Toko buku dan Penerbit Islam
Beberapa
waktu lalu, di Gladak (toko buku bekas) kedatangan buku-buku keislaman yang berstempel perpustakaan
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang. Buku keislaman yang berusia
puluhan tahun tersebut mengalami nasib yang memprihatinkan. Buku-buku itu
dijual oleh pihak perpustakaan atau oknum-oknum tertentu secara kilo-an
(murah-meriah) di Gladak Solo.
Kondisi buku kusam, sobek, beberapa
halaman buku hilang (cacat), dan buku terbitan masa lalu, tampaknya menjadi penyebab
penjualan buku oleh pihak perpustakaan. Penjualan buku-buku keislaman di Gladak
bisa jadi atas dalih ketidaklayakan pakai dan kuno. Mafhum, kehadiran buku keislaman itu
telah membuat saya cemas bercampur
gembira. Kecemasan saya terjadi ketika saya harus berhutang pada pelapak
demi mendapatkan buku. Saya nekat berhutang supaya dapat memahami pengaruh buku
Islam dalam kultur akademik pada abad ke-20
di Indonesia.
Berhutang demi membeli buku seolah menjadi kebiasaan yang
lumrah. Hal itu disebabkan penjualan
buku bekas di Gladak begitu murah. Harga buku berkisar mulai dari Rp. 15.000
sampai Rp. 30.000 per-buku. Perundingan selalu
saya lakukan untuk memperoleh buku dengan harga yang wajar. Usai mengamati
beberapa tumpukan buku di Gladak,
saya memilih berbagai judul dari satu penerbit
untuk meneliti konseptualisasi pemikiran Islam dari buku-buku Islam yang
diterbitkan.
Maka, buku-buku keislaman itu saya anggap penting untuk
dimiliki dan dipelajari. Pada masa lalu, penerbit Bulan Bintang adalah penerbit
buku keislaman yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu agama sebagai
gerakan pembaharuan. Selain itu, buku Bulan Bintang juga menjadi sumber rujukan
penting di universitas untuk mempelajari teologi sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan.
Pada abad ke-20, buku terbitan Bulan Bintang
memang merupakan akar gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Buku-buku itu pada masa lalu sebagai
rujukan untuk mengembangkan pemikiran Islam untuk diajarkan perguruan tinggi
umum maupun perguruan tinggi Islam di
Indonesia. Melalui buku itu, kita dapat mengetahui upaya kaum modernis yang
berhasil mengembangkan konsep teologi sebagai dasar metode pembelajaran
teknologi, ekologi dan astronomi.
Modernisasi keilmuan tersebut dapat
kita amati dan cermati dari berbagai buku keislaman yang banyak membahas
persoalan pemikiran Islam, filsafat Islam, dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Buku-buku itu ditulis oleh cendikiawan
Muslim Indonesia dan luar negeri, seperti Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (1976), Ahmad Amin, Ethika (ilmu akhlak) (1977), Oemar Amin Hosein, Filsafat Islam (1975), M. Rasjidi, Filsafat Agama (1975), Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (1973), Dasar-Dasar Agama Islam: Buku Teks
Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (1984), dan lain-lain.
Semua
buku keislaman tersebut
pada masa lalu menjadi rujukan dalam
perkuliahan. Buku itu menjadi bacaan
penting oleh mahasiswa tatkala sedang
mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Hal itu dapat saya ketahui ketika membaca buku
Dasar-Dasar Agama Islam: Buku Teks
Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (1984). Buku ini menjadi refesensi utama untuk
mata kuliah dasar-dasar agama Islam I-II. Selain itu, buku ini juga telah
ditetapkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia pada 2 Maret 1983 dengan nomor;
Kep/E/P.P.00.1o/50a/’83 sebagai bacaan wajib para mahasiswa.
Tujuan adanya mata kuliah yang bersumber dari
buku wajib ini tentu supaya
para mahasiswa mampu memahami dan menghayati aspek-aspek yang berhubungan
dengan makhluk, melaksanakan ajaran agama Islam, meningkatkan keimanannya
terhadap Khaliq, dan melaksanakan syari’at Islam. Dahulu, setiap pertemuan perkuliahan
terdapat materi pembahasan yang sistematis dalam pembelajaran yang menumbuhkan nilai religiositas.
Meski buku itu berusai puluhan
tahun, tidak semestinya kita mengabaikan kajian keilmuannya. Buku lawas juga
perlu dilestarikan karena memiliki kesejarahan keilmuan yang dapat memberikan
konteks latar sosial, metode pembelajaran agama, dan bahan dialog keilmuan
Islam muthakir.
Gerakan Pembaharuan
Kesejarahan buku Bulan Bintang
terekam di majalah Tempo edisi 8
Oktober 1977. Di majalah Tempo,
meliput lahirnya buku-buku Bulan Bintang yang sangat mempengaruhi pola
pendidikan agama di Indonesia. Abdul Manaf El Zamzami (Amelz) dan Amran Zamzami
selaku adik Amelz, adalah pendiri penerbit buku keislaman tersebut.
Sejak 1951 sampai 1956, penerbit
Bulan Bintang sudah berhasil mengeluarkan 1.188 judul buku (termasuk cetak
ulang) dan ada 499 judul yang tidak cetak ulang. Buku-buku yang dicetak masa
lalu bersubjek seperti Tafsir Alquran,
Hadis, Pendidikan, Sejarah, Tauhid,
Filsafat, dan Psikologi. Buku-buku keislaman
tersebut
sebagai referensi pembelajaran di madrasah dan
Perguruan Tinggi.
Dari perusahaan keluarga
(penerbitan) yang didirikan Amelz dan Amran di daerah Kramat Kwitang Jakarta,
telah diakui sebagai salah satu penyumbang bacaan terpenting, khususnya bagi masyarakat Muslim di Indonesia.
Bulan Bintang juga diakui sebagai penerbit “Benteng Islam” di dunia perbukuan
yang menjauhkan diri dari unsur politik. Hal itu telah diakui Ali Audah, Yunan
Helmy Nasution, dan H.M. Baharthah selaku direktur penerbit buku Al-Ma’arif di Bandung.
H.M.
Baharthat mengatakan bahwa buku Bulan Bintang pada masa lalu adalah sumber
bacaan yang berbiaya mahal. Selain itu, Ali Audah juga menambahkan, bahwa buku Bulan Bintang pada masa
lalu memang diperuntukan bagi masyarakat golongan menengah ke atas.
Keberhasilan Bulan Bintang ini
ditandai dari berbagai penulis sekaligus cendikiawan Muslim kondang seperti,
Hamka, M. Yunan Nasution, Hasbi Ah-Shiddieqy, M. Natsir, Moh. Roem, Rasjidi, A.
Hasjmy, Zakiyah Daradjat dan Munawar Chalil.
Keberhasilan Bulan Bintang sebagai sarana dakwah umat Muslim telah memberikan
pengaruh komprehensif dalam ajaran Islam di Indonesia.
(Mantul)mantab betul guss..di gladak masih ada nggak bukunya?
BalasHapusMasih ustad, besuk harap dihabiskan :D
BalasHapus