Senin, 25 November 2019


Perempuan Itu Penulis


Kehadiran buku berjudul Santapan Selera (2016) lahir dari pemikiran perempuan. Perempuan itu bernama Qibtiyatul Maisaroh. Tulisan-tulisan di buku Santapan Selera merupakan bentuk dokumentasi sinau esai yang pernah terjadi di Solo. Tulisan-tulisan itu juga pernah tampil di beberapa media cetak seperti: Solopos, Republika, Radar Banyuwangi, dan Lampung Pos. Sejak kuliah di IAIN Surakarta, Qibti aktif diskusi di masjid Al-Bukhori (masjid kampus), pengajian (nulis) selasa siang, dan Bilik Literasi. Keaktifan tadarus buku setiap kamis, membaca koran, dan menulis, menghasilkan catatan-catatan penting tentang buku, ekologi, persoalan bahasa, film India, dan toleransi agama.

Tema-tema inilah yang berhasil Qibti tuliskan di buku-buku sebagai kerja keaksaraan. Di buku Santapan Selera (2016) misalnya, Qibti mengajak kita untuk memikirkan ekologi: sungai, hewan, tumbuhan, dan, hutan. Sejak sistem kapitalisme berkuasa di Indonesia, orang-orang sering melupakan kerusakan alam akibat krisis kesadaran sosial terhadap lingkungan. Kaum oligarki dan masyarakat kelas menengah sering menimbulkan persoalan lingkungan seperti pembukaan lahan hutan, melimpahnya limbah pabrik dan limbah domestik yang terbuang sembarangan. Persoalan itu mengakibatkan pencemaran lingkungan dengan menumpuknya sampah dan limbah di sungai.
Selain menjelaskan kerusakan alam, tulisan Qibti juga turut mengajak pembaca untuk memikirkan fenomena-fenomena sosial yang berkembang. Selain menulis esai mempermasalahkan isu lingkungan, Qibti juga konsen dalam memberikan penjelasan tentang kaitan buku dan hewan. Esai berjudul Buku adalah Kebun Binatang ingin memahamkan kepada para pembaca bahwa keluarga Indonesia kini mulai tidak mengenal binatang dengan cara berbuku. Masyarakat seakan kehilangan kepercayaan bahwa buku juga dapat merepresentasi imajinasi binatang pada anak sebagai bahan pembelajaran. Namun, orang-orang lebih memilih untuk mengunjungi langsung di kebun binatang sembari liburan ketimbang mempelajari hewan lewat buku-buku anak terlebih dahulu.
Qibti tekun mengumpulkan beberapa buku bacaan anak di masa Orde Baru untuk menerangkan bahwa buku anak juga kebun binatang. Buku Kuda dan Kerbau gubahan Marcus A.S (1977), Upah Kejahatan gubahan Anton Adwijoyo (1976), dan Kami Keluarga Burung (1984) gubahan Abdul Ghofur menjadi bukti dan referensi. Bahwa buku anak di masa Orde Baru tidak sekedar menampilkan gambar tapi juga menjelaskan beragam kegunaan-kegunaan hewan dalam hal pertanian dan pendidikan. Tugas membajak sawah dengan kerbau di masa lalu menjadi hal yang lumrah dilakukan petani untuk menggarap sawahnya.
Di masa Orde Baru buku anak juga banyak menampilkan tokoh hewan untuk mengajarkan pendidikan moral. Hewan-hewan sering memiliki karakter ketokohan yang berbeda-beda untuk menjelaskan perilaku dan pesan moral. Sikap dan perilaku hewan dalam dialog memiliki karakter antagonis maupun protagonis sebagai penggambaran alur cerita yang ingin dibangun. Cerita-cerita ini, Qibti hadirkan sebagai bahan pengetahuan untuk mengajarkan pada keluarga Indonesia pentingnya mempelajari buku anak supaya tidak hanya sekedar mempelajari binatang dengan liburan ke kebun binatang!
Menyoalkan Bahasa
Tulisan Qibti tidak hanya berkaitan tentang lingkungan, anak, dan hewan. Ia juga pernah mempermasalahkan fenomena bahasa Indonesia yang digunakan generasi millenials namun tidak sesuai dengan tata bahasa baku bahasa Indonesia. Di buku Penimba Bahasa (2018) merupakan buku kumpulan tulisan Qibtiyatul Maisaroh dkk dari hasil lomba bulan bahasa 2018 di Universitas Sebelas Maret Solo. Qibti menulis Rumah Kata Indonesia: Ruang Publik Baru dan Forum Kamus Indonesia Raya.
“Bahasa Indonesia mengalami inflasi di internet, kata sebagian orang. Tiap kali ada aplikasi baru, atau laman media sosial baru, kamera digital baru, dan seterusnya dan seterusnya selalu saja ada dan berkerumun istilah-istilah baru. Tak ada pakar bahasa yang bisa cepat memberikan solusi adaptif terhadap kata-kata baru ini. Malah, warga dunia maya dengan cepat mengambil atau menciptakan sendiri istilah mereka. Penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah kebahasaan dianggap tidak relevan, terlalu lama, dan lagian ngapain juga harus membuat otoritas bahasa di media sosial.”
Perubahan berbahasa ini pernah terjadi pada 1980-an. Qibti membagi tipologi perkembangan bahasa dengan memaknainya bahasa kultur dan non kultur. Ia mengutip tulisan Untung Yuwono yang sedang melakukan penelitian tentang bahasa slang. “Bahasa slang berasal dari kata yang diubah dari bentuk aslinya. Perubahan ini biasanya digunakan untuk memberikan penekanan pada kata yang diucapkan. Tapi dalam arti masih menggunakan arti bentuk kata aslinya. Misalnya, kata ‘banget’ diubah menjadi bingit, beud, atau binggo (hlm. 120).”Pada 1980-an bahasa slang identik dengan bahasa prokem (bahasa preman), namun sejak 1990-an bahasa ini identik dengan bahasa kalangan anak muda dan sebagian identik dengan bahasa binan (bahasa kalangan banci).
 Qibti mencermati bahasa-bahasa yang lahir dari media sosial. Ia seakan marah pada orang-orang (warganet) yang tidak mempertimbangkan berbahasa Indonesia secara lumrah dari kamus bahasa Indonesia. Perubahan penggunaan kata-kata di media sosial menjadi tulisan yang cukup serius demi memberikan kritik sosial secara akademis. Tulisan ini merupakan upaya Qibti turut memikirkan bahasa Indonesia agar tidak mengalami absurditas meski dunia mengalami perkembangan teknologi digital. Selain itu, tulisan ini barangkali bisa menjadi ajakan sekaligus rujukan para pakar linguistik, dosen, mahasiswa, masyarakat Indonesia untuk memikirkan nasib bahasa Indonesia. Supaya bahasa Indonesia tidak mengalami berbagai dikotomi makna di media sosial secara komunal.
Toleransi Agama
Sejak kuliah di program studi agama dan lintas budaya (CRCS) Universitas Gajah Mada 2018, Qibti mulai mempelajari studi agama. Mempelajari studi lintas agama juga membuat Qibti pernah ikut sebagai tim penulis buku Semaian Iman Sebaran Pengabdian: 1oo Tahun Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus di Indonesia (2018) yang dieditori Bandung Mawardi. Buku itu memuat seabad kisah-kisah heroik suster-suster yang menyebarkan cinta kasih di Indonesia. Buku ini mengajak dialog iman antara penulis dan pembaca untuk senantiasa mengajarkan toleransi beragama di Indonesia. Mafhum, buku ini digarap oleh penulis-penulis Muslim. Inilah yang menjadi hal yang penting dalam dokumentasi sejarah di buku tersebut.
Kita dapat menyimak Sindhunata dalam kata pengantarnya “Bilik literasi Solo terbuka untuk siapa saja. Sampai sekarang, hampir semua anggota mereka adalah teman-teman muda Muslim. Dan justru di sinilah letak keunikan penggarapan buku 100 tahun CB di Indonesia ini. Suster-suster CB menyerahkan proses pengerjaan buku mereka kepada teman-teman Muslim ini. Tentu alasannya pertama-tama adalah bahwa mereka itu penulis yang kiranya dianggap bisa membantu penulisan buku. Namun, biar bagaimana pun, di pihak suster-suster CB, langkah ini adalah sebuah keberanian dengan rela dan tanpa banyak perhitungan mau menerima, bahwa latar belakang para penulis yang Muslim itu tentu akan mempengaruhi sejarah mereka (hlm.6).”
Sindhunata mengatakan dalam buku ini merupakan karya penulisan sejarah yang unik. Hal ini disebabkan penulisan sejarah tentang suster di Indonesia melibatkan penulis Muslim untuk menunjukan eksistensi dialog antar agama. Tentu hasil kepenulisan ini tidak menjadi masalah, bahkan Bandung Mawardi dkk menuliskannya cukup objektif dan bersandarkan pada data-data sejarah yang ada.  Data-data itu menjelaskan sejarah pengabdian suster terhadap kesehatan, pendidikan, dan kemanusiaan memang pernah mereka lakukan sebagai kerja pengabdian.
Di antara berbagai tema itu, Qibti memilih menulis tema-tema tentang kesehatan. Dalam esai berjudul Kesehatan Perempuan, Qibti memberikan catatan “kepedulian suster pada kesehatan perempuan adalah bagian dari misi keimanan. Mereka harus melanjutkan iman Katolik keluarga Indonesia yang sejahtera dan sesuai dengan ideologi pemerintah. Meskipun mereka harus berdamai dengan sekian peristiwa yang tidak memiliki tautan biografis dengannya. Misi ini memang tampak menyulitkan. Para suster mesti meyakinkan perempuan di pelbagai desa untuk mendengar petuah keluarga, kehamilan, kesehatan reproduksi dari mereka. Kesehatan perempuan krusial penting untuk diabaikan diperhatikan.”
Qibti mengisahkan sejarah kesehatan masa lalu sebagai bentuk penghormatan, menghargai atas kerja-kerja suster-suster CB yang sudah dilakukan selama 100 tahun di Indonesia. Tugas mulia itu perlu didokumentasikan sebagai bentuk kerja keaksaraan untuk warisan di masa mendatang. Pada 20 September 2019 lalu, Qibti pamit bertemu Tuhan. Keteladanan dalam hal kepenulisan yang Qibti hasilkan akan menjadi rangkaian doa dan amal perjalanan hidupnya. Ia berhasil mengumpulkan kata-kata dan meninggalkan cerita-cerita tentang buku, toleransi, bahasa,ekologi, film India, untuk kita semua. Selamat jalan, kak Qib!    


Pernah dimuat di Iqra.id


   


Minggu, 17 November 2019


Dakwah 


Beberapa hari lalu, dakwah ustaz Abdul Somad (UAS) memicu polemik dan konflik di media sosial. Siraman dakwah UAS menimbulkan perseteruan dan perselisihan umat beragama di Indonesia. Polemik dakwah UAS menyinggung perihal lambang keagamaan umat Nasrasi secara konfrontasi dan subjektif. Secara esensi, eksistensi, dan konotasi, penjelasan dakwah UAS terhadap Salib memang cenderung memberikan argumentasi negatif. UAS seolah tidak mempertimbangkan teknik dakwah kontekstual dalam melihat teologi-sosial masyarakat Indonesia.

Dari persoalan itu, kita semestinya menyadari perlu kembali mempelajari epistemologi dan dekontruksi dakwah islami. Dari kesejarahan dakwah yang pernah diajarkan oleh Rasulullah, kita tidak pernah mendengar cerita-cerita tentang kekerasan, cacian, hujatan, dan bahkan mengkafirkan agama lain. Rasulullah cenderung mengajarkan dakwah dengan nilai-nilai adab: kesabaran, ramah, santun, dan toleran. Persoalan eksistensi dakwah ini tampaknya mulai mengalami pergeseran paradigma secara universal di era postmodernisme.

Di era postmodernisme, kita terlalu dimudahkan untuk mempelajari agama hanya berbekal mendengarkan ceramah di media sosial. Keberlimpahan dakwah dari arus pan-islamisme membuat orang-orang (warganet) semakin memicu dan menimbulkan sikap rasis, otoriter, dan oportunistik. Kita seolah melupakan cara beretika dalam beragama dan bersosial dari pelajaran literatur-literatur normatif. Pada 1965-an, Roosdi Ahmad Sjuhada menulis buku berjudul Diagnosa Chutbah (1965). Tulisan-tulisan itu mengingatkan pada pergerakan tokoh-tokoh Islam berserta karya-karya tentang bagaimana seharusnya memahami esensi dakwah Islam.

Roosdi menyebutkan keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam berdakwah, seperti: Ibnu Nubatah (946-984 M), yang mengumpulkan catatan-catatan khutbah untuk dijadikan kitab, Abdul Mahmud Zamachsyari (1075-1144 M) menulis kitab berjudul Athwaquz Zahab Fil Mawa’iz wal chutab, Na’man Al-Alusi menulis kitab berjudul Ghalijatul Mawa’iz, dan Sjeich Sju’aib Huraifisj yang menulis kitab Ar-Raudhul Fa’iq fil Mawa’iz war Raqa’iq. Pasca kebangkitan Islam di Timur Tengah, kitab-kitab itu menjadi pedoman untuk memberikan penjelasan aturan-aturan dakwah keaksaraan yang difungsikan sebagaimana mestinya.  

Kitab-kitab tersebut dahulu digunakan sebagai rujukan sumber perkembangan dakwah di Timur Tengah. Dari tinjauan literatur Timur dan Barat, Roosdi memberikan beberapa catatan-catatan penting tentang nilai-nilai dalam berceramah (dakwah).  Bahwa esensi dan konotasi dakwah perlu meliputi aspek-aspek seperti: dapat membentuk kepribadian yang kuat, memiliki perasaan cinta kasih, bijaksana dalam bertutur, berjiwa bebas (ijtihad), memiliki keseimbangan yang dinamis dan progresif, dan memiliki rasa tanggung jawab.  

Dari penafsiran literatur normatif tentang esensi dakwah, Roosdi berhasil menjelaskan teknik dan metode-metode yang perlu disampaikan dalam berdakwah. Konotasi dakwah semestinya memiliki estetika-komunikatif untuk menumbuhkan religiusitas-sosial. Nilai-nilai dakwah seharusnya juga mengajarkan perasaan cinta kasih pada umat beragama (toleran). Keberhasilan dakwah tidak sekedar sebagai pergulatan dialog teologi-iman secara kelisanan, tetapi juga menjadi legitimasi persatuan negara-bangsa (keberagamaan).

Namun, perkembangan dakwah yang beraneka ragam ini juga pernah dikritisi Abdurahman Wahid (Gus Dus). Kritik itu terjadi tatkala substansi dakwah dijadikan komoditas dan legitimasi politik identitas. Gus Dus menulis esai berjudul Dakwah Harus Diteliti ? dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (2017). Gus Dus seolah mempertanyakan perkembangan dakwah populer yang tidak memiliki korelasi dalam aturan keagamaan. Seperti model dakwah eksklusif di masjid-masjid yang sering kali menyuarakan isu khilafah, sara, politik identitas, dan hujatan. Esensi dakwah seolah tidak memilik relevansi dan substansi untuk meningkatkan progresifitas beragama secara individu maupun kolektif.

Pergeseran dinamika dakwah disebabkan dari dampak pan-islamisme dan membludaknya ragam ekspresi (populisme Islam) di Indonesia mulai menunjukkan identitas kesalehan. Melemahnya efektifnya esensi dakwah akibat umat Islam terlalu banyak mengonsumsi ceramah-ceramah, menampakkan simbol-simbol keagamaan, bergaya hidup budaya pop islami yang berkiblat dari media sosial. Kita dapat memahami perkembangan dakwah kontemporer itu dari penelitian yang disusun oleh Greg Fealy & Sally White dalam buku berjudul Ustadz Seleb: Bisnis Moral & Fatwa Online (2012).

Greg Fealy meneliti tentang perubahan fungsi agama (Islam) yang dijadikan ladang bisnis dan komoditas dagang secara berlebihan. Merebaknya konsumsi Islam telah menandai berbagai pelayanan ekonomi Islam, atribut produk-produk Islam, dan simbolisasi keagamaan (pakaian) yang diperdagangkan secara massal. Komodifikasi Islam mencerminkan peningkatan religiusitas masyarakat urban di perkotaan semakin lebih konsumtif dan afirmatif.

Perubahan sosial ini ditandai dengan meledaknya keberhasilan dakwah dari berbagai ustaz-ustaz populer seperti Abdullah Gymnastiar, Jefri Al-Buchori, Yusuf Mansur, dan Arifin Ilham. Metode dan teknik dakwah yang digunakan senantiasa bersifat ajakan untuk mengonsumsi Islam dengan memadukan ekonomi Islam dan gaya hidup islami. Para ustaz membuat dakwah-dakwah sebagai candu gerakan bisnis produksi ceramah-ceramah, bisnis layanan SMS (teknologi), dan bisnis gerakan sedekah yang menjadi ciri khas ketenaran dalam teknik berdakwah.

Populernya arus dakwah konservatif memperoleh dukungan dari arus teknologi digital yang semakin mengabsurditaskan nilai-nilai keagamaan. Hal itu semakin menyulitkan kita untuk mencermati relevansi dakwah yang mampu memberikan nilai-estetika dalam meningkatkan kesadaran keagamaan (dialog iman). Dari dinamika kesejarahan dakwah di masa lalu, kita masih memperoleh cerita-cerita dakwah secara kelisanan maupun keaksaraan (buku-buku) dari para ulama-sufistik. Perubahan sosial yang terjadi membuat kita perlu mewaspadai perkembangan dakwah-dakwah masa kini di (media sosial). Seperti halnya tatkala kita menyepakati pesan-pesan dari Gus Dus, bahwa dakwah harus diteliti supaya dapat kita pahami.              




        
           


  

Jumat, 15 November 2019


Masjid, Ideologi, dan Asmara



Judul              : Kambing dan Hujan
Penulis          : Mahfud Ikhwan
Penerbit         : Bentang Pustaka
Halaman       : 373 Halaman
Cetakan II     : Februari 2018


Masjid dinarasikan oleh Mahfud Ikhwan dalam novel Kambing dan Hujan  sebagai latar konflik agama, sosial, keluarga dan asmara. Pada 1960-an di desa Centong, masjid menjadi ruang persaingan dan perselisihan cara pandang dalam menafsirkan perintah agama. Perselisihan tersebut telah melahirkan konflik berkepanjangan antara ormas pembaharuan” Muhammadiyah” yang diusung kaum muda dan “Nahdhatul Ulama” sebagai keyakinan kaum tua. Perbedaan seputar fiqih di antara kedua ormas tersebut begitu mempengaruhi dalam menjalani rutinitas ibadah. Perbedaan itulah yang menimbulkan kaum pembaharuan geram dan memilih membuat masjid sendiri untuk berdakwah dan beribadah.

Masjid di Centong menjadi ruang ideologis. Masjid selatan dan masjid utara memiliki jamaah sendiri-sendiri dalam menjunjung keyakinan beragama. Dakwah kaum muda sebagai gerakan pembaharuan menginginkan untuk menghilangkan tradisi dan budaya yang masih dijalani masyarakat Centong. Tradisi lokal itu dianggap kaum pembaharuan menyimpang dari ajaran Islam.  Kaum pembaharuan menyuarakan aktivitas dakwahnya secara nekat meski menimbulkan konflik agama. Kaum muda dan kaum tua sama-sama tetap gigih berkonflik demi menyuarakan ajaran dan kepercayaan yang paling benar hingga bertahun-tahun lamanya. 

Iskandar dan Fauzan dahulunya adalah teman dekat saat menimba ilmu di Sekolah Rakyat. Mereka sering menggembala kambing, merokok, tertawa bersama dengan sering berkhayal menatap masa depan di Gumuk Genjik. Usai lulus dari SR nasib berpihak kepada Fauzan. Ia mampu meneruskan sekolahnya di Pesantren Jombang. Meski Iskandar  tak mampu melanjutkan sekolah, ia tetap belajar agama dengan cara membeli kitab-kitab dari hasil upah menggembala kambing. Iskandar adalah pemuda yang memiliki kesadaran akan pentingnya ilmu agama. Ia tak mau kalah dengan Fauzan tatkala nantinya diajak diskusi perihal agama. Namun menjelang Iskandar-Fauzan beranjak dewasa, suasana desa Centong menjadi berubah. Iskandar memilih masuk ormas pembaharuan “Muhammadiyah” dan memutuskan berguru kepada Cak Ali sebagai pimpinan gerakan pembaharuan. 

Mendengar berita kondisi Centong diserang gerakan pembaharuan, Fauzan pulang dari pesantren untuk memimpin masjid selatan atas perintah Kamituo. Kepulangan Fauzan memberi harapan terhadap kaum tua untuk melanjutkan aktivitas dakwah organisasinya. Kini Iskandar dan Fauzan memiliki jalan masing-masing dalam mengartikan dan menafsirkan perihal cara pandang beragama. Mereka menjadi pemimpin agama yang berbeda namun kurang menjunjung nilai toleransi dalam berdakwah. 

Gelagat permusuhan mulai tampak dari cara pandang dalam menafsirkan persoalan agama yang melanda desa Centong. Keberagamaan melulu  menjadi perdebatan sesama muslim yang terlalu fanatik terhadap keyakinan ormas agama. Beribadah sudah tidak lagi menjadi urusan hamba dengan Tuhan, melainkan harus memiliki kesamaan cara pandang yang mesti dibenar-benarkan oleh sebagian ormas penganut takfirisme. Pembenaran cara beragama yang diyakini tanpa toleransi malah sering kali menimbulkan adu fisik, pemikiran, hingga kekerasan. Kesadaran akan pentingnya toleransi sering dihiraukan hingga menyebabkan konflik internal antar umat muslim itu sendiri. 

Di Centong konflik tak hanya menyangkut keyakinan, namun juga asmara dan keluarga. Cinta segitiga yang dialami Iskandar-Fauzan dan Hidayatun membuat lara para tokoh dalam roman. Keberuntungan pun masih belum berpihak terhadap Iskandar. Orang yang dicintainya bernama Yatun adalah orang tradisionalis yang jelas akan berpihak kepada Fauzan. Ia mencoba mengikhlaskan Yatun lantaran tak menerima restu orang tua. Kisah kegagalan asmara itu membuat Iskandar merenungkannya. Ia lantas mengartikan asmara merupakan cobaan Tuhan yang mampir untuk mengganggu meraih cita-citanya. Usai kejadian penolakan, Ia kembali meneruskan tekadnya untuk mempelajari ilmu agama dengan melupakan perasaan asmara serta kekecewaan. 

Mahfud Ikhwan begitu elok dalam menarasikan persoalan konflik agama dan asmara. Selain itu, Mahfud juga menampilkan asmara juga sebagai pemecah dalam roman untuk mengerti agama, budaya, keluarga dan asmara yang dialami Centong. Kisah asmara timbul kembali lewat Miftahul dan Fauzia. Mereka  adalah putra-putri Iskandar dan Fauzan. Mif putra pak Iskandar kuliah di Jogja mengambil jurusan sejarah sedangkan Zia kuliah di Surabaya mengambil jurusan Bahasa Arab. Mif dan Zia berjumpa  saat naik bis hendak ke Surabaya.   Perjumpaan itu memberikan kesan berarti terhadap Mif usai mengetahui Zia juga berasal dari Centong. 

Kisah asmara Mif dan Zia mengalami penolakan oleh Iskandar-Fauzan selaku orang tua. Penolakan itu dikarenakan perbedaan Latar belakang keluarga serta luka lama yang masih menggores hati kisah para orang tua. Kebinggungan yang dialami Mif dan Zia rupanya harus membuka cerita lama para orang tua. Dua sahabat Iskandar-Fauzan dahulu pernah berkirim surat demi bertukar kabar dan cerita di Centong. Fauzan mengisahkan cerita kepada Zia lewat surat-surat mereka pada tahun 1960-an yang masih tersimpan. Begitu pula dengan Iskandar menceritakan penolakan serta gunjingan oleh Kamituo selaku orang tua Yatun. Alasan para orang tua tak membuat kisah asmara Mif dan Fauzia padam, mereka tetap memperjuangkan demi meluruskan sejarah masa silam. 

Mif adalah pemuda tangguh dalam mempertahankan perasaannya. Ia tak mau gagal seperti orang tuannya dalam hal asmara. Demi bersatu bersama Zia, ia memberanikan diri membuka silaturahmi diantara dua keluarga yang masih berseteru.  Mif dan Zia tentu tak memiliki pemikiran yang sama orang tuannya dalam menafsirkan perihal agama.  Mereka adalah generasi muda yang akan membawa Centong pada jalan perdamaian dan menjunjung nilai toleransi. 

Kegigihan Mif dan Fauzia meski dilanda derita dari masa lalu orang tuannya tak membuat goyah kisah asmara. Usaha asmara Mif dan Zia menyadarkan pandangan Iskandar-Fauzan untuk lekas berdamai dan berhenti berseteru dalam urusan agama. Kisah asmara Mif dan Zia membuat mereka akhirnya berpelukan dan menangis bersama serta memutuskan untuk berbesan. Kisah asmara Mif dan Zia telah membawa perubahan di desa Cendong terutama masjid selatan dan masjid utara. Keberagamaan di desa Centong mengubur masa lalu yang penuh konflik dengan membuka keberagamaan dengan penuh kisah cinta.

Pernah dimuat di Alif.id
Masjid dan Filsafat



Dalam sejarah peradaban Islam, berdirinya masjid dilatarbelakangi untuk menyebarkan perjuangan dakwah Islam. Sejak Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah pada 622 M, Rasulullah dan para sahabat mendirikan masjid Quba sebagai tempat musyawarah dan sarana ibadah-dakwah. Kesederhanaan masjid Quba tidak sekedar menjadi tempat ibadah, tapi juga menjadi benteng pelindung untuk menyusun strategi sosial-politik yang sedang bergejolak. Pergolakan itu sering kali menyebabkan konflik, tindakan represif dan intoleransi, demi mempertahankan panji kebenaran (Islam) sebagai agama monoteisme yang terakhir diwahyukan Tuhan.

Kisah-kisah dari Sirah Nabawi dalam menyebarkan dakwah Islam begitu dramatis. Catatan dalam sejarah pergolakan kehidupan keluarga Nabi mengajarkan keteguhan iman dan ikhsan ketika menghadapi problematika sosial-keagamaan. Pada masa itu, Rasulullah memiliki kesadaran yang kuat terhadap tempat ibadah (masjid) untuk memperjuangkan nilai-nilai keislaman. Representasi masjid sebagai sarana dakwah di masa lalu tidak sekedar bangunan megah, tapi juga menjadi ruang-ruang yang dapat menyebarkan pendidikan dan pengetahuan Islam secara meluas dan universal. 

Orientasi ruang pengetahuan dan pendidikan inilah yang diteliti oleh Sidi Gazalba dalam buku Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam (1994). Melalui pendekatan studi Alquran dan hadis, Sidi berhasil memberikan penjelasan secara gamblang bahwa masjid benar-benar menjadi pusat kebudayaan peradaban Islam. Gagasan ini menjadi penting pasca 1975 terjadinya “kongres masjid sedunia” di Mekkah (Hamka: 1994). Hasil kongres itu menyimpulkan bahwa untuk membangkitkan kemajuan Islam, umat Islam harus kembali memperbaiki fungsi masjid. Maka, dari penelitian Sidi tidak hanya sekedar menafsirkan Alquran dan hadis demi mengembalikan fungsi masjid, tapi juga melibatkan pendekatan ilmu-ilmu kontemporer seperti sosial, antropologi, politik, ekonomi, seni, dan filsafat. 

Keterlibatan berbagai disiplin bidang ilmu ini semakin menambah wawasan dan pengetahuan Islam sebagai rujukan negara Eropa (Barat). Perkembangan ini mulai terjadi pasca generasi para sahabat. Pada masa khalifah Harun Ar-rasyid, perkembangan keilmuan di masa dinasti Abbasiah mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan (sains). Hal ini disebabkan umat Islam mulai menerjemahkan, mempelajari, dan menekuni literatur-literatur filsafat Yunani. Gagasan ini diteruskan pada khalifah masa Al-Ma’mun usai bermimpi bertemu Aristoteles. Al-Ma’mun memperoleh petuah dari Aristoteles untuk menciptakan peradaban Islam berkemajuan dengan cara menerjemahkan buku filsafat Yunani. 

Mimpi yang dialami khalifah Al-Ma’mun menjadi gerakan pembaharuan pemimpin Islam yang sadar terhadap buku-buku filsafat (literatur klasik). Kesadaran menerjemahkan buku-buku filsafat menjadi penting untuk merumuskan metodologi dan teori ilmu yang dapat membawa kemaslahatan sosial. Penerjemahan itu akhirnya memasuki ruang-ruang masjid, perpustakaan, istana dinasti Abbasiah. Pembaharuan konsep kepemimpinan Al-Ma’mun tidak hanya bergerak menerjemahkan buku filsafat Yunani, tetapi juga membangun masjid dan perpustakaan sebagai tempat dan sarana para ulama, misionaris, tokoh-tokoh agama dalam mengembangkan keilmuan (sains). 

Masjid dan filsafat saling bertemu menciptakan keharmonisan dan estetika keilmuan Islam. Filsafat yang tumbuh di masjid telah memberikan pengaruh pemikiran para ulama untuk senantiasa mengedepankan gagasan ijtihad ketimbang taklid universal. Persoalan ini pernah disampaikan oleh Sidi Gazalba tatkala menjelaskan fungsi masjid sebagai sumber kebudayaan Islam yang harus dilestarikan. Sebagai pengkaji filsafat Islam, Sidi tidak sekedar memaknai masjid sebagai tempat sujud tapi juga tempat untuk berfilsafat. 

Penafsiran Sidi tidak semata-mata berasumsi dari subjektifitas, melainkan menggunakan pendekatan studi Islam dengan literatur kitab suci (Alquran-hadis). Sidi memberikan kritik serius terhadap orang-orang (politikus, konglomerat) yang sregep membangun masjid atas dasar satu hadis riwayat Muslim. Hadis yang mengatakan “membangun masjid akan dibuatkan rumah di surga” tidak dimaknai secara kontekstual dan mengalami absurditas makna dan estetika. Pembangunan masjid seperti ini malah menjadikan masjid berkontestasi menampilkan politik identitas, kemegahan materiil, konflik ormas, dan minimnya kegiatan yang mengajarkan orang berfilsafat (rasional). 

Dari peristiwa berpikir (filsafat), seharusnya umat Islam akan memperoleh hal-hal yang dapat memberikan ketenangan jiwa, etika, dan nilai-nilai spiritualitas. Peristiwa ini yang dikritik Sidi secara serius sebagai pengamat kebudayaan, filsafat Islam, dan ilmu sosial. Bahwa fungsi masjid mengalami pergeseran nilai-nilai spiritualitas dan kerohanian. Hal ini dapat dicermati dari perilaku-perilaku para dai, ulama, mubalig yang acapkali memberikan isu-isu sensitif (sara) tatkala menyampaikan khotbah atau pengajian. Ulama ortodoks semakin arogan dalam berkisah tentang agama akibat tidak memahami nilai spiritualitas dan estetika kerohanian dengan berfilsafat. 

Dari persoalan sosial ini, kita semestinya wajib mencontoh kebudayaan Islam yang masih berkembang  di masjid Jendral Sudirman (MJS) Yogyakarta. Di masjid MJS, filsafat tumbuh untuk menyebarkan nilai-nilai spiritualitas. Pengajian filsafat Islam yang diampu oleh Fahruddin Faiz berhasil melestarikan kebudayaan Islam yang melekat di ruang-ruang masjid. Masjid dan filsafat mempertemukan banyak orang untuk mempelajari tokoh-tokoh pemikir Islam seperti Ismail Raji al-Faruqi, Seyyed Hoesein Nasr, Muhammad Iqbal, Hazrat Inayat Khan dan lainnya. 

Fahruddin Faiz  dalam buku Sebelum Filsafat (2019) menjelaskan untuk mempelajari filsafat perlu belajar menggunakan sistem pengajaran kelisanan dan keaksaraan demi menumbuhkan niat dalam memahami hakikat kehidupan. Bahasa dan intonasi penuturan Fahruddin Faiz ketika menyampaikan filsafat begitu ringan dan mudah dipahami oleh anak-anak muda (mahasiswa) sebagai jamaah tetap. Kebudayaan ngaji filsafat ini semakin tumbuh sejak 2013 sampai sekarang. Kebudayaan berpikir filsafat di masjid telah melahirkan buku-buku, buletin jumat, dan nilai-nilai spiritual. Peristiwa inilah yang masih menyelamatkan kemajuan dan kebudayaan Islam yang tumbuh di masjid. Mempelajari filsafat di masjid adalah cara untuk memahami nilai-nilai sosial dan hakikat kehidupan. 

Pernah dimuat di web Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.