Rabu, 15 Mei 2019


Santri itu Novelis

 

Pada 1955-1965, Djamil Suherman banyak menulis tentang kebudayaan pesantren di Indonesia. Tulisan-tulisan itu pernah bersebaran di berbagai Majalah Kisah, Sastera, Indonesia, Budaya, Mimbar Indonesia, dan Siasat (Gelanggang). Hidup dan dibesarkan di lingkungan pesantren, membuat gagasan Djamil Suherman sering menarasikan sastra Islam, kebudayaan lokal, dan nasionalisme di berbagai karya sastranya. 

Gagasan tersebut dapat kita simak di beberapa karangan prosa maupun puisi yang pernah terbit di Indonesia. Beberapa prosa Perjalanan Ke Akhirat (1985), Sakerah (1985), Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984), dan kumpulan puisi Nafari (1983), Kabar Dari Langit (1988) kebanyakan menyoalkan isu-isu agama tahun 1980-an. Karya tersebut diterbitkan oleh penerbit Pustaka. Pada masa itu penerbit Pustaka bermisi dan berambisi mencetak buku-buku agama. Kehadiran karya prosa maupun puisi itu kini menjadi bukti keberhasilan Djamil Suherman mendokumentasikan historigrafi tentang tradisi pesantren tradisional lewat pengalamannya sebagai santri.

Di antara berbagai karya Djamil Suherman, yang membahas kesejarahan pendidikan di pesantren adalah Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984). Prosa ini mengisahkan pergolakan para kyai dan santri sejak masa kolonialisme di Indonesia. Narasi Djamil Suherman dalam prosa tersebut tidak lepas dari sikap nasionalisme yang dilakukan santri dan kyai. Mereka memperjuangkan tanah air dengan darah dan tenaga demi membela penggusuran tanah oleh pasukan kompeni (gubernemen) secara paksa.
            
Tokoh-tokoh yang dibentuk oleh Djamil Suherman untuk memperjuangkan tanah air begitu realistis. Kyai Mukmin selaku sesepuh di pesantren Gedangan di pinggiran  kali Pepe, menjadi pemangku kebijakan yang memiliki otoritas dalam menentukan sikap, peraturan, dan kekuatan bagi para santri. Kyai menjadi tokoh penting sebagai pedoman dalam mempertimbangkan persoalan agama dan sosial. Maka, ketika kebijakan dari gubernemen memerintahkan untuk mengosongkan tanah di pesantren, kyai Mukmin engan menerima dan memilih melaksanakan jihad (kombatif) demi mempertahankan pesantren, kebudayaan, dan tradisi norma sosial.
            
Keputusan jihad sang kyai Mukmin mempengaruhi para santri mengikuti jejak sang kyai. Ratusan santri yang dipimpin Muhammad, Asad, Umar, Ismail, dan Ridwan hanya berbekal senjata tradisional bambu dan panah. Mereka merasakan tekanan serta kobaran semangat membela tanah air demi menjaga tanah pesantren. Pertempuran dan penggusuran telah menyisakan darah dan kehancuran. Kyai Mukmin dan para santri banyak yang gugur dalam pertempuran melawan pasukan kolonial demi membela agama, pesantren dan tanah air.

Mengingat 




Narasi Djamil Suherman dari karya-karyanya mengingatkan kita pada kesadaran membela tanah air sebagai petisi menyebarkan dakwah agama. Lewat santri dan kyai, kita diajak untuk mengingat kembali perjuangan dari kisah masa lalu pesantren yang kelam. Meski kini pesantren telah menjadi ruang pendidikan mengalami modernisasi, namun beberapa pesantren tradisional masih menerapkan pendidikan kebudayaan lokal. Gagasan Djamil Suherman memang ingin membahas betapa pentingnya kesadaran kebudayaan lokal pada lingkup pendidikan. Maka bila kita mencermati dalam karya-karyanya, selain mengangkat persoalan nasionalisme, Djamil turut menyisipkan masalah sosial-budaya yang ada dalam kehidupan pesantren.
            
Mulai dari kisah kehidupan rutinitas santri, kisah asmara, silat, ngaji kitab, dan sholawat menjadi cara Djamil untuk menggambarkan kehidupan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi menyebarkan dakwah agama dengan kebudayaan. Kesadaran Djamil Suherman pada prosa maupun puisinya tidak pernah menyinggung persoalan politik di pesantren. Ia memang menjauhkan persoalan politik dari ranah pendidikan pesantren. Hal itu begitu jelas ketika Jalaluddin Rakhmat memberikan kata pengantar di novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984).
             
Jalaluddin Rakhmat merasakan perubahan peradaban sistem pendidikan di pesantren mulai tampak sejak tahun 1980-an. Dahulu Jalaluddin Rakhmat sangat mengagumi tokoh kyai dan santri akan kesederhanaan dan ketaatan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada masa lalu. Namun Jalaluddin merasakan dilematis terhadap pesantren yang kini mengalami legitimasi politik hingga berdampak kurangnya kesadaran menjaga tradisi pendidikan Islam dan kebudayaan lokal. Hal itu terjadi lantaran peran kyai dan santri di pesantren memiliki kesibukan berlipat, mengajarkan ilmu dan berpolitik. Kehadiran partai politik di lingkungan pesantren untuk mendapatkan suara tentu sangat mempengaruhi orientasi paradigma pembelajaran di pesantren.
            
Kita bisa melacak kehadiran partai politik yang memperebutkan suara pesantren di Majalah Tempo edisi 21 Februari 1987. Partai politik Golkar dan PPP saling berebut suara di berbagai pesantren NU untuk memenangkan Pemilu 1980-an. Fenomena beralihnya orientasi politik beberapa pesantren NU di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur memilih Golkar disebabkan kekecewaan terhadap ulah pemimpin PPP yang tidak mampu memberikan kesejahteraan pesantren.
            
Hal tersebut dimanfaatkan oleh Sudharmono selaku Ketua Umum DPP Golkar untuk mendapatkan suara dari pesantren NU. Suara dari beberapa pesantren yang telah menerima Golkar salah satunya dari Roudlotun Nasyi’in, Berak Kulon, Mojokerto. Pernyataan itu disampaikan oleh Syihabul Irfan, putra K.H. Mohammad Arif yang mengatakan Golkar lebih banyak memberikan bantuan yang menguntungkan pada umat Islam. Keberhasilan Golkar dalam Pemilu 1980-an, telah tercatat oleh Departemen Agama (1982) bahwa di seluruh Indonesia hampir 5.000-an pesantren telah berhasil memilih partai beringin.
            
Kehadiran misi politik di lembaga pendidikan pesantren tidak pernah disinggung oleh Djamil Suherman dalam karya sastranya. Meski realitasnya kebanyakan pesantren memiliki misi politik, Djamil sebagai seorang santri seolah engan terlibat dalam manifestasi politik pesantren. Ia lebih menerima bahwa pesantren hanya sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang mampu mengajarkan, kisah nasionalisme, kebudayaan lokal, dan norma-norma sosial. Kesadaran itu yang terasa Djamil ungkapkan kepada masyarakat Indonesia dan para pembaca sastra. 



Pernah terbit di Alif.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar