Kamis, 16 Mei 2019

Masjid Penuh Politik
 
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru (1998) telah menandai munculnya berbagai gerakan Islam fundamentalis di Indonesia. Gerakan Islam tersebut kian tersebar dan memperoleh kebebasan sejak diawalinya era Reformasi. Gerakan Islam itu telah membawa ideologi-ideologi dalam mewarnai corak Islam radikal di negeri ini. Seringkali keberagamaan pemahaman Islam yang berbeda malah menjadikan Islam semakin runyam. Kepelikan gerakan Islam mutakhir dalam menafsirkan agama, politik, dan kebudayaan telah membawa pengaruh besar dalam sikap kurangnya saling menghargai. Dampaknya terjadilah perdebatan dan konflik sesama Muslim. Hal ini lantaran tidak adanya sikap saling moderat dalam menyikapi perbedaan.
            
Mafhum, gerakan Islam fundamentalis telah menjadi paham Islam yang seringkali tidak mempertimbangkan toleransi sesama manusia dalam beragama. Paham Islam keras tersebut telah membawa doktrin agama kembali pada penafsiran al-Qur’an dan Hadits namun secara tekstual tanpa melihat konteks. Penganut wabah Islamiah inilah yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan demokrasi dalam bermasyarakat dan bernegara.
             
Dalam hal ini, tentu yang menjadi titik perenungan dalam beragama pada era modern adalah etika dan perilaku diri sendiri dalam menjalankan perintah agama secara kolektif. Dalam konsep ilmu teologis, semestinya kita patut memilah-memilih untuk menentukan keislaman yang kita yakini. Islam yang kita pahami, sudahkan  dapat bersosial dan berinteraksi dengan berperilaku saling menghargai dan menghormati? Inilah seharusnya yang perlu diperhatikan oleh masyarakat Muslim tatkala beragama!   

Gerakan Masjid
            
Kita pun dapat mengetahui dan melacak, bahwa pasca Orde Baru, kebebasan mengawali adanya penganut Islam fundamentalis tersebut kebanyakan bergerak ke dalam ruang civitas akademik dan ruang politik. Gerakan Islam itu telah diusung oleh sebagian para mahasiswa dalam menentukan nasib politik. Di civitas akademik, perkembangan Islam fundamentalis dapat kita temukan di berbagai masjid kampus dalam mensyiarkan gerakan dakwah.

Pergolakan dakwah di masjid kampus dari masa ke masa seakan menjadi ruang kebebasan dalam memainkan peran organisasi dan ideologi. Hal itu lantaran sebagian organisasi mahasiswa menganggap bahwa masjid dapat memberikan ruang untuk kajian Islam secara rutin dengan menyebarkan doktrin Islam konservatif. Masjid yang dahulunya berfungsi sebagai ruang dialog keberagamaan, kini menjadi ruang legitimasi kepentingan kelompok Islam tertentu dalam menyebarkan ajaran untuk mencari massa.  
             
Kita dapat melihat liputan khusus berjudul Muslim Konservatif Saleh atau Salah? di Majalah Tempo, 19-25 Juni 2017. Di majalah Tempo terpaparkan gerakan Islam konservatif terus berkembang di masjid kampus Negeri dan Islam pada era modern. Di masjid raya Universitas Padjadjaran misalnya, adalah salah satu tempat penyebaran pemahaman Islam “Gema Pembebasan” yang tumbuh subur. Gerakan Islam tersebut diketahui oleh Raihan, salah seorang mahasiswa yang sedang mengikuti kegiatan pelatihan jurnalistik. Ia menjelaskan secara gamblang bahwa Dakwahpos.com adalah media internal gerakan Islam konservatif dalam menyebarkan doktrin Islam terhadap para mahasiswa. Raihan lalu mengetahui organisasi tersebut adalah afiliasi dari kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ia memutuskan meninggalkan pelatihan tersebut lantaran tidak sejalan dengan metode ajaran Islam yang telah diberikan.
             
