Sabtu, 25 Mei 2019

Puisi Merayakan Ramadhan


Beberapa penyair pernah menyambut kedatangan bulan ramadhan dengan syair puisi di Majalah Islam; Suara Muhammadiyah. Kehadiran puisi islami di Majalah Suara Muhammadiyah, pada 1980-an menandai kebangkitan sastra Islam pada konteks sosial-budaya di Indonesia. Momentum bulan ramadhan di masa 80-an, telah membawa berkah perkembangan kebudayaan atas lahirnya puisi islami sebagai sarana dakwah di Majalah Islam tertua di Indonesia itu.
            
Parafrase puisi-puisi islami di Majalah Suara Muhammadiyah  mengingatkan umat Muslim untuk memahami esensi keimanan serta ketakwaan di bulan ramadhan. Mafhum, selama satu bulan, umat Muslim berkewajiban menjalani perintah agama (Islam) untuk berpuasa. Selain itu, umat Muslim turut menjalani ibadah sunnah demi memperoleh pahala yang melimpah. Peristiwa ini dapat kita mencermati tatkala anak-anak, orangtua, pemuda, melaksanakan salat tarawih, dzikir, dan tadarus bersama di masjid kota-kampung.
            
Momentum merayakan ramadhan memang seringkali mengalami perubahan dalam tataran sosial-budaya yang cukup beragam baik di kota dan desa. Salah satunya, seperti keberhasilan para penyair Yogyakarta memilih merayakan ramadhan  dengan berpuisi. Pada bulan ramadhan 1989, di Majalah Suara Muhammadiyah edisi Mei 1989, memuat puisi Luthfi Rachman yang berjudul Ramadhan Indah. Kita bisa simak; “Ramadhan indah/ melepas sepi menuruni lembah nenek moyang/ di masjid anak-anak menyulam iman/ orang-orang tua keluh mencoreng purnama/ keningnya luka sukmanya bengkak/ angin basah menembus pucuk setia/kecuali menelan puasa mendekap firman-Nya.”
            
Puisi Luthfi  memiliki parafrase dan estetika teologi bercampur kritik sosial. Kehadiran ramadhan seringkali menjadi landasan orang-orang untuk tekun beribadah. Namun, pasca ramadhan, umat Muslim  terkadang melupakan tugas sebagai pendakwah yang senantiasa memakmurkan masjid sebagai tempat musyawarah untuk berdakwah. Dari puisi Luthfi ini kita bisa menyimak, bahwa Luthfi menyebut anak-anak, orang-orang tua sebagai subjek untuk memetakan tingkat keimanan dan ketakwaan.
            
Dalam puisi, Luthfi menunjukkan anak-anak sedang tekun-tekunnya belajar Islam. Selain anak-anak, para orang tua turut berlomba mencari ampunan dan ridha ilahi. Tentu, hal ini menandakan puisi-puisi Luthfi merupakan bentuk narasi karya biografi dalam merayakan kehadiran ramadhan di masa lalu.
            
Selain parafrase, puisi Luthfi memang memiliki estetika-religiositas yang amat mendalam. Kita bisa menyimak bait puisi selanjutnya “Perempuan-perempuan tak punya dengki mengunyah dosa/ lembut berkiblat mengurai detik jantung/ bershaf-shaf tak berujung seperti angka/ bertasbih, bertahmid, bertakbir di atap langit/ di serambi rumah-Mu rakaat berakhir/ ya Allah, denyut udara bagai hampa tubuh/ ramadhan-Mu meluruskan akar-akar bumi/ Seperti bayi seperti bayi.”
           
Di bait ini, puisi-puisi Luthfi terasa sedang mendakwahkan konsep tauhid yang mampu memberikan justifikasi untuk kembali pada jalan kebenaran. Secara estetika serta gaya bahasa, puisi-puisi Luthfi memiliki metafor untuk melihat kesejarahan pergulatan sastra Islam yang  berkembang di masa itu. Perkembangan sastra Islam sebagai kritik sosial semacam ini semestinya menjadi acuan pelajaran umat Muslimin. Sehingga bila kita dipertemuan kembali dengan bulan ramadhan, puisi Luthfi dapat menjadi ingatan dakwah untuk intropeksi diri tentang pencapaian keimanan secara kolektif dan individual.

Kesadaran
            
Pada realitasnya, masjid-masjid saat bulan ramadhan dipenuhi umat Muslim menyeru dzikir, tahmid, dan takbir secara kolektif. Namun kita sering luput, bahwa pencapaian keimanan tidak hanya sekedar diukur dengan ibadah secara kolektif tetapi juga kesadaran secara individu. Peristiwa itu yang telah disadari oleh Mudiono Mukti Kholid dalam puisinya berjudul Dzikir di Majalah Suara Muhammadiyah edisi Juni 1987. “Hakikat dzikir/ memelihara kebesaran Allah/ selalu ada di dalam diri/ di setiap ruang dan waktu/ di dalam hati/ lidah dan langkah-langkah/ Dzikir/ adalah menjinakkan nafsu/ dan menghaluskan budi.”   
              
Puisi Mudiono bernada ajakan untuk mengingat Tuhan dengan berdzikir. Peristiwa ini pernah Mudiono lakukan sebagai bentuk ketakwaan secara individual. Makna berdzikir bagi Mudiono merupakan bentuk lantunan doa supaya memperoleh ketentraman hati serta pikiran. Dengan berdzikir, Mudiono merasa mampu menjinakan hawa nafsu dalam diri serta dapat membersihkan hati dari rasa iri dan dengki.
            
Berbagai puisi telah menandai, bahwa pergerakan puisi islami yang termuat Di Majalah Suara Muhammadiyah pada periode 1980-an menambah geliat sastra Islam sebagai bentuk siraman dakwah dari penyair. Puisi-puisi itu layak dijadikan panji dakwah  etika dan akhlak guna meningkatkan kembali konsep tauhid umat Muslim. Hikmah memahami konsep tauhid ini pernah disampaikan Dinullah Rayes dalam puisi berjudul Iedul Fitri di Majalah Suara Muhammadiyah edisi Mei 1992 saat takbir kemenangan. “Usai membakar noda dosa/ dalam ramadhan/ Kita pun kembali/ meraba jati diri kita: suci bersih/ bagai bayi lahir/ hari ini / Allah Maha Besar/ Adakah yang masih tercecer/ butiran ayat-Mu/ hingga tak menggetar/ lidah sukmaku?”
            
Puncak kemenangan serta kebahagian umat Muslim pada esensinya kembali fitri (suci-bersih) setelah selesai menjalankan kewajiban berpuasa. Dinullah sebagai penyair, meyakini bahwa puncak kemenangan bulan ramadhan adalah terhapusnya kesalahan dosa yang telah diperbuat, baik secara teosentris maupun antroposentris. Kehadiran puisi islami menjadi bukti para penyair turut merayakan bulan suci ramadhan. Dengan sastra islami, para penyair berambisi dakwah demi meningkatkan tauhid umat Muslimin.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar