Santri itu Novelis
Pada 1955-1965, Djamil Suherman banyak menulis tentang
kebudayaan pesantren di Indonesia. Tulisan-tulisan itu pernah bersebaran di
berbagai Majalah Kisah, Sastera,
Indonesia, Budaya, Mimbar Indonesia, dan Siasat (Gelanggang). Hidup dan
dibesarkan di lingkungan pesantren, membuat gagasan Djamil Suherman sering menarasikan
sastra Islam, kebudayaan lokal, dan nasionalisme di berbagai karya sastranya.
Gagasan tersebut dapat kita simak di beberapa karangan
prosa maupun puisi yang pernah terbit di Indonesia. Beberapa prosa Perjalanan Ke Akhirat (1985), Sakerah (1985), Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984), dan kumpulan puisi Nafari (1983), Kabar Dari Langit (1988) kebanyakan menyoalkan isu-isu agama tahun
1980-an. Karya tersebut diterbitkan oleh penerbit Pustaka. Pada masa itu penerbit Pustaka bermisi dan berambisi mencetak buku-buku agama. Kehadiran karya prosa maupun puisi itu kini menjadi
bukti keberhasilan Djamil Suherman mendokumentasikan historigrafi tentang tradisi
pesantren tradisional lewat pengalamannya sebagai santri.
Di antara berbagai karya Djamil Suherman, yang membahas kesejarahan
pendidikan di pesantren adalah Pejuang-Pejuang
Kali Pepe (1984). Prosa ini mengisahkan pergolakan para kyai dan santri sejak masa
kolonialisme di Indonesia. Narasi Djamil Suherman dalam prosa tersebut tidak lepas
dari sikap nasionalisme yang dilakukan santri dan
kyai. Mereka memperjuangkan tanah air dengan darah dan tenaga demi membela penggusuran tanah oleh pasukan kompeni (gubernemen) secara paksa.
Tokoh-tokoh yang dibentuk oleh Djamil Suherman untuk
memperjuangkan tanah air begitu realistis. Kyai Mukmin selaku sesepuh di
pesantren Gedangan di pinggiran kali
Pepe, menjadi pemangku kebijakan yang memiliki otoritas dalam menentukan sikap,
peraturan, dan kekuatan bagi para santri. Kyai menjadi tokoh penting sebagai
pedoman dalam mempertimbangkan persoalan agama dan sosial. Maka, ketika
kebijakan dari gubernemen memerintahkan untuk mengosongkan tanah di pesantren,
kyai Mukmin engan menerima dan memilih melaksanakan jihad (kombatif) demi mempertahankan
pesantren, kebudayaan, dan tradisi norma sosial.
Keputusan jihad sang kyai Mukmin mempengaruhi para
santri mengikuti jejak sang kyai. Ratusan santri yang dipimpin Muhammad,
Asad, Umar, Ismail, dan Ridwan hanya berbekal senjata tradisional bambu dan
panah. Mereka merasakan tekanan serta kobaran semangat membela tanah air demi menjaga tanah
pesantren. Pertempuran dan penggusuran telah menyisakan
darah dan kehancuran. Kyai Mukmin dan para santri banyak yang gugur dalam
pertempuran melawan pasukan kolonial demi membela agama, pesantren dan tanah air.
Mengingat
Narasi
Djamil Suherman dari karya-karyanya mengingatkan kita pada kesadaran membela
tanah air sebagai petisi menyebarkan dakwah agama. Lewat santri dan kyai, kita
diajak untuk mengingat kembali perjuangan dari kisah masa lalu pesantren yang kelam. Meski kini
pesantren telah menjadi ruang pendidikan mengalami modernisasi, namun beberapa
pesantren tradisional masih menerapkan pendidikan kebudayaan lokal. Gagasan Djamil
Suherman memang ingin membahas betapa pentingnya kesadaran kebudayaan lokal pada lingkup pendidikan. Maka
bila kita mencermati dalam karya-karyanya, selain mengangkat persoalan nasionalisme,
Djamil turut menyisipkan masalah sosial-budaya yang ada dalam kehidupan
pesantren.
Mulai dari kisah kehidupan rutinitas santri, kisah asmara,
silat, ngaji kitab, dan sholawat menjadi cara Djamil untuk menggambarkan
kehidupan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi menyebarkan
dakwah agama dengan kebudayaan. Kesadaran Djamil Suherman pada prosa maupun
puisinya tidak pernah menyinggung persoalan politik di pesantren. Ia memang menjauhkan persoalan politik dari ranah pendidikan pesantren. Hal itu begitu jelas
ketika Jalaluddin Rakhmat memberikan kata pengantar di novel Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984).
Jalaluddin Rakhmat merasakan perubahan peradaban sistem
pendidikan di pesantren mulai tampak sejak tahun 1980-an. Dahulu Jalaluddin
Rakhmat sangat mengagumi tokoh kyai dan santri akan kesederhanaan dan ketaatan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada masa lalu. Namun Jalaluddin merasakan
dilematis terhadap pesantren yang kini mengalami legitimasi politik hingga
berdampak kurangnya kesadaran menjaga tradisi pendidikan Islam dan
kebudayaan lokal. Hal itu terjadi lantaran peran kyai dan santri di pesantren memiliki
kesibukan berlipat, mengajarkan ilmu dan berpolitik. Kehadiran partai politik
di lingkungan pesantren untuk mendapatkan suara tentu sangat mempengaruhi orientasi
paradigma pembelajaran di pesantren.
Kita bisa melacak kehadiran partai politik yang memperebutkan
suara pesantren di Majalah Tempo
edisi 21 Februari 1987. Partai politik Golkar dan PPP saling berebut suara di
berbagai pesantren NU untuk memenangkan Pemilu 1980-an. Fenomena beralihnya
orientasi politik beberapa pesantren NU di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa
Timur memilih Golkar disebabkan kekecewaan terhadap ulah pemimpin PPP yang
tidak mampu memberikan kesejahteraan pesantren.
Hal tersebut dimanfaatkan oleh Sudharmono selaku Ketua
Umum DPP Golkar untuk mendapatkan suara dari pesantren NU. Suara dari beberapa
pesantren yang telah menerima Golkar salah satunya dari Roudlotun Nasyi’in,
Berak Kulon, Mojokerto. Pernyataan itu disampaikan oleh Syihabul Irfan, putra
K.H. Mohammad Arif yang mengatakan Golkar lebih banyak memberikan bantuan yang
menguntungkan pada umat Islam. Keberhasilan Golkar dalam Pemilu 1980-an, telah
tercatat oleh Departemen Agama (1982) bahwa di seluruh Indonesia hampir
5.000-an pesantren telah berhasil memilih partai beringin.
Kehadiran misi politik di lembaga pendidikan pesantren
tidak pernah disinggung oleh Djamil Suherman dalam karya sastranya. Meski
realitasnya kebanyakan pesantren memiliki misi politik, Djamil sebagai seorang
santri seolah engan terlibat dalam manifestasi politik pesantren. Ia lebih
menerima bahwa pesantren hanya sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang
mampu mengajarkan, kisah nasionalisme, kebudayaan lokal, dan norma-norma sosial.
Kesadaran itu yang terasa Djamil ungkapkan kepada masyarakat Indonesia dan para
pembaca sastra.
Pernah terbit di Alif.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar