Menyimak Puisi untuk Bebatuan
Pada 1950-1960-an, para penyair rajin menulis tentang batu
dalam puisi. Puisi tentang bebatuan itu banyak menyoroti berbagai aspek
religiositas, sosial, keluarga, dan kebudayaan di Indonesia. Mafhum, di
Indonesia batu banyak memiliki beragam cerita legenda, mitos, dan berbagai
arkeologi peninggalan sejarah. Batu memiliki kekuatan, sakralitas, dan tradisi
nenek moyang yang seringkali perlu dirituali. Namun pandangan beberapa para
penyair Indonesia dalam mengisahkan batu hanya menyangut perihal religiositas
keluarga dan kebudayaan dalam teks sastra.
Kita bisa mencermati kumpulan puisi Sitor Situmorang
berjudul Wajah Tak Bernama (1955).
Dalam puisi berjudul Bunga Batu,
Sitor tampak mengisahkan kesedihan, ratapan, dan religiositas dari bebatuan. “Kurasa kau tahu, lebih dari lagu/ Kebisuan
lebih berkata dari duka/ Karena ditinggalkan ia maka setia/ Pengetahuan, lama
sudah membatu/ Kini diatasnja tumbuh bunga/ Indah seindah raut wadjahmu/
Semerbak kenangan sepahit empedu/ Darah hitam jang mewarnai djiwa/ Seribu tahun
sebelum kita dan nanti/ Dari dalam tanah orang menggali/Wadjah tertera pada
lapisan batu/ Bergaris tjerita mati-masih terharu//”
Sitor menarasikan
batu demi mengingat kematian. Batu-batu menjadi saling berkaitan makna demi
menceritakan kehidupan, ilmu pengetahuan, dan ingatan kematian. Batu dalam
puisi Sitor menjadi begitu realistis tatkala batu itu dijadikan peletak nisan
dalam kuburan. Tradisi peletakan batu nisan itu telah dipahami masyarakat dan
menjadi kebudayaan di Indonesia sejak masa kolonial.
Tradisi peletakan batu nisan itu dapat kita jumpai saat
kita berziarah ke makam. Berbagai bebatuan menjadi penanda bahwa orang perlu
mengingat kematian. Ingatan dengan berziarah semestinya menambah keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan. Hal itu yang dirasakan oleh penyair Piek Ardijanto Soeprijadi
dalam kumpulan puisinya berjudul Biarkan
Angin Itu (1996). Soeprijadi menulis puisi berjudul Ziarah; “sebentar berdiri di
samping nisan ayah di makan di kaki gunung begini sunyi/ memandang sekeliling
bergoyangan bulir padi bernas runduk terbuai angin semilir/ mekar kenangan pada
peristiwa setahun lalu/ di awal musim hujan ayah masih berjemur dalam lumpur”//
Puisi
Soeprijadi mengingatkan orang untuk berziarah, terutama kepada makam orangtua. Keimanan
Soeprijadi begitu terasa tatkala mengingatkan masa lalunya bersama ayahnya
dalam puisi. Maka puisi-puisi Soeprjadi menjadi lantunan-lantunan doa kepada
ayahnya sebagai amal jariyah tatkala orang-orang membaca puisi-puisinya. Kisah
ziarah dalam puisi tersebut mengingatkan
kita akan kematian, keimanan, amal ibadah, dan kerendahan hati manusia kepada
Tuhan.
Pergeseran Paradigma
Namun kisah batu nisan, ziarah, sejak masa Orde Baru mengalami
pergeseran paradigma secara kultur sosial. Masyarakat Indonesia terlanjur gemar
membangun kijing (batu nisan) namun kurang gemar untuk ziarah mendoakan para
leluhur. Hal tersebut yang pernah dikritik oleh Iwan Simatupang dalam novel
berjudul Ziarah (2017). Iwan mengisahkan
masyarakat kotapraja yang gemar membangun kijing pada makam orangtua atau sanak
keluarga. Orang-orang hanya mementingkan membangun kijing sebagai penanda tanpa
memikirkan dampak dari pembangunan tersebut.
Akhirnya, kijing-kijing itu memenuhi lahan kuburan di
kotapraja. Walikota begitu dilematis ketika banyak orang yang meninggal tapi
lahan kuburan terlanjur habis untuk pembangunan kijing. Keputusan terberat pun
diambil oleh walikota. Punggusuran pun akhirnya menjadi solusi dalam masalah kehabisan
lahan kuburan di kotapraja. Kritik Iwan terhadap tradisi pembangunan kijing
begitu realistis, ketika tradisi pembangunan kijing begitu melimpah. Di Jawa,
entah di kota maupun desa, orang-orang terlanjur menjunjung tradisi membangun
kijing tersebut.
Kijing dalam kritik Iwan seolah tidak mampu menambah
keimanan, mengingat kematian, atau mengingat Tuhan. Hal itu disebabkan, kijing
hanyalah sebagai formalis dan bukan sebagai sarana ziarah yang mampu memberikan
sakralitas doa dan mengingat kematian. Kita sungguh memahami, bahwa pembuatan
kijing sekarang sudah dilengkapi berbagai aksesoris seperti: rumah, pagar, dan
atap. Pergeseran pemaknaan inilah yang menyebabkan kijing kini hanya menunjukan
kelas identitas sosial (kaya-miskin) di berbagai kuburan desa dan kota.
Dari berbagai teks
sastra puisi tersebut, terutama batu memang memiliki peran penting dalam
menumbuhkan religiositas kehidupan sosial. Mulai dari kebudayaan masyarakat
sampai pada keluarga, batu menjadi pengingat pada sang pencipta. Seperti
puisi-puisi Amir Hamzah dalam buku Njanji
Sunji (1969) yang memberikan narasi batu, agama dan keluarga. “Diam ibu berpikir pandjang/ Lupa anak
menangis hampir/ Kalau begini susahnja hidup/ Biar ditelan batu bertangkup/ Menjahut
ibu sambil tersedu/ Melagu langsing suara susah:/ Batu belah batu bertangkup/
Batu tepian tempat mandi/ Insja Allah tiadaaku takut/sudah demikian kuperbuat
djandji.”
Puisi
Amir Hamzah berjudul Batu Belah
tersebut lebih memberikan pemahaman religiositas keluarga tentang makna kehidupan.
Ibu menjadi tokoh penting dalam kehidupan demi memberi kekuatan serta dukungan
moral. Peristiwa itulah yang tampaknya dialami Amir semasa menjadi bocah. Batu
mengingatkan kenangan pada religiositas keluarga. Dari puisi-puisi inilah, kita
semakin mengerti bahwa batu bukan hanya sekedar benda biasa untuk kehidupan
umat manusia. Namun dari puisi-puisi bebatuan tersebut kita dapat memahami,
bahwa para penyair selalu menjadikan batu sebagai pengingat peristiwa-peristiwa
yang mampu meningkatkan keimanan kepada Tuhan.
Pernah dimuat di Suara Merdeka, 25 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar