Sabtu, 25 Mei 2019

Puisi Merayakan Ramadhan


Beberapa penyair pernah menyambut kedatangan bulan ramadhan dengan syair puisi di Majalah Islam; Suara Muhammadiyah. Kehadiran puisi islami di Majalah Suara Muhammadiyah, pada 1980-an menandai kebangkitan sastra Islam pada konteks sosial-budaya di Indonesia. Momentum bulan ramadhan di masa 80-an, telah membawa berkah perkembangan kebudayaan atas lahirnya puisi islami sebagai sarana dakwah di Majalah Islam tertua di Indonesia itu.
            
Parafrase puisi-puisi islami di Majalah Suara Muhammadiyah  mengingatkan umat Muslim untuk memahami esensi keimanan serta ketakwaan di bulan ramadhan. Mafhum, selama satu bulan, umat Muslim berkewajiban menjalani perintah agama (Islam) untuk berpuasa. Selain itu, umat Muslim turut menjalani ibadah sunnah demi memperoleh pahala yang melimpah. Peristiwa ini dapat kita mencermati tatkala anak-anak, orangtua, pemuda, melaksanakan salat tarawih, dzikir, dan tadarus bersama di masjid kota-kampung.
            
Momentum merayakan ramadhan memang seringkali mengalami perubahan dalam tataran sosial-budaya yang cukup beragam baik di kota dan desa. Salah satunya, seperti keberhasilan para penyair Yogyakarta memilih merayakan ramadhan  dengan berpuisi. Pada bulan ramadhan 1989, di Majalah Suara Muhammadiyah edisi Mei 1989, memuat puisi Luthfi Rachman yang berjudul Ramadhan Indah. Kita bisa simak; “Ramadhan indah/ melepas sepi menuruni lembah nenek moyang/ di masjid anak-anak menyulam iman/ orang-orang tua keluh mencoreng purnama/ keningnya luka sukmanya bengkak/ angin basah menembus pucuk setia/kecuali menelan puasa mendekap firman-Nya.”
            
Puisi Luthfi  memiliki parafrase dan estetika teologi bercampur kritik sosial. Kehadiran ramadhan seringkali menjadi landasan orang-orang untuk tekun beribadah. Namun, pasca ramadhan, umat Muslim  terkadang melupakan tugas sebagai pendakwah yang senantiasa memakmurkan masjid sebagai tempat musyawarah untuk berdakwah. Dari puisi Luthfi ini kita bisa menyimak, bahwa Luthfi menyebut anak-anak, orang-orang tua sebagai subjek untuk memetakan tingkat keimanan dan ketakwaan.
            
Dalam puisi, Luthfi menunjukkan anak-anak sedang tekun-tekunnya belajar Islam. Selain anak-anak, para orang tua turut berlomba mencari ampunan dan ridha ilahi. Tentu, hal ini menandakan puisi-puisi Luthfi merupakan bentuk narasi karya biografi dalam merayakan kehadiran ramadhan di masa lalu.
            
Selain parafrase, puisi Luthfi memang memiliki estetika-religiositas yang amat mendalam. Kita bisa menyimak bait puisi selanjutnya “Perempuan-perempuan tak punya dengki mengunyah dosa/ lembut berkiblat mengurai detik jantung/ bershaf-shaf tak berujung seperti angka/ bertasbih, bertahmid, bertakbir di atap langit/ di serambi rumah-Mu rakaat berakhir/ ya Allah, denyut udara bagai hampa tubuh/ ramadhan-Mu meluruskan akar-akar bumi/ Seperti bayi seperti bayi.”
           
Di bait ini, puisi-puisi Luthfi terasa sedang mendakwahkan konsep tauhid yang mampu memberikan justifikasi untuk kembali pada jalan kebenaran. Secara estetika serta gaya bahasa, puisi-puisi Luthfi memiliki metafor untuk melihat kesejarahan pergulatan sastra Islam yang  berkembang di masa itu. Perkembangan sastra Islam sebagai kritik sosial semacam ini semestinya menjadi acuan pelajaran umat Muslimin. Sehingga bila kita dipertemuan kembali dengan bulan ramadhan, puisi Luthfi dapat menjadi ingatan dakwah untuk intropeksi diri tentang pencapaian keimanan secara kolektif dan individual.

Kesadaran
            
Pada realitasnya, masjid-masjid saat bulan ramadhan dipenuhi umat Muslim menyeru dzikir, tahmid, dan takbir secara kolektif. Namun kita sering luput, bahwa pencapaian keimanan tidak hanya sekedar diukur dengan ibadah secara kolektif tetapi juga kesadaran secara individu. Peristiwa itu yang telah disadari oleh Mudiono Mukti Kholid dalam puisinya berjudul Dzikir di Majalah Suara Muhammadiyah edisi Juni 1987. “Hakikat dzikir/ memelihara kebesaran Allah/ selalu ada di dalam diri/ di setiap ruang dan waktu/ di dalam hati/ lidah dan langkah-langkah/ Dzikir/ adalah menjinakkan nafsu/ dan menghaluskan budi.”   
              
Puisi Mudiono bernada ajakan untuk mengingat Tuhan dengan berdzikir. Peristiwa ini pernah Mudiono lakukan sebagai bentuk ketakwaan secara individual. Makna berdzikir bagi Mudiono merupakan bentuk lantunan doa supaya memperoleh ketentraman hati serta pikiran. Dengan berdzikir, Mudiono merasa mampu menjinakan hawa nafsu dalam diri serta dapat membersihkan hati dari rasa iri dan dengki.
            
Berbagai puisi telah menandai, bahwa pergerakan puisi islami yang termuat Di Majalah Suara Muhammadiyah pada periode 1980-an menambah geliat sastra Islam sebagai bentuk siraman dakwah dari penyair. Puisi-puisi itu layak dijadikan panji dakwah  etika dan akhlak guna meningkatkan kembali konsep tauhid umat Muslim. Hikmah memahami konsep tauhid ini pernah disampaikan Dinullah Rayes dalam puisi berjudul Iedul Fitri di Majalah Suara Muhammadiyah edisi Mei 1992 saat takbir kemenangan. “Usai membakar noda dosa/ dalam ramadhan/ Kita pun kembali/ meraba jati diri kita: suci bersih/ bagai bayi lahir/ hari ini / Allah Maha Besar/ Adakah yang masih tercecer/ butiran ayat-Mu/ hingga tak menggetar/ lidah sukmaku?”
            
Puncak kemenangan serta kebahagian umat Muslim pada esensinya kembali fitri (suci-bersih) setelah selesai menjalankan kewajiban berpuasa. Dinullah sebagai penyair, meyakini bahwa puncak kemenangan bulan ramadhan adalah terhapusnya kesalahan dosa yang telah diperbuat, baik secara teosentris maupun antroposentris. Kehadiran puisi islami menjadi bukti para penyair turut merayakan bulan suci ramadhan. Dengan sastra islami, para penyair berambisi dakwah demi meningkatkan tauhid umat Muslimin.   

Kamis, 16 Mei 2019

Masjid Penuh Politik
 
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru (1998) telah menandai munculnya berbagai gerakan Islam fundamentalis di Indonesia. Gerakan Islam tersebut kian tersebar dan memperoleh kebebasan sejak diawalinya era Reformasi. Gerakan Islam itu telah membawa ideologi-ideologi dalam mewarnai corak Islam radikal di negeri ini. Seringkali keberagamaan pemahaman Islam yang berbeda malah menjadikan Islam semakin runyam. Kepelikan gerakan Islam mutakhir dalam menafsirkan agama, politik, dan kebudayaan telah membawa pengaruh besar dalam sikap kurangnya saling menghargai. Dampaknya terjadilah perdebatan dan konflik sesama Muslim. Hal ini lantaran tidak adanya sikap saling moderat dalam menyikapi perbedaan.
            
Mafhum, gerakan Islam fundamentalis telah menjadi paham Islam yang seringkali tidak mempertimbangkan toleransi sesama manusia dalam beragama. Paham Islam keras tersebut telah membawa doktrin agama kembali pada penafsiran al-Qur’an dan Hadits namun secara tekstual tanpa melihat konteks. Penganut wabah Islamiah inilah yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan demokrasi dalam bermasyarakat dan bernegara.
             
Dalam hal ini, tentu yang menjadi titik perenungan dalam beragama pada era modern adalah etika dan perilaku diri sendiri dalam menjalankan perintah agama secara kolektif. Dalam konsep ilmu teologis, semestinya kita patut memilah-memilih untuk menentukan keislaman yang kita yakini. Islam yang kita pahami, sudahkan  dapat bersosial dan berinteraksi dengan berperilaku saling menghargai dan menghormati? Inilah seharusnya yang perlu diperhatikan oleh masyarakat Muslim tatkala beragama!   

Gerakan Masjid
            
Kita pun dapat mengetahui dan melacak, bahwa pasca Orde Baru, kebebasan mengawali adanya penganut Islam fundamentalis tersebut kebanyakan bergerak ke dalam ruang civitas akademik dan ruang politik. Gerakan Islam itu telah diusung oleh sebagian para mahasiswa dalam menentukan nasib politik. Di civitas akademik, perkembangan Islam fundamentalis dapat kita temukan di berbagai masjid kampus dalam mensyiarkan gerakan dakwah.

Pergolakan dakwah di masjid kampus dari masa ke masa seakan menjadi ruang kebebasan dalam memainkan peran organisasi dan ideologi. Hal itu lantaran sebagian organisasi mahasiswa menganggap bahwa masjid dapat memberikan ruang untuk kajian Islam secara rutin dengan menyebarkan doktrin Islam konservatif. Masjid yang dahulunya berfungsi sebagai ruang dialog keberagamaan, kini menjadi ruang legitimasi kepentingan kelompok Islam tertentu dalam menyebarkan ajaran untuk mencari massa.  
             
Kita dapat melihat liputan khusus berjudul Muslim Konservatif Saleh atau Salah? di Majalah Tempo, 19-25 Juni 2017. Di majalah Tempo terpaparkan gerakan Islam konservatif terus berkembang di masjid kampus Negeri dan Islam pada era modern. Di masjid raya Universitas Padjadjaran misalnya, adalah salah satu tempat penyebaran pemahaman Islam “Gema Pembebasan” yang tumbuh subur. Gerakan Islam tersebut diketahui oleh Raihan, salah seorang mahasiswa yang sedang mengikuti kegiatan pelatihan jurnalistik. Ia menjelaskan secara gamblang bahwa Dakwahpos.com adalah media internal gerakan Islam konservatif dalam menyebarkan doktrin Islam terhadap para mahasiswa. Raihan lalu mengetahui organisasi tersebut adalah afiliasi dari kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ia memutuskan meninggalkan pelatihan tersebut lantaran tidak sejalan dengan metode ajaran Islam yang telah diberikan.
             
Menurut Raihan, hampir semua pengurus dari lembaga tersebut adalah aktivis Lembaga Studi Pemikiran Islam (LSPI). LSPI adalah sayap resmi dari kelompok Islam HTI yang sengaja dikhususkan untuk menyasarkan doktrin terhadap mahasiswa. Doktrin yang paling fenomenal dan bertentangan dengan negera pancasila dan demokrasi adalah menyebarkan pemahaman “khilafah islamiyah” di Indonesia. Doktrin itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai dasar pancasila dan demokrasi dalam menjalani kehidupan bermasyarakat pluralis dan beragam. Maka gerakan Islam yang menginginkan perubahan dasar negara menjadi negara Islam tersebut wajar apabila dibubarkan oleh Presiden. Doktrin tersebut jelas dapat mengancam kedaulatan berbangsa dan bernegara.

Muslim Negarawan



             
Dahulu pernah terjadi gerakan perlawanan para mahasiswa angkatan 98 melalui masjid kampus. Namun gerakan Islam itu hanya membahas persoalan politik dari mahasiswa di Indonesia. Maka, selain gerakan politik HTI yang radikal di masjid, kita juga dapat menjumpai gerakan politik itu dalam buku Andi Rahmad & Mukhammad Najib berjudul Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus (2001). Buku yang ditulis oleh para aktivis KAMMI tersebut memberikan informasi kesejarahan pembentukan organisasi dan aksi demonstrasi yang pernah dilakukan pada masa Orde Baru. Peran masjid menjadi kepentingan untuk ruang rapat dan pengumpulan massa yang ingin melengserkan Soeharto dengan aksi demonstrasi.
             
Pada masa itu para aktivis KAMMI menilai, ketidakadilan terhadap rakyat yang merajalela perlu menunjukkan aksi pembelaan dalam kepentingan bersosial. Perlawanan yang terbentuk dari masjid kampus itu telah menjadikan gerakan Islam berideologi kanan semakin kuat. Mereka menanamkan berbagai doktrin politik dengan tetap menerima demokrasi demi melegitimasi pengembangan organisasi. Organisasi telah menjadi lebih besar dengan adanya kerjasama antar beberapa kampus dengan keseragaman pemahaman.
            
Buku itu telah mengisahkan kesejarahan tentang corak politik KAMMI dan LDK di kampus. Organisasi yang tidak melepaskan tradisi pengajian di masjid memang menjadi gerakan pembaharuan Islam dengan misi berpolitik. Kita dapat mengetahui dengan adanya simbol “Muslim negarawan.” Ungkapan tersebut telah menjelaskan gerakan organisasi tersebut bukan mengacu kepada ranah keilmuan namun lebih kepada merubah sistem pemerintahan. Selain itu, kita dapat mendengarkan ungkapan salah satu aktivis bernama Eep Saefullah Fatah. “Masjid adalah simbol primordial yang kini memperoleh ruang yang sama amannya dengan kampus. Saat ini, masjid merupakan suatu tempat di mana kalangan Islam sedang diberi ruang untuk berpolitik (hlm.83).”
             
Kini kita telah mengetahui bahwa perubahan fungsi masjid sudah tidak mampu memberikan diskursus keilmuan dalam menyikapi banyaknya perbedaan pemahaman pada era modern. Maka, sejak gerakan Islam fundamentalis masuk ke Indonesia dengan membawa doktrin agama merubah fungsi masjid secara komunal dalam struktur sosial. Kita telah memasuki era penuh konflik, tuduhan, dan cacian terhadap kelompok Islam lain tatkala terjadi perbedaan pemahaman.
  
Maka, di era modern ini, kita semestinya patut waspada dalam memaknai dan mempelajari persoalan agama. Perkembangan Islam mutakhir kebanyakan telah membawa berbagai kepentingan yang bukan untuk memajukan Islam. Padahal Islam yang dibawa oleh Muhammad bukanlah sebuah risalah penebar kebencian dan tamak akan kekuasaan. Tetapi Islam yang mampu menanamkan sikap toleransi dan saling menghargai sesama manusia meski terkadang banyak perbedaan. (*)


           
           
           

Rabu, 15 Mei 2019


Santri itu Novelis

 

Pada 1955-1965, Djamil Suherman banyak menulis tentang kebudayaan pesantren di Indonesia. Tulisan-tulisan itu pernah bersebaran di berbagai Majalah Kisah, Sastera, Indonesia, Budaya, Mimbar Indonesia, dan Siasat (Gelanggang). Hidup dan dibesarkan di lingkungan pesantren, membuat gagasan Djamil Suherman sering menarasikan sastra Islam, kebudayaan lokal, dan nasionalisme di berbagai karya sastranya. 

Gagasan tersebut dapat kita simak di beberapa karangan prosa maupun puisi yang pernah terbit di Indonesia. Beberapa prosa Perjalanan Ke Akhirat (1985), Sakerah (1985), Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984), dan kumpulan puisi Nafari (1983), Kabar Dari Langit (1988) kebanyakan menyoalkan isu-isu agama tahun 1980-an. Karya tersebut diterbitkan oleh penerbit Pustaka. Pada masa itu penerbit Pustaka bermisi dan berambisi mencetak buku-buku agama. Kehadiran karya prosa maupun puisi itu kini menjadi bukti keberhasilan Djamil Suherman mendokumentasikan historigrafi tentang tradisi pesantren tradisional lewat pengalamannya sebagai santri.

Di antara berbagai karya Djamil Suherman, yang membahas kesejarahan pendidikan di pesantren adalah Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984). Prosa ini mengisahkan pergolakan para kyai dan santri sejak masa kolonialisme di Indonesia. Narasi Djamil Suherman dalam prosa tersebut tidak lepas dari sikap nasionalisme yang dilakukan santri dan kyai. Mereka memperjuangkan tanah air dengan darah dan tenaga demi membela penggusuran tanah oleh pasukan kompeni (gubernemen) secara paksa.
            
Tokoh-tokoh yang dibentuk oleh Djamil Suherman untuk memperjuangkan tanah air begitu realistis. Kyai Mukmin selaku sesepuh di pesantren Gedangan di pinggiran  kali Pepe, menjadi pemangku kebijakan yang memiliki otoritas dalam menentukan sikap, peraturan, dan kekuatan bagi para santri. Kyai menjadi tokoh penting sebagai pedoman dalam mempertimbangkan persoalan agama dan sosial. Maka, ketika kebijakan dari gubernemen memerintahkan untuk mengosongkan tanah di pesantren, kyai Mukmin engan menerima dan memilih melaksanakan jihad (kombatif) demi mempertahankan pesantren, kebudayaan, dan tradisi norma sosial.
            
Keputusan jihad sang kyai Mukmin mempengaruhi para santri mengikuti jejak sang kyai. Ratusan santri yang dipimpin Muhammad, Asad, Umar, Ismail, dan Ridwan hanya berbekal senjata tradisional bambu dan panah. Mereka merasakan tekanan serta kobaran semangat membela tanah air demi menjaga tanah pesantren. Pertempuran dan penggusuran telah menyisakan darah dan kehancuran. Kyai Mukmin dan para santri banyak yang gugur dalam pertempuran melawan pasukan kolonial demi membela agama, pesantren dan tanah air.

Mengingat 




Narasi Djamil Suherman dari karya-karyanya mengingatkan kita pada kesadaran membela tanah air sebagai petisi menyebarkan dakwah agama. Lewat santri dan kyai, kita diajak untuk mengingat kembali perjuangan dari kisah masa lalu pesantren yang kelam. Meski kini pesantren telah menjadi ruang pendidikan mengalami modernisasi, namun beberapa pesantren tradisional masih menerapkan pendidikan kebudayaan lokal. Gagasan Djamil Suherman memang ingin membahas betapa pentingnya kesadaran kebudayaan lokal pada lingkup pendidikan. Maka bila kita mencermati dalam karya-karyanya, selain mengangkat persoalan nasionalisme, Djamil turut menyisipkan masalah sosial-budaya yang ada dalam kehidupan pesantren.
            
Mulai dari kisah kehidupan rutinitas santri, kisah asmara, silat, ngaji kitab, dan sholawat menjadi cara Djamil untuk menggambarkan kehidupan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi menyebarkan dakwah agama dengan kebudayaan. Kesadaran Djamil Suherman pada prosa maupun puisinya tidak pernah menyinggung persoalan politik di pesantren. Ia memang menjauhkan persoalan politik dari ranah pendidikan pesantren. Hal itu begitu jelas ketika Jalaluddin Rakhmat memberikan kata pengantar di novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984).
             
Jalaluddin Rakhmat merasakan perubahan peradaban sistem pendidikan di pesantren mulai tampak sejak tahun 1980-an. Dahulu Jalaluddin Rakhmat sangat mengagumi tokoh kyai dan santri akan kesederhanaan dan ketaatan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada masa lalu. Namun Jalaluddin merasakan dilematis terhadap pesantren yang kini mengalami legitimasi politik hingga berdampak kurangnya kesadaran menjaga tradisi pendidikan Islam dan kebudayaan lokal. Hal itu terjadi lantaran peran kyai dan santri di pesantren memiliki kesibukan berlipat, mengajarkan ilmu dan berpolitik. Kehadiran partai politik di lingkungan pesantren untuk mendapatkan suara tentu sangat mempengaruhi orientasi paradigma pembelajaran di pesantren.
            
Kita bisa melacak kehadiran partai politik yang memperebutkan suara pesantren di Majalah Tempo edisi 21 Februari 1987. Partai politik Golkar dan PPP saling berebut suara di berbagai pesantren NU untuk memenangkan Pemilu 1980-an. Fenomena beralihnya orientasi politik beberapa pesantren NU di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur memilih Golkar disebabkan kekecewaan terhadap ulah pemimpin PPP yang tidak mampu memberikan kesejahteraan pesantren.
            
Hal tersebut dimanfaatkan oleh Sudharmono selaku Ketua Umum DPP Golkar untuk mendapatkan suara dari pesantren NU. Suara dari beberapa pesantren yang telah menerima Golkar salah satunya dari Roudlotun Nasyi’in, Berak Kulon, Mojokerto. Pernyataan itu disampaikan oleh Syihabul Irfan, putra K.H. Mohammad Arif yang mengatakan Golkar lebih banyak memberikan bantuan yang menguntungkan pada umat Islam. Keberhasilan Golkar dalam Pemilu 1980-an, telah tercatat oleh Departemen Agama (1982) bahwa di seluruh Indonesia hampir 5.000-an pesantren telah berhasil memilih partai beringin.
            
Kehadiran misi politik di lembaga pendidikan pesantren tidak pernah disinggung oleh Djamil Suherman dalam karya sastranya. Meski realitasnya kebanyakan pesantren memiliki misi politik, Djamil sebagai seorang santri seolah engan terlibat dalam manifestasi politik pesantren. Ia lebih menerima bahwa pesantren hanya sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang mampu mengajarkan, kisah nasionalisme, kebudayaan lokal, dan norma-norma sosial. Kesadaran itu yang terasa Djamil ungkapkan kepada masyarakat Indonesia dan para pembaca sastra. 



Pernah terbit di Alif.id


Selasa, 07 Mei 2019


Menyimak Puisi untuk Bebatuan

Pada 1950-1960-an, para penyair rajin menulis tentang batu dalam puisi. Puisi tentang bebatuan itu banyak menyoroti berbagai aspek religiositas, sosial, keluarga, dan kebudayaan di Indonesia. Mafhum, di Indonesia batu banyak memiliki beragam cerita legenda, mitos, dan berbagai arkeologi peninggalan sejarah. Batu memiliki kekuatan, sakralitas, dan tradisi nenek moyang yang seringkali perlu dirituali. Namun pandangan beberapa para penyair Indonesia dalam mengisahkan batu hanya menyangut perihal religiositas keluarga dan kebudayaan dalam teks sastra.
           
Kita bisa mencermati kumpulan puisi Sitor Situmorang berjudul Wajah Tak Bernama (1955). Dalam puisi berjudul Bunga Batu, Sitor tampak mengisahkan kesedihan, ratapan, dan religiositas dari bebatuan. “Kurasa kau tahu, lebih dari lagu/ Kebisuan lebih berkata dari duka/ Karena ditinggalkan ia maka setia/ Pengetahuan, lama sudah membatu/ Kini diatasnja tumbuh bunga/ Indah seindah raut wadjahmu/ Semerbak kenangan sepahit empedu/ Darah hitam jang mewarnai djiwa/ Seribu tahun sebelum kita dan nanti/ Dari dalam tanah orang menggali/Wadjah tertera pada lapisan batu/ Bergaris tjerita mati-masih terharu//
            
Sitor menarasikan batu demi mengingat kematian. Batu-batu menjadi saling berkaitan makna demi menceritakan kehidupan, ilmu pengetahuan, dan ingatan kematian. Batu dalam puisi Sitor menjadi begitu realistis tatkala batu itu dijadikan peletak nisan dalam kuburan. Tradisi peletakan batu nisan itu telah dipahami masyarakat dan menjadi kebudayaan di Indonesia sejak masa kolonial.  
           
Tradisi peletakan batu nisan itu dapat kita jumpai saat kita berziarah ke makam. Berbagai bebatuan menjadi penanda bahwa orang perlu mengingat kematian. Ingatan dengan berziarah semestinya menambah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Hal itu yang dirasakan oleh penyair Piek Ardijanto Soeprijadi dalam kumpulan puisinya berjudul Biarkan Angin Itu (1996). Soeprijadi menulis puisi berjudul Ziarah;sebentar berdiri di samping nisan ayah di makan di kaki gunung begini sunyi/ memandang sekeliling bergoyangan bulir padi bernas runduk terbuai angin semilir/ mekar kenangan pada peristiwa setahun lalu/ di awal musim hujan ayah masih berjemur dalam lumpur”//
           
Puisi Soeprijadi mengingatkan orang untuk berziarah, terutama kepada makam orangtua. Keimanan Soeprijadi begitu terasa tatkala mengingatkan masa lalunya bersama ayahnya dalam puisi. Maka puisi-puisi Soeprjadi menjadi lantunan-lantunan doa kepada ayahnya sebagai amal jariyah tatkala orang-orang membaca puisi-puisinya. Kisah ziarah dalam puisi tersebut  mengingatkan kita akan kematian, keimanan, amal ibadah, dan kerendahan hati manusia kepada Tuhan. 

Pergeseran Paradigma
          
Namun kisah batu nisan, ziarah, sejak masa Orde Baru mengalami pergeseran paradigma secara kultur sosial. Masyarakat Indonesia terlanjur gemar membangun kijing (batu nisan) namun kurang gemar untuk ziarah mendoakan para leluhur. Hal tersebut yang pernah dikritik oleh Iwan Simatupang dalam novel berjudul Ziarah (2017). Iwan mengisahkan masyarakat kotapraja yang gemar membangun kijing pada makam orangtua atau sanak keluarga. Orang-orang hanya mementingkan membangun kijing sebagai penanda tanpa memikirkan dampak dari pembangunan tersebut.
          
Akhirnya, kijing-kijing itu memenuhi lahan kuburan di kotapraja. Walikota begitu dilematis ketika banyak orang yang meninggal tapi lahan kuburan terlanjur habis untuk pembangunan kijing. Keputusan terberat pun diambil oleh walikota. Punggusuran pun akhirnya menjadi solusi dalam masalah kehabisan lahan kuburan di kotapraja. Kritik Iwan terhadap tradisi pembangunan kijing begitu realistis, ketika tradisi pembangunan kijing begitu melimpah. Di Jawa, entah di kota maupun desa, orang-orang terlanjur menjunjung tradisi membangun kijing tersebut.
          
Kijing dalam kritik Iwan seolah tidak mampu menambah keimanan, mengingat kematian, atau mengingat Tuhan. Hal itu disebabkan, kijing hanyalah sebagai formalis dan bukan sebagai sarana ziarah yang mampu memberikan sakralitas doa dan mengingat kematian. Kita sungguh memahami, bahwa pembuatan kijing sekarang sudah dilengkapi berbagai aksesoris seperti: rumah, pagar, dan atap. Pergeseran pemaknaan inilah yang menyebabkan kijing kini hanya menunjukan kelas identitas sosial (kaya-miskin) di berbagai kuburan desa dan kota.
             
Dari berbagai teks sastra puisi tersebut, terutama batu memang memiliki peran penting dalam menumbuhkan religiositas kehidupan sosial. Mulai dari kebudayaan masyarakat sampai pada keluarga, batu menjadi pengingat pada sang pencipta. Seperti puisi-puisi Amir Hamzah dalam buku Njanji Sunji (1969) yang memberikan narasi batu, agama dan keluarga. “Diam ibu berpikir pandjang/ Lupa anak menangis hampir/ Kalau begini susahnja hidup/ Biar ditelan batu bertangkup/ Menjahut ibu sambil tersedu/ Melagu langsing suara susah:/ Batu belah batu bertangkup/ Batu tepian tempat mandi/ Insja Allah tiadaaku takut/sudah demikian kuperbuat djandji.”
          
Puisi Amir Hamzah berjudul Batu Belah tersebut lebih memberikan pemahaman religiositas keluarga tentang makna kehidupan. Ibu menjadi tokoh penting dalam kehidupan demi memberi kekuatan serta dukungan moral. Peristiwa itulah yang tampaknya dialami Amir semasa menjadi bocah. Batu mengingatkan kenangan pada religiositas keluarga. Dari puisi-puisi inilah, kita semakin mengerti bahwa batu bukan hanya sekedar benda biasa untuk kehidupan umat manusia. Namun dari puisi-puisi bebatuan tersebut kita dapat memahami, bahwa para penyair selalu menjadikan batu sebagai pengingat peristiwa-peristiwa yang mampu meningkatkan keimanan kepada Tuhan.


Pernah dimuat di Suara Merdeka, 25 November 2018