Merevisi
Pemahaman Islam di Zaman Politik
Judul
Buku : Islam Revisionis: Kontestasi
Agama Zaman Radikal
Penulis : Mun’im Sirry
Penerbit : Suka Press
Tebal
Buku : 278 halaman
Cetakan
: Pertama, 2018
ISBN : 978-602-132-665-7
Kefanatikan kelompok Islam pada isu politik
membuat orang-orang semakin lupa cara beretika dalam beragama. Fenomena itu
berdampak hilangnya rasa saling menghargai, merebaknya intoleransi, serta
gampang menghujat dan mengkafirkan antarkelompok Islam di Indonesia.
Perseteruan itu merupakan bentuk dari kegagalan kelompok Islam konservatif
dalam menafsirkan ilmu-ilmu agama (Islam). Metode pembelajaran kelompok Islam
konservatif bisa jadi hanya mengandalkan
ceramah ustad-ustad poluler di media sosial. Mereka engan mengkaji literatur
Islam secara terbuka untuk mendialogkan pembaharuan pemikiran Islam secara
sosio-historis dari manuskrip-manuskrip kitab suci agama samawi.
Gagasan inilah yang ingin disampaikan oleh Mun’im Sirry
dalam buku Islam Revisionis: Kontestasi
Agama Zaman Radikal (2018). Dari kajian ilmiah, Muni’m mengungkapkan, bahwa
kekerasan membela Islam muncul disebabkan para pemimpin Islam masa lalu yang
haus kekuasaan. Sejak masa khalifah Muawiyah pada masa Dinasti Umayyah, Islam
dibangun secara politis dan militeristik. Muawiyah membentuk konsep
pemerintahan monarki agar dapat bersikap otoriter terhadap berbagai kebijakan
pemerintahan. Gerakan Islam militeristik pada masa Dinasti Umayyah membuat
Islam disebarkan secara keras demi tujuan perluasan daerah dan menyebarkan
doktrin Islam radikal.
Kekerasan yang mengatasnamakan jihad (kombatif) pada masa
lalu seringkali disalahgunakan sebagai argumentasi kelompok Islam konservatif
untuk membela Islam. Orang-orang semakin senang menyuarakan takbir membela
Tuhan demi misi politik identitas (khilafah). Kegagalan dan pergeseran
penafsiran jihad dalam sejarah peradaban Islam telah mengubah paradigma Islam
menjadi semakin kaku dan jauh dari peradaban ilmu pengetahuan (sains). Sikap
takfirisme inilah yang menyebabkan Islam juga semakin mengalami kemunduran
dalam bidang ilmu pengetahuan.
Perkembangan doktrin ideologi teosentris ini sengaja
dikritisi Mun’im untuk direvisi. Menurut Mun’im, doktrin tersebut perlu dikaji
ulang lantaran tak mampu memikirkan Islam sebagai kebutuhan keilmuan dan
sosial. Mun’im mencermati penafsiran pemikiran Islam secara komprehensif di
Barat dan Timur Tengah yang rawan konflik. Di Universitas Notre Dame, Mun’im
dan para mahasiswa mengkaji doktrin agama dengan cara mendiskusikan kitab suci:
Alquran, Bible, dan Injil secara terbuka. Dari interaksi itulah Mun’im melihat
bahwa data kesejarahan literatur Islam perlu di tinjau ulang.
Dari hasil penelitian kaum revisionis, misalnya, terungkap bahwa sumber literatur keislaman (manuskrip) itu ditulis tak sezaman dengan Nabi Muhammad. Sumber literatur keislaman kebanyakan ditulis 500 tahun bahkan lebih sesudah Nabi Muhammad wafat. Hasil penelitian itu memunculkan pandangan skeptisisme dari kaum revisionis. Mereka mulai mengkaji Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan secara mendalam, terutama untuk membuktikan kebenaran Islam dengan melihat sumber-sumber primer dari agama Yahudi dan Nasrani.
Di sinilah penekanan dan pendekatan Mun’im tatkala melihat Islam dengan rasionalitas yang berkembang secara gradual. Ia melihat dan memahami berbagai kajian penelitian Islam secara kritis dan progresif terjadi di Barat. Mun’im juga mencermati bahwa Islam tidaklah cukup dilihat dari Alquran dan Hadis, tapi juga perlu dikaji dari literatur Bible dan Injil (Islamic Studies). Pergulatan intelektualisme itu menunjukan ketekunan orang-orang (orientalis) memikirkan Islam demi pengembangan pengetahuan dan keilmuan. Seperti hasil penelitian kaum revisionis John Wansbrough, Hungaria Ignaz Goldziher, Ernest Renan, Patricia Crone, dan Michael Cook. Mereka mengemukakan adanya kejanggalan dan ketidakakuratan data sejarah dari manuskrip Islam. Mazhab revisionis mengkritik dan mempertanyakan ulang hal-hal seperti ketepatan hari kelahiran Nabi Muhammad (maulid Nabi), tempat turunnya Alquran yang mereka anggap perlu ditinjau kembali.
Ketidakakuratan data sejarah dari manuskrip Islam ditanggapi dengan wacana kritik kaum revisionis. Kritik tersebut semestinya membangun gairah Muslim agar memikirkan dan mengkaji literatur awal peradaban sejarah Islam. Kritik kaum revisionis terhadap manuskrip Islam tak sampai mempersoalkan akidah Islam, melainkan hanya temuan ketidakakuratan data sejarah Islam pada umumnya. Hasil penelitian kaum revisionis semestinya menjadi bahan renungan. Betapa pentingnya berpikir memahami Islam sebagai pergulatan intelektual dan dialog antarumat beragama secara terbuka.
Dari hasil penelitian kaum revisionis, misalnya, terungkap bahwa sumber literatur keislaman (manuskrip) itu ditulis tak sezaman dengan Nabi Muhammad. Sumber literatur keislaman kebanyakan ditulis 500 tahun bahkan lebih sesudah Nabi Muhammad wafat. Hasil penelitian itu memunculkan pandangan skeptisisme dari kaum revisionis. Mereka mulai mengkaji Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan secara mendalam, terutama untuk membuktikan kebenaran Islam dengan melihat sumber-sumber primer dari agama Yahudi dan Nasrani.
Di sinilah penekanan dan pendekatan Mun’im tatkala melihat Islam dengan rasionalitas yang berkembang secara gradual. Ia melihat dan memahami berbagai kajian penelitian Islam secara kritis dan progresif terjadi di Barat. Mun’im juga mencermati bahwa Islam tidaklah cukup dilihat dari Alquran dan Hadis, tapi juga perlu dikaji dari literatur Bible dan Injil (Islamic Studies). Pergulatan intelektualisme itu menunjukan ketekunan orang-orang (orientalis) memikirkan Islam demi pengembangan pengetahuan dan keilmuan. Seperti hasil penelitian kaum revisionis John Wansbrough, Hungaria Ignaz Goldziher, Ernest Renan, Patricia Crone, dan Michael Cook. Mereka mengemukakan adanya kejanggalan dan ketidakakuratan data sejarah dari manuskrip Islam. Mazhab revisionis mengkritik dan mempertanyakan ulang hal-hal seperti ketepatan hari kelahiran Nabi Muhammad (maulid Nabi), tempat turunnya Alquran yang mereka anggap perlu ditinjau kembali.
Ketidakakuratan data sejarah dari manuskrip Islam ditanggapi dengan wacana kritik kaum revisionis. Kritik tersebut semestinya membangun gairah Muslim agar memikirkan dan mengkaji literatur awal peradaban sejarah Islam. Kritik kaum revisionis terhadap manuskrip Islam tak sampai mempersoalkan akidah Islam, melainkan hanya temuan ketidakakuratan data sejarah Islam pada umumnya. Hasil penelitian kaum revisionis semestinya menjadi bahan renungan. Betapa pentingnya berpikir memahami Islam sebagai pergulatan intelektual dan dialog antarumat beragama secara terbuka.
Dari kajian Mun’im kita bisa memahami bahwa umat pada
abad ke-21 ini lebih banyak belajar dari ustad, media sosial, dan literatur
Islam tekstual. Fanatisme kelompok Islam konservatif menjadikan pembelajaran
Islam terasa hanya sebatas kelisanan (mendengarkan ceramah) tanpa
mempertimbangkan dengan membaca literatur keaksaraan (kitab suci).
Ketidaksadaran membaca literatur berbagai kitab suci ini yang menyebabkan
kelompok Islam konservatif seringkali gampang menebar kebencian, kekacauan, dan
konflik internal umat Muslim di Indonesia.
Abdul
Karim Soroush seorang cendikiawan Muslim liberal menulis buku berjudul Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama
(2002). Soroush memberi kritik dan argumentasi ilmiah terhadap umat Muslim
ketika masih mempertahankan pola pikir tradisional dalam mengkaji Islam.
Soroush memaparkan pentingnya mengkaji epistemologi filsafat Islam sebagai
metodologi mempelajari Islam tatkala menghadapi perubahan sosial. Dengan adanya
berbagai problematika di zaman modern, para ulama dituntut memikirkan ide-ide pembaharuan.
Nalar dan logika perlu dipergunakan untuk mengkontruksi dan mengonseptualisasikan Islam berkemajuan. Kemajuan Islam itu tidak dapat diukur hanya dengan menyuarakan politik pemerintahan Islam. Semestinya umat Muslim perlu menimbang pemikiran Soroush tentang eksistensialisme dan interpretasi dalam mengupayakan kemajuan ilmu pengetahuan (sains). Bila umat Muslim memiliki kesadaran dalam mempelajari Islam dalam, tentu hal iti akan berpengaruh menumbuhkan sikap toleransi dan saling menghargai sesama umat manusia. Kesadaran untuk mengulang kejayaan peradaban Islam bukanlah melalui bidang politik, melainkan lewat gairah gemar membaca dan meneliti literatur keislaman yang dimiliki umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar