernah A.A Navis utarakan dalam cerita
pendek Robohnya Surau Kami (2005).
A.A Navis berhasil memberikan kritik kontruktif terhadap pola keagamaan yang
ortodoks di Indonesia. Kritik itu juga pernah menjadikan tulisan A.A Navis
kontroversi. Perseteruan dan kontroversi sastra Islam di Indonesia antar kubu Islam
tradisional vis-à-vis Islam modernis mencerminkan pergulatan sosial-keagamaan
perlu mendiskusikan perbedaan pemahaman dasar (teologi) Islam. Hal ini agar
dapat meminimalisir terjadinya perdebatan dan timbulnya intoleransi. Mafhum, kisah haji Saleh merupakan kritik terhadap konsep
keagamaan Islam tradisionalis. Haji Saleh merupakan seorang Muslim yang taat beribadah,
alim, dan bijaksana. Selama hidup di dunia, haji Saleh hanya berdoa, beribadah,
dan memohon pada Tuhan untuk ditempatkan di surga pasca kematian. Namun,
setelah haji Saleh meninggal, Tuhan menempatkan ia di neraka.
Haji Saleh bersama orang-orang yang taat mencoba negosiasi
dengan cara berdemonstrasi pada Tuhan. Mereka ingin memahami alasan dan
kesalahan mengapa mereka bisa ditempatkan di neraka jahanam. A.A Navis mencoba
mengajak kita berpikir secara rasional, bahwa cerita haji Saleh merupakan kisah
seseorang yang memiliki sikap egoistik dalam beribadah tanpa memahami dan
mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan (antroposentris). Ia lebih mementingkan
diri sendiri namun menelantarkan keturunannya
dan masyarakat sekitar. Alasan hukuman dari Tuhan tampak logis, dan rasional
bahwa pemahaman Islam semestinya lebih banyak mengajarkan nilai-nilai humanisme
bukan individualisme.
Sebagai sastrawan Islam, Djamil Suherman dan A.A Navis
mengajak kita untuk mengimajinasikan ruang lewat karya sastra demi memberikan
pemahaman religiositas ruang akhirat. Djamil dan A.A Navis tampak memadukan kultur-sosial
pada wilayah normatif-historis sebagai bahan kritik doktrin keagamaan yang
berkembang. Tentu, dari narasi persoalan sosial yang diangkat Djamil dan A.A
Navis, memiliki perbedaan geografis yang dapat memberikan corak ragam
kebudayaan sastra Islam berbeda. Meski begitu, narasi terhadap religiositas
ruang akhirat mampu kita pahami. Bahwa sastra Islam tidak sekedar mengajarkan
kebudayaan, pendidikan, tapi juga meningkatkan spiritualitas keimanan.
Ancaman
Visual
Pada 1960-an, perkembangan komik agama yang menyinggung
surga-neraka mulai merebak sebagai bacaan pendidikan anak di Indonesia. Komik
surga-neraka pertama kali muncul berjudul Taman
Firdaus gubahan K.T. Ahmar. Kemunculan komik surga-neraka rupanya mengundang
reaksi pemerintah bahwa komik dianggap merusak cita-cita revolusi. Namun, pada
masa itu komik surga-neraka laris dan berhasil tercetak ribuan eksemplar atas
propaganda dari para pemilik modal. Komik surga-neraka menjadi komoditas bisnis
yang berdampak pada ranah psikologis para pembaca terutama anak-anak. Persoalan
ini yang membuat pada tahun 1980-an, komik surga-neraka menjadi polemik sastrawan
Islam di Indonesia.
Arswendo Atmowiloto menilai bahwa komik surga-neraka memiliki
berdampak negatif tatkala terbaca oleh anak-anak yang mayoritas masih mengenyam
pendidikan dasar. Komik surga-neraka hanya menampilkan adegan-adegan kekerasan,
visualitas (gambar) yang hanya separuh badan, kesadisan, pementasan darah, yang
acapkali ditampilkan atas dalih siksaan Tuhan. Komik surga-neraka mengalami
absurditas akibat ditampilkan secara virtual. Komik agama yang ditampilkan
secara visual sebenarnya akan menyinggung dunia metafisika. Tentu, komik ini
tidak memberi manfaat apapun kecuali hanya kepentingan komoditas ekonomis (Kompas, 14 Agustus 1979). Capaian
keberhasilan inilah yang diraih oleh para pengusaha akibat membawa agama ke
ranah konsumerisme.
Selain Arswendo Atmowiloto, Abdul Hadi W.M turut melakukan
kritik serius terhadap komik surga-neraka. Abdul Hadi W.M menilai komik
tersebut hanya sebatas literatur visual yang memiliki tafsir awam. Literatur
komik tidak bisa menjadi bahan otoritatif untuk memahamkan nilai-nilai spiritual
religiositas ruang akhirat. Komik surga-neraka dapat membuat imajinasi ruang
akhirat kita malah semakin dangkal akibat visualisme. Bila ingin memahami religiositas
ruang akhirat sebenarnya dapat kita cermati dari memahami cakrawala penghayatan
Islam dalam sastra kontemporer.
Melalui bacaan sastra-sastra Islam modern karya Djamil
Suherman dan A.A Navis, religiositas ruang akhirat hanya bisa dianalogikan
mengunakan bahasa puitik. Bahasa dan sastra tentu akan senantiasa menyelami
asumsi dan esensi kita dalam memahami dunia metafisik. Karya-karya Djamil
Suherman, A.A Navis, Kuntowijoyo, dan lainya memberikan imajinasi dan rekontruksi
ruang akhirat. Bahwa berpikir secara rasional dan modernisme akan dapat
meningkatkan spiritualitas iman individual dan dapat memahami hakikat kehidupan
sebelum menempuh perjalanan ke akhirat.
Pernah dimuat di Alif.id