Puisi
Merayakan Ramadhan
Beberapa penyair pernah menyambut kedatangan bulan
ramadhan dengan syair puisi di Majalah Islam; Suara Muhammadiyah. Kehadiran puisi islami di Majalah Suara Muhammadiyah, pada 1980-an
menandai kebangkitan sastra Islam pada konteks sosial-budaya di Indonesia.
Momentum bulan ramadhan di masa 80-an, telah membawa berkah perkembangan kebudayaan
atas lahirnya puisi islami sebagai sarana dakwah di Majalah Islam tertua di
Indonesia itu.
Parafrase puisi-puisi islami di Majalah Suara Muhammadiyah mengingatkan umat Muslim untuk memahami esensi
keimanan serta ketakwaan di bulan ramadhan. Mafhum, selama satu bulan, umat
Muslim berkewajiban menjalani perintah agama (Islam) untuk berpuasa. Selain itu,
umat Muslim turut menjalani ibadah sunnah
demi memperoleh pahala yang melimpah. Peristiwa ini dapat kita mencermati
tatkala anak-anak, orangtua, pemuda, melaksanakan salat tarawih, dzikir, dan
tadarus bersama di masjid kota-kampung.
Momentum merayakan ramadhan memang seringkali mengalami
perubahan dalam tataran sosial-budaya yang cukup beragam baik di kota dan desa.
Salah satunya, seperti keberhasilan para penyair Yogyakarta memilih merayakan
ramadhan dengan berpuisi. Pada bulan
ramadhan 1989, di Majalah Suara
Muhammadiyah edisi Mei 1989, memuat puisi Luthfi Rachman yang berjudul Ramadhan Indah. Kita bisa simak; “Ramadhan indah/ melepas sepi menuruni lembah
nenek moyang/ di masjid anak-anak menyulam iman/ orang-orang tua keluh
mencoreng purnama/ keningnya luka sukmanya bengkak/ angin basah menembus pucuk
setia/kecuali menelan puasa mendekap firman-Nya.”
Puisi Luthfi memiliki parafrase dan estetika teologi
bercampur kritik sosial. Kehadiran ramadhan seringkali menjadi landasan
orang-orang untuk tekun beribadah. Namun, pasca ramadhan, umat Muslim terkadang melupakan tugas sebagai pendakwah
yang senantiasa memakmurkan masjid sebagai tempat musyawarah untuk berdakwah. Dari
puisi Luthfi ini kita bisa menyimak, bahwa Luthfi menyebut anak-anak,
orang-orang tua sebagai subjek untuk memetakan tingkat keimanan dan ketakwaan.
Dalam puisi, Luthfi menunjukkan anak-anak sedang tekun-tekunnya
belajar Islam. Selain anak-anak, para orang tua turut berlomba mencari ampunan
dan ridha ilahi. Tentu, hal ini menandakan puisi-puisi Luthfi merupakan bentuk narasi karya biografi dalam merayakan kehadiran ramadhan di
masa lalu.
Selain parafrase, puisi Luthfi memang memiliki
estetika-religiositas yang amat mendalam. Kita bisa menyimak bait puisi selanjutnya
“Perempuan-perempuan tak punya dengki
mengunyah dosa/ lembut berkiblat mengurai detik jantung/ bershaf-shaf tak
berujung seperti angka/ bertasbih, bertahmid, bertakbir di atap langit/ di
serambi rumah-Mu rakaat berakhir/ ya Allah, denyut udara bagai hampa tubuh/
ramadhan-Mu meluruskan akar-akar bumi/ Seperti bayi seperti bayi.”
Di bait ini, puisi-puisi Luthfi terasa sedang mendakwahkan
konsep tauhid yang mampu memberikan justifikasi untuk kembali pada jalan
kebenaran. Secara estetika serta gaya bahasa, puisi-puisi Luthfi memiliki
metafor untuk melihat kesejarahan pergulatan sastra Islam yang berkembang di masa itu. Perkembangan sastra
Islam sebagai kritik sosial semacam ini semestinya menjadi acuan pelajaran umat
Muslimin. Sehingga bila kita dipertemuan kembali dengan bulan ramadhan, puisi Luthfi
dapat menjadi ingatan dakwah untuk intropeksi diri tentang pencapaian keimanan
secara kolektif dan individual.
Kesadaran
Pada realitasnya, masjid-masjid saat bulan ramadhan dipenuhi
umat Muslim menyeru dzikir, tahmid, dan takbir secara kolektif. Namun kita
sering luput, bahwa pencapaian keimanan tidak hanya sekedar diukur dengan
ibadah secara kolektif tetapi juga kesadaran secara individu. Peristiwa itu
yang telah disadari oleh Mudiono Mukti Kholid dalam puisinya berjudul Dzikir di Majalah Suara Muhammadiyah edisi Juni 1987. “Hakikat dzikir/ memelihara kebesaran Allah/ selalu ada di dalam diri/
di setiap ruang dan waktu/ di dalam hati/ lidah dan langkah-langkah/ Dzikir/
adalah menjinakkan nafsu/ dan menghaluskan budi.”
Puisi Mudiono bernada ajakan untuk mengingat
Tuhan dengan berdzikir. Peristiwa ini pernah Mudiono lakukan sebagai bentuk
ketakwaan secara individual. Makna berdzikir bagi Mudiono merupakan bentuk
lantunan doa supaya memperoleh ketentraman hati serta pikiran. Dengan
berdzikir, Mudiono merasa mampu menjinakan hawa nafsu dalam diri serta dapat
membersihkan hati dari rasa iri dan dengki.
Berbagai puisi telah menandai, bahwa pergerakan puisi
islami yang termuat Di Majalah Suara
Muhammadiyah pada periode 1980-an menambah geliat sastra Islam sebagai bentuk
siraman dakwah dari penyair. Puisi-puisi itu layak dijadikan panji dakwah etika dan akhlak guna meningkatkan kembali
konsep tauhid umat Muslim. Hikmah memahami konsep tauhid ini pernah disampaikan
Dinullah Rayes dalam puisi berjudul Iedul
Fitri di Majalah Suara Muhammadiyah
edisi Mei 1992 saat takbir kemenangan. “Usai
membakar noda dosa/ dalam ramadhan/ Kita pun kembali/ meraba jati diri kita:
suci bersih/ bagai bayi lahir/ hari ini / Allah Maha Besar/ Adakah yang masih
tercecer/ butiran ayat-Mu/ hingga tak menggetar/ lidah sukmaku?”
Puncak kemenangan serta kebahagian umat Muslim
pada esensinya kembali fitri (suci-bersih) setelah selesai menjalankan
kewajiban berpuasa. Dinullah sebagai penyair, meyakini bahwa puncak kemenangan
bulan ramadhan adalah terhapusnya kesalahan dosa yang telah diperbuat, baik
secara teosentris maupun antroposentris. Kehadiran puisi islami menjadi bukti para
penyair turut merayakan bulan suci ramadhan. Dengan sastra islami, para penyair
berambisi dakwah demi meningkatkan tauhid umat Muslimin.