Menurut Raihan, hampir semua pengurus dari lembaga tersebut adalah aktivis Lembaga Studi Pemikiran Islam (LSPI). LSPI adalah sayap resmi dari kelompok Islam HTI yang sengaja dikhususkan untuk menyasarkan doktrin terhadap mahasiswa. Doktrin yang paling fenomenal dan bertentangan dengan negera pancasila dan demokrasi adalah menyebarkan pemahaman “khilafah islamiyah” di Indonesia. Doktrin itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai dasar pancasila dan demokrasi dalam menjalani kehidupan bermasyarakat pluralis dan beragam. Maka gerakan Islam yang menginginkan perubahan dasar negara menjadi negara Islam tersebut wajar apabila dibubarkan oleh Presiden. Doktrin tersebut jelas dapat mengancam kedaulatan berbangsa dan bernegara.

Muslim Negarawan



             
Dahulu pernah terjadi gerakan perlawanan para mahasiswa angkatan 98 melalui masjid kampus. Namun gerakan Islam itu hanya membahas persoalan politik dari mahasiswa di Indonesia. Maka, selain gerakan politik HTI yang radikal di masjid, kita juga dapat menjumpai gerakan politik itu dalam buku Andi Rahmad & Mukhammad Najib berjudul Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus (2001). Buku yang ditulis oleh para aktivis KAMMI tersebut memberikan informasi kesejarahan pembentukan organisasi dan aksi demonstrasi yang pernah dilakukan pada masa Orde Baru. Peran masjid menjadi kepentingan untuk ruang rapat dan pengumpulan massa yang ingin melengserkan Soeharto dengan aksi demonstrasi.
             
Pada masa itu para aktivis KAMMI menilai, ketidakadilan terhadap rakyat yang merajalela perlu menunjukkan aksi pembelaan dalam kepentingan bersosial. Perlawanan yang terbentuk dari masjid kampus itu telah menjadikan gerakan Islam berideologi kanan semakin kuat. Mereka menanamkan berbagai doktrin politik dengan tetap menerima demokrasi demi melegitimasi pengembangan organisasi. Organisasi telah menjadi lebih besar dengan adanya kerjasama antar beberapa kampus dengan keseragaman pemahaman.
            
Buku itu telah mengisahkan kesejarahan tentang corak politik KAMMI dan LDK di kampus. Organisasi yang tidak melepaskan tradisi pengajian di masjid memang menjadi gerakan pembaharuan Islam dengan misi berpolitik. Kita dapat mengetahui dengan adanya simbol “Muslim negarawan.” Ungkapan tersebut telah menjelaskan gerakan organisasi tersebut bukan mengacu kepada ranah keilmuan namun lebih kepada merubah sistem pemerintahan. Selain itu, kita dapat mendengarkan ungkapan salah satu aktivis bernama Eep Saefullah Fatah. “Masjid adalah simbol primordial yang kini memperoleh ruang yang sama amannya dengan kampus. Saat ini, masjid merupakan suatu tempat di mana kalangan Islam sedang diberi ruang untuk berpolitik (hlm.83).”
             
Kini kita telah mengetahui bahwa perubahan fungsi masjid sudah tidak mampu memberikan diskursus keilmuan dalam menyikapi banyaknya perbedaan pemahaman pada era modern. Maka, sejak gerakan Islam fundamentalis masuk ke Indonesia dengan membawa doktrin agama merubah fungsi masjid secara komunal dalam struktur sosial. Kita telah memasuki era penuh konflik, tuduhan, dan cacian terhadap kelompok Islam lain tatkala terjadi perbedaan pemahaman.
  
Maka, di era modern ini, kita semestinya patut waspada dalam memaknai dan mempelajari persoalan agama. Perkembangan Islam mutakhir kebanyakan telah membawa berbagai kepentingan yang bukan untuk memajukan Islam. Padahal Islam yang dibawa oleh Muhammad bukanlah sebuah risalah penebar kebencian dan tamak akan kekuasaan. Tetapi Islam yang mampu menanamkan sikap toleransi dan saling menghargai sesama manusia meski terkadang banyak perbedaan. (*)


           
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar