Selasa, 30 Juli 2019


Pesantren dan Identitas Keindonesiaan
 



Kesejarahan pengajaran pendidikan Islam secara kelisanan dan keaksaraan di Indonesia bermula dari genealogi sosial-pendidikan pesantren. Di masa kolonial, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mampu memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan keilmuan agama (Islam) dan kebudayaan di Hindia-Belanda (Indonesia). Di masa kolonial, pesantren juga menjadi ruang sekaligus institusi pendidikan di Indonesia yang bergerak memberikan pembelajaran ilmu-ilmu keagamaan (Islam). Ilmu teologi keislaman tersebut senantiasa diajarkan di pesantren dengan cara kelisanan maupun keaksaraan sejak ratusan tahun silam lamanya. Hal itu menjadikan pendidikan pesantren menjadi corak identitas yang melekat terhadap religiusitas masyarakat Indonesia.

Dari tinjauan sejarah, Karel A. Steenbrink pernah menulis buku berjudul Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen (1994). Karel A. Steenbrink berhasil meneliti sistem pengajaran pendidikan Islam mulai abad ke-19 hingga pascakolonialisme di Indonesia. Sejak masa kolonial, pesantren pernah dianggap sebagai lembaga pendidikan yang kurang memiliki konsistensi kuat terhadap pengembangan sistem pendidikan (umum). Peristiwa itu dapat dilacak pada 1865, ketika J.A. van der Chijs seorang inspektur pendidikan pribumi, sering memberikan kritik sinis terhadap pendidikan pesantren dan pola tradisi pembelajarannya. 

Kritikan itu berkaitan dengan kebijakan serta otoritas tradisi keilmuan di pesantren. J.A. van der Chijs menilai, pengajaran rutinitas membaca kitab suci Alquran, pengajian kitab kuning, pembelajaran ilmu tasawuf, ilmu hadis dan lain-lain lebih banyak mengacu pada metode kelisanan secara parsial. Hal itu menyebabkan masyarakat pribumi kurang memahami makna dan arti yang disampaikan tanpa didasari otoritas individual. Namun, kritik tersebut dianggap wajar oleh para sarjana pribumi seperti Mohammad Radja dan Achmad Djajadiningrat. Mereka adalah tokoh penggerak pendidikan pesantren awal abad ke-19 di Indonesia. Kontestasi penyebaran ilmu-ilmu agama dianggap wajar ketika selalu menuai kritik berlebihan antar kubu kolonial dan tokoh pergerakan. 

Mafhum, di masa itu, tokoh pergerakan dan tokoh kolonial bermisi menyebarkan ajaran yang berbeda. Dampak dari penyebaran agama tersebut membuat perkembangan pendidikan Islam sedikit mengalami hambatan ketika tidak adanya dukungan materiil dari pemerintah kolonial. Meski tidak memperoleh dukungan secara materiil, perkembangan pendidikan pesantren di masa itu tetap mampu memberikan kontribusi besar terhadap kemaslahatan sosial. Hal ini disebabkan karena pendidikan Islam di pesantren memperoleh dukungan dari segi kehidupan sosial, kultur, politik, dan keagamaan orang-orang perdesaan di Indonesia.

Zamakhsyari Dhofier dalam disertasinya berjudul Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (2011) menjelaskan tentang kesejarahan pendidikan agama di pesantren merupakan bentuk pengenalan sosial-budaya di Indonesia. Pengenalan itu dapat kita cermati dari perilaku orang-orang pribumi dalam menjunjung sikap saling menghargai (toleransi). Di dalam sistem pendidikan pesantren  tidak hanya sekedar mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga ilmu sosial dan etika. Pergulatan keilmuan itu sering kali diajarkan oleh kyai tatkala mengisahkan selipan cerita dalam pembelajaran ngaji sehari-hari. 

Selain mengulas agama, sosial, politik, budaya, dan ekonomi di pesantren, Zamakhsyari Dhofier juga memberikan penjelasan terhadap revolusi pembaharuan sistem kurikulum pesantren. Pada pertengahan abad ke-20, pendidikan Islam di pesantren mengalami modernisasi secara parsial yang digagas oleh Wahid Hasyim. Pada masa Orde Lama, Wahid Hasyim resmi dipercaya oleh Soekarno untuk menjadi Menteri Agama pertama di Indonesia. Setelah memperoleh kepercayaan itu, Wahid Hasyim lantas membentuk berbagai lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama. Lembaga itu didirikan untuk mengembangkan modernisasi pendidikan Islam di pesantren dan memberikan wawasan keindonesaan lewat perkembangan pendidikan Islam (PTIN dan UIN).

Wahid Hasyim memang merupakan pemikir dan perumus sejarah Indonesia modern abad ke-20. Gagasan masuknya kurikulum pendidikan umum (Barat) tidak hanya terjadi di kalangan internal pesantren, tetapi juga turut memasuki lingkup bagi perguruan tinggi Islam. Gagasan memadukan ilmu-ilmu agama dan umum ini perlu dikembangkan sebagai kajian sistem pendidikan dan pemikiran Islam kontemporer untuk menciptakan perdamaian. Namun, seiring perubahan sosial-budaya yang terjadi, para ulama orodoks menganggap bahwa konsep modernisasi tersebut dianggap menyimpang hingga menjadi perdebatan di kalangan internal umat Muslim.            

Mafhum, sejak era reformasi mulai muncul berbagai sempalan gerakan Muslim ortodoks yang menyebabkan merebaknya tindakan intoleransi. Sempalan Muslim ortodoksi ini sering kali menyuarakan dakwah untuk mengembalikan Islam secara murni. Pemahaman keagamaan ortodoks ini dianggap memiliki kebenaran secara universal demi menunjukan identitas kesalehan. Sempalan Muslim ortodoksi sering luput untuk mempelajari ilmu antropologi, bahwa kehadiran Islam di Indonesia terjadi akibat pertukaran kebudayaan.

Berpikir Islam secara tekstual inilah yang pernah di nasehati Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam buku berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela (2017). Gus Dus selalu mengingatkan kita untuk senantiasa merasionalisasikan pemahaman ilmu-ilmu  agama yang telah kita terima. Baik itu lewat pengajian, seminar, media sosial dan lain-lain. Jangan sampai kita menjustifikasi kebenaran keagamaan yang paling kita yakini namun sering kali melukai dan menyakiti (mengkafirkan).

Tindakan tersebut seolah berasumsi bahwa pemikiran teosentris akan jauh lebih penting ketimbang berpikir Islam secara antroposentris. Pemahaman ortodoksi ini yang menjadi penyebab konflik internal di kalangan umat Muslim ketika minimnya terjadinya dialog teologi. Tentu, orang-orang yang memiliki pemahaman ortodoksi tersebut perlu banyak belajar tentang kesejarahan pendidikan Islam di Indonesia. Ratusan tahun yang lalu, pendidikan Islam di pesantren tetap berhasil menumbuhkan sikap toleransi. Keberhasilan itu tidak lepas dari metode sistem dakwah Islam secara keaksaraan dan kelisanan secara otoritatif  dan universal.(*)

Pernah dimuat di Iqra.id pada 02 Agustus 2019



Tidak ada komentar:

Posting Komentar