Yurisprudensi
Perang Membela Islam
Judul Buku :
Hukum Perang Islam
Penulis :
Ahmed Al-Dawoody
Penerbit :
Kepustakaan Populer
Gramedia
Gramedia
Tebal Buku :
455 halaman
Cetakan :
Januari, 2019
ISBN :
978-602-481-004-7
Kesejarahan
dinamika jihad dalam politik Islam sering kali menyebabkan tindakan mispersepsi
atau salahpersepsi. Sejak kebangkitan Islam pada abad ke-XX, pergulatan ideologi
politik Islam mulai menyebarkan doktrin jihad militan sebagai upaya mewujudkan gerakan
ekspansionisme. Gerakan Muslim konservatif ini berambisi mewujudkan misi politik
identitas untuk merealisasikan dinasti imperialistik. Doktrinasi jihad militan sebagai
upaya melegitimasi tindakan anarkisme mendapat pertentangan keras dari kalangan
oksidentalis maupun orientalis dalam studi penelitian literatur-literatur Islam
klasik. Pertentangan itulah yang melahirkan yurisprudensi tentang makna jihad
dalam perdebatan disiplin ilmu hukum Islam.
Kehadiran
buku Berjudul Hukum Perang Islam (2019)
karya Ahmed Al-Dawoody menjadi penting untuk memahami konteks perang yang
terjadi di masa Rasulullah hingga kontemporer. Selain menjelaskan perihal
kesejarahan perang awal kehadiran Islam, Ahmed Al-Dawoody juga menjelaskan
hukum bagi tindakan terorisme yang sering kali mengatasnamakan agama (Islam)
hingga merugikan umat Muslim. Kesalahpahaman konsep jihad (nonkombatan) telah menyebabkan orang-orang nekat melakukan
aksi tindakan bunuh diri. Tindakan jihad (teror) ini mengalami absurditas yang
amat fatal tatkala keyakinan itu tidak dipahami secara mendalam dari konsep dan
landasan kitab suci (Alquran).
Bila
kita mencermati sejarah peperangan yang pernah terjadi di masa awal kelahiran
Islam, Rasulullah tidak mengajarkan kepada umat Islam untuk senantiasa
berperang. Rasulullah lebih memilih jalur diplomasi untuk merundingkan berbagai
persoalan keagamaan. Hal itu dapat dipahami dari konsep ghazawat (peperangan yang melibatkan Nabi). Selama Rasulullah
hidup, perang hanya terjadi 9 kali dari 27 agresi oleh pihak-pihak yang
memusuhi umat Islam. Di masa itu, perang memang menjadi jalan yang terpaksa
ditempuh umat Muslim untuk mempertahankan diri. Tindakan berperang sebenarnya
merupakan situasi yang amat sulit untuk dilaksanakan dan juga tidak diharapkan oleh
Rasulullah.
Alasan-alasan
Rasulullah menghindari terjadinya peperangan memang tampak logis. Rasulullah
menghendaki umat Muslim untuk senantiasa menghindari peperangan demi menciptakan
stabilitas dan perdamaian di dunia. Peperangan yang pernah dialami umat Muslim bertujuan
mendakwahkan ajaran agama dan mempertahankan risalah kebenaran tanpa adanya
pemaksaan (otoriter). Dalam sejarah
peradaban Islam, peperangan pernah tercatat seperti: perang Badar, Uhud,
Khandaq, Quraizah, al-Musta’liq, Khaibar, dan lain-lain. Dampak dari peperangan
tersebut menyebabkan kerugian materiil, korban jiwa, kesengsaraan, dan
kemiskinan bagi umat manusia. Maka, relevansi untuk menghindari terjadinya
perang (jihad militan) di masa kontemporer semestinya menjadi tujuan umat
Muslim dalam berdakwah dan berpolitik bukan untuk kepentingan kekuasaan.
Persoalan aktual inilah
yang sedang diteliti secara terstruktur dan mendalam oleh Ahmed Al-Dawoody.
Ahmed memberi kritik serius dengan mengumpulkan berbagai literatur dan pendapat para ulama mazhab,
ulama Islam klasik, hingga pendapat orientatis dan oksidentalis tentang
justifikasi hukum terorisme. Dari data-data penelitian tersebut, Ahmed
berkesimpulan bahwa secara universal tindakan terorisme merupakan bentuk kejahatan
kepada negara. Kegagalan memahami jihad mengalami kecacatan secara esensi
maupun orientasi tatkala hanya dimaknai secara tekstual. Dari penelitian itu,
Ahmed juga berargumentasi bahwa tindakan teror merupakan bentuk pemberontakan
terhadap aturan-aturan pemerintah (bughah).
Secara yurisprudensi,
hukum Islam klasik juga membahas hukum pemberontakan sejak terjadinya polemik
penentuan khalifah setelah Rasulullah meninggal. Peristiwa itu lalu melahirkan
paham-paham baru yang menyebabkan timbulnya permusuhan secara internal. Namun,
gagasan tentang pemikiran kajian hukum pemberontakan secara metodologi dan aturan-aturan
hukumnya baru mulai dipikirkan oleh para ulama Islam kontemporer akhir abad XX.
Khaled Abou El Fadl
dalam “kata pengantar” menjelaskan beberapa literatur hukum pemberontakan
muthakir masih banyak yang mengalami kecacatan metodologi dan minimnya
data-data otoritatif. Kehadiran buku Ahmed ini menjadi sumber otoritatif untuk
memahami etika dan aturan hukum pemberontakan pada abad XXI. Ahmed tidak
sekedar membandingkan kajian-kajian orientalis dan oksidentalis, tetapi juga
memberi kritik dan perdebatan yang menarik dari berbagai karya-karya
sebelumnya.
Dari hasil penelitian
Ahmed memberikan informasi bahwa yurisprudensi hukum Islam klasik sebenarnya sudah
memberikan sumbangan literatur-literatur yang masih relevan untuk menangapi
persoalan tindakan terorisme. Namun, literatur itu belum begitu banyak ditanggapi
oleh para intelektual muthakir. Sejak merebaknya tindakan terorisme di berbagai
negera, baru problematika ini menjadi penting sebagai bahan kajian baru yang
harus dipecahkan oleh pakar hukum Islam.
Kini, keberhasilan
penelitian Ahmed menjadi rujukan dan bukti penetapan yurisprudensi hukum perang
Islam. Argumentasi itu berdasarkan perbandingan dan menelaah pendapat para ulama
klasik maupun kontemporer. Para ulama telah bersepakat bahwa terorisme merupakan
kejahatan yang dapat menyebabkan tindakan anarkisme dan radikalisme. Kejahatan
tersebut sangat merugikan umat manusia dan juga bertentangan dengan aturan-aturan
yang sudah ditetapkan dalam Alquran dan hadis.
Selain sumber dari syariah
(Alquran-hadis), sumber literatur tafsir juga turut memperdebatkan tindakan
jihad militan yang tidak sesuai dengan konsep jihad ajaran agama (Islam). Asma
Afsaruddin pernah menulis buku berjudul Tafsir
Dekontruksi Jihad dan Syahid (2018). Penelitian Asma tersebut sangat serius
dalam menjelaskan definisi jihad dari sumber literatur monograf tafsir klasik
awal abad ke-VIII hingga tafsir-tafsir kontemporer. Asma menelaah konsep jihad
dari litelatur Islam klasik dan membandingkannya dengan beberapa pendapat para
mufassir klasik dan modern. Hasil perbandingan tersebut berkesimpulan bahwa
konsep jihad telah mengalami pergeseran paradigma pemahaman secara mendasar.
Pergeseran itu
disebabkan pergolakan sosial-politik yang acapkali melibatkan agama dijadikan
komoditas politik identitas. Hal itu menyebabkan pemaknaan jihad sebagai gerakan
monovalen terlihat sangat kaku dan universal. Gagasan kesalahpahaman ini
menyebabkan orang-orang melupakan tindakan jihad dengan harta dan jiwa (amal
saleh) yang pernah disampaikan Rasulullah, para sahabat, dan para mufassir. Kesadaran
memahami jihad dengan harta dan jiwa lebih memiliki orientasi kemaslahatan sosial,
ketimbang memahami jihad membela Tuhan yang acapkali menimbulkan kemudaratan
sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar