Selasa, 07 Mei 2019


Menyimak Puisi untuk Bebatuan

Pada 1950-1960-an, para penyair rajin menulis tentang batu dalam puisi. Puisi tentang bebatuan itu banyak menyoroti berbagai aspek religiositas, sosial, keluarga, dan kebudayaan di Indonesia. Mafhum, di Indonesia batu banyak memiliki beragam cerita legenda, mitos, dan berbagai arkeologi peninggalan sejarah. Batu memiliki kekuatan, sakralitas, dan tradisi nenek moyang yang seringkali perlu dirituali. Namun pandangan beberapa para penyair Indonesia dalam mengisahkan batu hanya menyangut perihal religiositas keluarga dan kebudayaan dalam teks sastra.
           
Kita bisa mencermati kumpulan puisi Sitor Situmorang berjudul Wajah Tak Bernama (1955). Dalam puisi berjudul Bunga Batu, Sitor tampak mengisahkan kesedihan, ratapan, dan religiositas dari bebatuan. “Kurasa kau tahu, lebih dari lagu/ Kebisuan lebih berkata dari duka/ Karena ditinggalkan ia maka setia/ Pengetahuan, lama sudah membatu/ Kini diatasnja tumbuh bunga/ Indah seindah raut wadjahmu/ Semerbak kenangan sepahit empedu/ Darah hitam jang mewarnai djiwa/ Seribu tahun sebelum kita dan nanti/ Dari dalam tanah orang menggali/Wadjah tertera pada lapisan batu/ Bergaris tjerita mati-masih terharu//
            
Sitor menarasikan batu demi mengingat kematian. Batu-batu menjadi saling berkaitan makna demi menceritakan kehidupan, ilmu pengetahuan, dan ingatan kematian. Batu dalam puisi Sitor menjadi begitu realistis tatkala batu itu dijadikan peletak nisan dalam kuburan. Tradisi peletakan batu nisan itu telah dipahami masyarakat dan menjadi kebudayaan di Indonesia sejak masa kolonial.  
           
Tradisi peletakan batu nisan itu dapat kita jumpai saat kita berziarah ke makam. Berbagai bebatuan menjadi penanda bahwa orang perlu mengingat kematian. Ingatan dengan berziarah semestinya menambah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Hal itu yang dirasakan oleh penyair Piek Ardijanto Soeprijadi dalam kumpulan puisinya berjudul Biarkan Angin Itu (1996). Soeprijadi menulis puisi berjudul Ziarah;sebentar berdiri di samping nisan ayah di makan di kaki gunung begini sunyi/ memandang sekeliling bergoyangan bulir padi bernas runduk terbuai angin semilir/ mekar kenangan pada peristiwa setahun lalu/ di awal musim hujan ayah masih berjemur dalam lumpur”//
           
Puisi Soeprijadi mengingatkan orang untuk berziarah, terutama kepada makam orangtua. Keimanan Soeprijadi begitu terasa tatkala mengingatkan masa lalunya bersama ayahnya dalam puisi. Maka puisi-puisi Soeprjadi menjadi lantunan-lantunan doa kepada ayahnya sebagai amal jariyah tatkala orang-orang membaca puisi-puisinya. Kisah ziarah dalam puisi tersebut  mengingatkan kita akan kematian, keimanan, amal ibadah, dan kerendahan hati manusia kepada Tuhan. 

Pergeseran Paradigma
          
Namun kisah batu nisan, ziarah, sejak masa Orde Baru mengalami pergeseran paradigma secara kultur sosial. Masyarakat Indonesia terlanjur gemar membangun kijing (batu nisan) namun kurang gemar untuk ziarah mendoakan para leluhur. Hal tersebut yang pernah dikritik oleh Iwan Simatupang dalam novel berjudul Ziarah (2017). Iwan mengisahkan masyarakat kotapraja yang gemar membangun kijing pada makam orangtua atau sanak keluarga. Orang-orang hanya mementingkan membangun kijing sebagai penanda tanpa memikirkan dampak dari pembangunan tersebut.
          
Akhirnya, kijing-kijing itu memenuhi lahan kuburan di kotapraja. Walikota begitu dilematis ketika banyak orang yang meninggal tapi lahan kuburan terlanjur habis untuk pembangunan kijing. Keputusan terberat pun diambil oleh walikota. Punggusuran pun akhirnya menjadi solusi dalam masalah kehabisan lahan kuburan di kotapraja. Kritik Iwan terhadap tradisi pembangunan kijing begitu realistis, ketika tradisi pembangunan kijing begitu melimpah. Di Jawa, entah di kota maupun desa, orang-orang terlanjur menjunjung tradisi membangun kijing tersebut.
          
Kijing dalam kritik Iwan seolah tidak mampu menambah keimanan, mengingat kematian, atau mengingat Tuhan. Hal itu disebabkan, kijing hanyalah sebagai formalis dan bukan sebagai sarana ziarah yang mampu memberikan sakralitas doa dan mengingat kematian. Kita sungguh memahami, bahwa pembuatan kijing sekarang sudah dilengkapi berbagai aksesoris seperti: rumah, pagar, dan atap. Pergeseran pemaknaan inilah yang menyebabkan kijing kini hanya menunjukan kelas identitas sosial (kaya-miskin) di berbagai kuburan desa dan kota.
             
Dari berbagai teks sastra puisi tersebut, terutama batu memang memiliki peran penting dalam menumbuhkan religiositas kehidupan sosial. Mulai dari kebudayaan masyarakat sampai pada keluarga, batu menjadi pengingat pada sang pencipta. Seperti puisi-puisi Amir Hamzah dalam buku Njanji Sunji (1969) yang memberikan narasi batu, agama dan keluarga. “Diam ibu berpikir pandjang/ Lupa anak menangis hampir/ Kalau begini susahnja hidup/ Biar ditelan batu bertangkup/ Menjahut ibu sambil tersedu/ Melagu langsing suara susah:/ Batu belah batu bertangkup/ Batu tepian tempat mandi/ Insja Allah tiadaaku takut/sudah demikian kuperbuat djandji.”
          
Puisi Amir Hamzah berjudul Batu Belah tersebut lebih memberikan pemahaman religiositas keluarga tentang makna kehidupan. Ibu menjadi tokoh penting dalam kehidupan demi memberi kekuatan serta dukungan moral. Peristiwa itulah yang tampaknya dialami Amir semasa menjadi bocah. Batu mengingatkan kenangan pada religiositas keluarga. Dari puisi-puisi inilah, kita semakin mengerti bahwa batu bukan hanya sekedar benda biasa untuk kehidupan umat manusia. Namun dari puisi-puisi bebatuan tersebut kita dapat memahami, bahwa para penyair selalu menjadikan batu sebagai pengingat peristiwa-peristiwa yang mampu meningkatkan keimanan kepada Tuhan.


Pernah dimuat di Suara Merdeka, 25 November 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar